Harta Warisan Khuntsa Musykil

SUDUT HUKUM | Harta Warisan Khuntsa Musykil

Setiap ahli waris berhak menerima bagian warisnya, setelah apa yang mereka harus penuhi telah terlaksana. Yaitu memenuhi hak-hak seperti halnya, biaya-biaya perawatan jenazah, pelunasan utang-utang dan penunaian wasiat simayit.

Selain itu haruslah tidak ada penyebab yang dapat menghalangi untuknya mendapat warisan atau penghalang kewarisan. Jenis hukum yang tidak di bedakan antara laki-laki dan peremppuan sehingga tak perlu adanya pengkhususan masalah khuntsa musykil, seperti masalah zakat harta, zakat fitrah dan sejenisnya.

sudut hukum

Ulama farodliyun (ahli faraid) setelah mengadakan penelitian tentang khuntsa, menyimpulkan bahwa khuntsa musykil selamanya tidak mungkin atau bukan terdiri dari ayah, ibu, kakek, nenek, suami atau istri, sebab menurut hukumnya khuntsa musykil tidak melakukan nikah, sehingga khuntsa musykil itu mesti terdiri dari anak, cucu, saudara, anak saudara, paman atau anak paman.


Oleh sebab itu bila khuntsa menikah dan mempunyai keturunan maka anaknya akan mengikuti garis keturunan bapaknya walaupun bapaknya bertingkah laku seperti perempuan. Demikian juga ibunya kendati bertingkah laku sama seperti lelalki. Jika kelak anaknya perempuan akan menikah maka bapaknya yang menjadi wali, meskipun ia bertingkah seperti perempuan bukan ibunya meskipun ia bertingkah seperti lelaki.


Di dalam Al-Qur‟an Allah Ta‟ala, telah banyak menjelaskan ayat-ayat tentang waris bagi laki-laki dan perempuan sejelas-jelasnya, tetapi tidak menjelaskan waris bagi khuntsa.untuk menghindari terjadinya ke vakuman hukum, para ahli faro‟id berijtihad, ijtihad mereka itu bertitik tolak dengan ketentuan yang telah ada. Ijtihad yang dilakukan adalah dengan jalan mengidentikan dengan laki-laki atau perempuan.

Dalam mengidentikan dengan laki-laki atau perempuan ada dua cara yang di gunakan.

1. Meneliti alat kelamin yang dilalui air kencing.

Jika seorang anak membuang air kecil melalui dzakar atau farjinya, tapi air yang lewat dzakar lebih dahulu keluarnya dari pada yang lewat farji maka ia dianggap sebagai orang laki-laki, sebaliknya jika ia terlebih dahulu kencing melalui farji maka ia dianggap sebagai orang perempuan.


Artinