Harmonisasi Qanun Acara Jinayat

Sudut hukum | Harmonisasi Qanun Acara Jinayat

Oleh : Jabbar Sabil MA

A. Pendahuluan

Qanun Acara Jinayat merupakan hukum formil yang akan menjalankan Qanun Jinayat sebagai hukum materil di Aceh. Keterkaitan kedua qanun ini tentu meng-haruskan adanya harmonisasi sehingga menjadi padu sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang dapat memperlihatkan adanya kepaduan antara Qanun Jinayat sebagai hukum materil dengan Qanun Acara Jinayat sebagai perangkat yang akan menjalankan materi hukum Qanun Jinayat.


Diasumsikan bahwa kedua qanun ini disusun secara paralel dengan mempertimbangkan butir-butir hukum materil yang ada sehingga dapat dijalankan dengan maksimal. Namun demikian, ditemukan adanya kesan bahwa Qanun Acara Jinayat juga dipersiapkan untuk mengakomodir ketentuan jināyah lain yang belum diatur dalam Qanun Jinayat sekarang.


Misalnya jināyah pembunuhan yang dikenakan hukuman qisas. Dari kesan ini terbuka kemungkinan adanya disharmonisasi antara Qanun Jinayat dengan Qanun Acara Jinayat. Sebab dimungkinkan beberapa sisi dari Qanun Jinayat terabaikan karena obsesi menyusun Qanun Acara yang mampu mengakomodir perkembangan Qanun Jinayat, saat jarīmah yang diatur bertambah.


Berangkat dari asumsi ini, tulisan ini berusaha melakukan penelitian dengan melakukan penelusuran terhadap Qanun Jinayat dalam konteks beracara. Usaha penelusuran lewat makalah ini diharapkan dapat mengkritisi sisi harmoni dan disharmoni Qanun Acara Jinayat dengan Qanun Jinayat, dan dengan Filsafat Hukum di sisi lain.


B. Gambaran Umum Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat

Untuk memperoleh gambaran tentang harmonisasi Hukum Acara Jinayat, perlu ditelusuri jenis pelanggaran yang diatur dan ketentuan-ketentuan hukum yang diancamkan sebagai hukuman.


a. Ringkasan Ketentuan Hukum yang Diacarakan

Berikut ini dipetik ringkasan ketentuan dalam Qanun Jinayat yang akan dijalankan oleh Qanun Acara Jinayat.

Ketentuan Hukum Materil Qanun Jinayat

No.
Jenis ‘Uqubat
Pasal
Ketentuan Hukuman
Keterangan
Ayat 1
Ayat 2
1
‘Uqubat Khamr
Pasal 13
40 x cambuk
Ta’zir 40 x cambuk/ penjara maks. 40 bulan
2
Produsen khamr
Pasal 14
80 x cambuk/ denda 80 gr emas murni/ penjara 80 bln.
Penjual; 20 x cambuk/ denda 200 gr emas murni/ penjara 20 bln.
3
Maisir
Pasal 17
60 x cambuk/ denda 600 gr emas murni/ penjara 60 bln
Penyelenggara; 120 x cambuk/ denda 1200 gr emas murni/ penjara 120 bln
4
Khalwat
Pasal 20
10 x cambuk/ denda 100 gr emas murni/ penjara 10 bln.
5
Ikhtilat
Pasal 22
60 x cambuk/denda 600 gr emas murni/ penjara 60 bln.
6
Zina
Pasal 24
100 x cambuk/ rajam
‘Uqubat ta’zir 40 bln penjara
7
Pelecehah Seksual
Pasal 27
60 x cambuk/ denda 600 gr emas murni/ penjara 60 bln.
8
Pelecehan seksual terhadap anak-anak
Pasal 28
120 x cambuk/ 1200 gr emas murni/ 120 bln penjara
9
Pemerkosaan
Pasal 29
100-200 x cambuk/ 100-200 bln penjara
Zina terhadap anak-anak diancam dg hukuman yang sama.
10
Pemerkosaan thd. anak-anak
Pasal 30
100-400 x cambuk/ 100-400 bln penjara
11
Konpensasi
Pasal 31
4000 gr emas murni/ penjara 100-400 bln.
12
Qazhaf
Pasal 32
80 x cambuk
Penjara 40 bln.
13
Liwath/ Musahaqah
Pasal 33
100 x cambuk/ 1000 gr emas murni/ 100 bln penjara
Promotor; 80 x cambuk/ 800 gr emas murni/ 80 bln penjara
14
Liwath/ Musahaqah thd. anak-anak
Pasal 34
200 x cambuk/ 2000 gr emas murni/ penjara 200 bln penjara

Dari pemetaan di atas, tampak bahwa kebanyakan tindak pidana yang diatur merupakan delik pengaduan. Dengan demikian, delik seperti ini menuntut adanya mekanisme beracara yang dapat memberi pembuktian dengan baik. Keterangan para saksi memegang peranan kunci dalam delik seperti ini. Berikut ini diberi gambaran tentang ringkasan isi Qanun Acara Jinayat.


b. Kandungan Qanun Acara Jinayat

Adapun kandungan Qanun Acara Jinayat dapat digambarkan sebagai berikut:

No.
BAB
Pasal per Bagian
Jumlah Pasal
Bagian
Pasal
1
Ketentuan Umum
Pasal 1
1
2
Ruang Lingkup Berlakunya Qanun
Pasal 2
1
3
Dasar Peradilan
Pasal 3
1
4
Penyelidik, Penyidik, dan Penuntut Umum
1. Penyelidik dan Penyidik
Pasal 4-9
6
2. Penyidik Pembantu
Pasal 10-12
3
3. Penuntut Umum
Pasal 13-14
2
5
Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan dan Pemeriksaan Surat
1. Penangkapan
Pasal 15-18
4
2. Penahanan
Pasal 19-29
11
3. Jaminan Penangguhan Penahanan
Pasal 30-33
4
4. Penggeledahan
Pasal 34-39
6
5. Penyitaan
Pasal 40-48
9
6. Pemeriksaan Surat
Pasal 49-51
3
6
Tersangka dan Terdakwa
Pasal 52-70
19
7
Bantuan Hukum
Pasal 71-74
4
8
Berita Acara
Pasal 75-76
2
9
Sumpah
Pasal 77
1
10
Wewenang Mahkamah untuk Mengadili
1. Praperadilan
Pasal 78-84
7
2. Mahkamah Syar’iyah
Pasal 85-86
2
3. Mahkamah Syar’iyah Aceh
Pasal 87
1
4. Mahkamah Agung
Pasal 88
1
11
Koneksitas
Pasal 89-90
2
12
Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
1. Ganti Kerugian
Pasal 91-92
2
2. Rehabilitasi
Pasal 93-94
2
13
Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian
Pasal 95-97
3
14
Penyidikan
1. Penyelidikan
Pasal 98-101
4
2. Penyidikan
Pasal 102-130
29
15
Penuntutan
Pasal 131-138
8
16
Pemeriksaan di Sidang Mahkamah
1. Panggilan dan Dakwaan
Pasal 139-140
2
2. Memutus Sengketa mengenai Wewenang Mengadili
Pasal 141-145
5
3. Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 146-176
31
4. Pembuktian dan Putusan dalam Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 177-198
22
5. Acara Pemeriksaan Singkat
Pasal 199
1
6. Pelbagai Ketentuan
Pasal 200-215
16
17
Upaya Hukum Biasa
1. Pemeriksaan Tingkat Banding
Pasal 216-226
11
2. Pemeriksaan untuk Kasasi
Pasal 227
1
18
Upaya Hukum Luar Biasa
1. Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Pasal 228
1
2. Peninjauan Kembali Putusan Mahkamah yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Pasal 229-236
8
19
Pelaksanaan Putusan Mahkamah
Pasal 237-244
8
20
Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Mahkamah
Pasal 245-251
7
21
Ketentuan Peralihan
Pasal 252
1
22
Ketentuan Penutup
Pasal 253
1
Jumlah Pasal
253

Dari gambaran di atas terlihat bahwa Qanun Acara Jinayat telah mengatur segala sisi yang dapat memaksimalkan pelaksanaan hukum materil Qanun Jinayat. Makalah ini tidak akan mengkritisi semua bagian dalam Qanun Acara Jinayat, tapi hanya menelusuri satu hal yang dianggap sangat berpengaruh bagi pelaksanaan qanun ini. Hal tersebut adalah tentang pijakan transendental yang memberi sikap menerima dari masyarakat, keberadaan penyelidik, dan tentang pembuktian.


C. Pijakan Transenden Keberlakuan Qanun

Secara umum Islam tidak menentukan bentuk negara tertentu untuk menjalankan hukum Islam, akibatnya muncul beda pendapat tentang bagaimana menjalankan hukum Islam di tengah bentuk negara bangsa sekarang ini. Persoalannya adalah bagaimana mengakomodasi pluralisme agama dan etnis dalam negara bangsa. Dan ini bukan hanya menjadi tantangan bagi umat Islam, tapi juga bagi Kristen dan Yahudi di Barat.[1] Inti persoalan –menurut ‘Abid al-Jabiri- adalah pada keberadaan negara sebagai kekuasaan yang melaksanakan hukum syariat di satu sisi, dan negara sebagai lembaga sosial di sisi lain.[2]


Dalam konteks ini, menjalankan hukum Islam sebagai bentuk ketaatan agama tidak bisa dilaksanakan begitu saja. Diperlukan tahap positivisasi ketentuan hukum Islam itu agar dapat dijalankan dalam konstelasi lembaga negara modern. Selain itu, tidak semua aturan yang dikehendaki dapat ditemukan dalam bentuk siap pakai dalam Islam, dibutuhkan usahaijtihād untuk menemukannya. Hal ini menjadi alasan lain bagi pentingnya usaha positivisasi.


Lebih jauh lagi setiap aturan yang dipandang maslahat bagi kehidupan manusia dapat dinyatakan sebagai ketentuan yang Islami selama tidak bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu, para ulama merumuskan kriteria tertentu sebagai indikator yang menjadi ukuran untuk menyatakan bahwa suatu ketentuan yang diputuskan tidak bertentangan dengan hukum Islam.[3] Lalu untuk kekuatan keberlakuannya, sebagian ulama mengembalikannya kepada filosofi kehendak komunal seperti pendapat Stammler (Kritisches Rechtspositivismus).[4] Amir Syarifuddin mencontohkan aturan tentang pencatatan perkawinan secara resmi. Aturan ini berlaku karena kesepakatan bersama akan pentingnya keteraturan suatu perkawinan sehingga wajib dicatat.[5] Dalam hal ini, keberadaan parlemen (anggota DPR) dalam format lembaga negara modern, dipandang sebagai representasi kehendak yang bersama memiliki kekuatan dalam rangka positivisasi hukum Islam.


Namun demikian, watak hukum Islam yang deduktif memposisikan setiap ketentuan baru (yang tidak memiliki rujukan tekstual kepada nass) dalam kecurigaan, dipandang rentan ditunggangi oleh hawa nafsu. Hal ini tentu harus dijawab dengan menunjukkan sisi maslahah yang mempertautkan ketentuan baru tersebut dengan nass umum dalam teori maqāsidsebagaimana dikemukakan oleh al-Syātibī.[6] Kesan ini juga tidak lepas dari Qanun Jinayat dan Acara Jinayat sebagaimana terlihat pada beberapa bagian yang dikritisi berikut ini.


Dengan memperhatikan daftar di atas, tampak bahwa secara umum, beberapa ‘uqubat yang diancamkan dengan hukuman cambuk dalam Qanun Jinayat diatur berdasar ketentuan yang telah dirumuskan dalam fikih. Oleh karena itu, tulisan ini berangkat dari asumsi bahwa semua ketentuan cambuk itu memiliki rujukan kepada nass melalui per-istinbāt-anfuqahā’ klasik tanpa perlu mengkritisinya. Dengan demikian tulisan ini menjadi fokus dan konsentrasinya tidak terganggu oleh pertanyaan tentang kekuatan pijakan bagi ancaman cambuk yang ditetapkan.


Konsentrasi bagian ini adalah kepada ditetapkannya ketentuan lain sebagai alternatif setelah cambuk, yaitu denda dengan emas murni dan penjara yang berimplikasi bagi disharmonisasi materi hukum ini dalam pengambilan keputusan oleh hakin saat beracara. Hal ini akan dibahas secara terpisah dalam poin berikut;


1. Dasar penetapan kadar denda dalam ukuran emas murni

Dalam 14 perbuatan yang diancam dengan ‘uqubat[7] cambuk dalam qanun jinayat[8] pada daftar di atas, dari sisi ancamannya, terlihat adanya keragaman jarīmah.[9] Ada jarīmah yang diancam dengan hudūd,[10] dan ada yang diancam dengan ta‘zīr.[11] Dari keempat belas jarīmah itu, hanya hudūd pada zina yang tidak diperselisihkan. Oleh karena itu, pasal 24 tidak membuka ruang ijtihād kepada hakim, hukumannya sudah pasti, cambuk 100 kali untuk yang belum menikah, dan rajam untuk pezina yang telah menikah.


Adapun pada ‘uqubat khamr (Pasal 13), meskipun telah ditetapkan hudūd-nya 40 kali cambuk, namun masih ada peluang menerapkan ta‘zīr, maka ayat dua dalam pasal 13 mengatur tentang hal ini. Lain halnya pada pemerkosaan, kelihatannya Islam tidak memperkenalkan istilah ini, dan perkosaan dianggap sama dengan zina. Namun qanun ini memandang perkosaan sebagai sesuatu yang lebih berat dari zina (Pasal 29) sehingga dikenakan ta‘zīr yang lebih berat dari hadd zina. Ketentuan hukumnya boleh mencapai 200 kali cambuk, dan dapat dikenakan ta‘zīr penjara maksimal 200 bulan. Bahkan perkosaan terhadap anak-anak (Pasal 30) dapat dihukum sampai dua kali lipat perkosaan biasa, mencapai 400 kali cambuk.

Selain dari tiga hal di atas (khamr, zina dan perkosaan), ‘uqubat yang dikenakan terkesan berpola dalam tiga tingkatan. Pertama cambuk, lalu denda, dan ketiga penjara. Pertanyaannya, susunan yang berpola ini mengandung makna peringkat sehingga harus berurutan dalam penjatuhannya? Atau ini hanya menunjukkan keragaman jenis ‘uqūbah yang dibolehkan bagi hakim untuk memilih hakim? Jawaban atas pertanyaan ini kembali kepada filsafat penghukuman, bahwa penghukuman adalah untuk memberi efek jera, atau sebagai pelajaran dan pembinaan bagi pelaku jarīmah.


Kenyataan beragamnya kemampuan terdakwa terkait ketiga jenis ‘uqubat di atas, mengharuskan adanya kebebasan bagi hakim untuk ber-ijtihād. Namun sayang, qanun ini tidak mengatur hal ini, bahkan secara prinsip, positivisasi ini justru mengikat hakim untuk hanya menghukum sesuai dengan butir-butir pasal qanun. Oleh karena itu, penulis melihat adanya peluang disharmoni pada masalah ini sebagaimana perbandingan berikut;


 Misalnya dalam pasal 13 tentang khamr, Ayat (1) menyatakan ketentuan hudūd yang pasti sejumlah 40 kali cambuk.[12] Lalu pada kasus ini diberi peluang menambah-kan ‘uqubat lain berupa ta‘zīr (denda atau penjara).[13] Dan jika terdakwa ditahan selama pemeriksaan, masa tahanan itu dapat dimasukkan oleh hakim sebagai bagian dari ta‘zīrtanpa rasa was-was akan keliru dalam memutuskan perkara.[14] Menurut penulis, rasa was-was di sini wajar adanya, menjalankan ketentuan jinayat berarti membuat keputusan atas nama agama.

 Sebaliknya pada ketentuan yang lain seperti pada pelecehan seksual (pasal 27),[15] Qanun Jinayat menetapkan hukuman ta‘zīr bersamaan dengan denda, lalu dialternatifkan dengan penjara. Maka dalam beracara, apa yang dapat dipedomani hakim sebagai dasar menentukan jumlah cambukan dan besar denda. Selain itu, jika ia akan berpindah kepada ‘uqubat penjara, apa dasar keberpindahannya?


2. Dasar penetapan masa tahanan

Dilihat dari penetapan ‘uqubat dalam Qanun Jinayat secara umum, terkesan bahwa ‘uqubat intinya adalah cambuk, karena cambuk dikenakan pada hudūd dan ta‘zīr. Kesan ini juga tampak dari ketentuan denda dan masa tahanan yang tampak terpola mengikuti jumlah bilangan cambuk. Namun Qanun Jinayat tidak menjadikan denda sebagai alternatif setelah cambuk, tapi menjadikan denda sebagai hukuman yang dikenakan bersamaan dengan cambuk. Hal in terlihat dengan penggunaan kata “dan” dalam setiap pasal yang memberlakukan cambuk sebagai ta‘zīr. Kata ‘dan’ memberi makna bahwa hukuman cambuk dan denda ditimpakan bersamaan kepada terdakwa, misalnya Pasal 14[16] tentang produsen/importer khamr, Pasal 17 tentang maisir, dan pasal-pasal lain yang sejenis.


Namun bunyi pasal yang hanya menyebut batas tertinggi dari hukuman (baik cambuk, denda maupun penjara), memberi kesan mempermudah bagi hakim untuk bisa beralih dari ketentuan cambuk dan denda yang disebut pertama pada kasus orang yang tidak mampu membayar denda. Sebaliknya, hakim bisa dengan mudah mengabaikan hukuman penjara untuk orang yang mampu membayar denda. Bisa saja hakim membuat perjanjian dengan terdakwa untuk jumlah angka tertentu, lalu mengurangi jumlah yang harus dibayarkan sebagai denda. Hal seperti ini tidak diantisipasi oleh Qanun Acara Jinayat, maka tidak salah jika sebagian orang menyatakan adanya kesan bahwa orang yang bisa membayar akan dapat terbebas dari hukum.


Dari sudut pandang ini, perlu adanya aturan yang beracara yang membatasi wilayah filosofis yang terlalu luas dan ambigu. Harus perjelas alasan-alasan yang tegas tentang kondisi yang membolehkan hakim untuk beralih dari satu ‘uqubat ke alternatif ‘uqubat lainnya. Kalau tidak, hal ini akan memberikan ketidakpastian hukum, dan membuka peluang dipermainkannya hukum sampai kehilangan supremasi.


3. Dasar pembedaan ‘uqubah pada kasus yang korbannya anak-anak

Hal lain yang juga menyulitkan dalam beracara adalah tidak jelasnya dasar pertimbangan dalam pembatasan usia anak-anak.[17] Dalam Qanun Jinayat, masa anak-anak didefinisikan dengan batas usia delapan belas tahun tanpa penjelasan logika apa yang menjadi pertimbangannya. Mungkin orang-orang akan menduga, bahwa ditetap-kannya ‘uqubat yang lebih berat pada jarīmah yang dilakukan terhadap anak-anak, karena ia di bawah umur. Ketidakmengertian tentang seks berefek trauma psikis bagi diri anak-anak sehingga cukup layak dikenakan ‘uqūbah dua kali lipat.


Logika yang menduga-duga ini cukup relevan dan mendapat pembenaran saat dihadapkan kepada kasus pemerkosaan[18] terhadap anak-anak,[19] dan kasus pelecehan seksual[20] terhadap anak-anak.[21] Tapi logika ini segera terbantah saat dalam Pasal 21[22] tentang khalwat,[23] membatasi perbuatan khalwat terhadap anak-anak hanya jika dilakukan dengan anak-anak di atas usia 12 tahun.[24]


Pasal ini menggiring logika makna kata anak-anak dalam dua dimensi, usia 12 tahun sebagai sudah mengerti masalah seksual sehingga bisa berkhalwat, dan di bawah 12 tahun yang tidak dianggap khalwat. Masalah ini berlanjut dalam pasal ikhtilat,[25] dalam pasal 23 tidak dibatasi anak-anak dalam usia tertentu seperti pada pasal khalwat. Hal ini dapat mengakibatkan bias dalam beracara, sebab bisa saja seseorang dituduh berikhtilath, padahal ia mencium seorang anak perempuan yang usianya belum sampai dalam batas yang disyahwati pria.


Dasar filosofi yang jelas bagi pendefinisian anak-anak dalam pasal-pasal di atas sangat penting diperjelas karena pasal-pasal ini sangat mugkin dipolitisir untuk kepentingan yang bersifat menjebak. Mungkin sangat tepat jika standar makna maksud dari anak-anak dalam Qanun Jinayat dibatasi dalam kontek batas syahwat. Dengan batasan ini, hubungan intim antar anak yang telah baligh secara syahwat, tetap dianggap zina karena ia terbukti telah memahami masalah seksual. Fakta adanya zina di kalangan anak berusia di bawah 18 tahun, membuktikan bahwa secara biologis ia tidak bisa lagi dianggap anak-anak, meski secara finansial ia belum siap menjadi ayah dan ibu.


PENUTUP

Demikianlah sekilas pembahasan tentang Harmonisasi Qanun Acara Jinayat dengan Qanun Jinayat. Penulis sadar bahwa makalah ini baru menyentuh satu sisi saja, bahwa sebenarnya masih banyak sisi urgen yang belum terangkat.

Wa Allāh A’lām bi al-sawāb.


Daftar Pustaka


‘Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001

Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta: UI Press, 1995

Hefner, Rober. W, Islam di Era Negara Bangsa, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001

Qanun Aceh, Nomor … Tahun 2009 Tentang Hukum Jinayat

Qanun Aceh Nomor … Tahun 2009 Tentang Hukum Acara Jinayat

Syarifuddin, Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad, Jakarta: Ciputat Press, 2005

Al-Syātibī, al-Muwāfaqāt fī Usūl al-Syarī‘ah, Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982



[1] Hefner, Rober. W, Islam di Era Negara Bangsa, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 51
[2] ‘Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001) hlm. 62
[3] Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995), hlm. 12
1. Isinya sesuai atau sejalan, atau tidak bertentangan dengan syariat Islam.
2. Peraturan itu meletakkan persamaan kedudukan manusia di depan hukum dan pemerintahan.
3. Tidak memberatkan masyarakat
4. Untukmenegakkan keadilan
5. Dapat mewujudkan kemaslahatan masyarakat
6. Prosedur pembentukannya melalui musyawarah.
[4] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hal. 154
[5] Syarifuddin, Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm. 77
[6] Al-Syātibī, al-Muwāfaqāt fī Usūl al-Syarī‘ah, (Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.), jld. I, hlm. 29
[7] Pasal 1, ayat 11; ‘Uqubat adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelanggaran jarimah.
[8] Pasal 1, ayat 9; Hukum Jinayat adalah hukum yang mengatur tentang jarimah dan ’uqubat.
[9] pasal 1, ayat 10; Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam yang dalam qanun ini diancam dengan ‘uqubat hudud dan/atau ta‘zīr.
[10] Pasal 1, ayat 12; Hudud adalah jenis ‘uqubat yang jumlahnya telah ditentukan dalam qanun ini dan dijatuhkan oleh hakim tanpa menambah atau menguranginya.
[11] Pasal 1, ayat 13; Ta’zir adalah jenis ‘uqubat pilihan yang telah ditentukan dalam qanun ini dan dapat dijatuhkan oleh hakim dalam batas tertinggi dan/atau terendah.
[12] Pasal 13 ayat (1) “Setiap orang yang dengan sengaja meminum khamar diancam dengan ‘uqubat hudud 40 (empat puluh) kali cambuk”.
[13] Ayat (2); “Pelaku jarimah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dikenakan ‘uqubat ta’zir cambuk paling banyak 40 (empat puluh) kali atau penjara paling lama 40 (empat puluh) bulan”.
[14] Ayat (3) “Masa penahanan atas pelaku jarimah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditahan dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan tersebut dihitung sebagai ‘uqubat ta’zir”.
[15] Pasal 27; “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pelecehan seksual, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 60 (enam puluh) kali dan denda paling banyak 600 (enam ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan”.
[16] Berikut kutipan bunyi ayat dalam pasal tersebut;
Ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi, menyimpan/menimbun, mempromosikan, memasukkan khamar baik legal maupun illegal, atau mengimpor khamar dari luar negeri baik legal maupun illegal diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 80 (delapan puluh) kali dan denda paling banyak 800 (delapan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 80 (delapan puluh) bulan.
Ayat (2) Setiap orang yang dengan sengaja menjual/membeli, membawa/mengangkut, atau menghadiahkan khamar diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 20 (dua puluh) kali dan denda paling banyak 200 (dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 20 (dua puluh) bulan.
[17] Pasal 1 ayat, 35; Anak adalah orang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah.
[18] Pasal 1, ayat 24; Pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban, tidak termasuk hubungan seksual yang dilakukan dengan suami atau isteri.
[19] Pasal 29 ayat (2); Setiap orang yang melakukan zina dengan anak-anak dianggap melakukan pemerkosaan diancam dengan ‘uqubat cambuk paling sedikit 100 (seratus) kali dan paling banyak 200 (dua ratus) kali atau penjara paling sedikit 100 (seratus) bulan dan paling lama 200 (dua ratus) bulan
[20] Pasal 1, ayat 21; Pelecehan Seksual adalah perbuatan cabul yang dilakukan terhadap orang lain tanpa kerelaannya.
[21] Pasal 28; Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 (pelecehan seksual, pen.) terhadap anak-anak, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 120 (seratus dua puluh) kali dan denda paling banyak 1200 (seribu dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 120 (seratus dua puluh) bulan.
[22] Pasal 21; Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 (khalwat, pen.) terhadap anak yang berumur di atas 12 (dua belas) tahun, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 20 (dua puluh) kali dan denda paling banyak 200 (dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 20 (dua puluh) bulan.
[23] Pasal 1 ayat (16); Khalwat adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara 2 (dua) orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan.
[24] Pasal 21 ayat (2); Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 terhadap anak yang berumur di atas 12 (dua belas) tahun, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 20 (dua puluh) kali dan denda paling banyak 200 (dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 20 (dua puluh) bulan.
[25] Pasal 1, ayat 17; Ikhtilath adalah perbuatan bermesraan antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri atau mahram baik pada tempat tertutup atau terbuka.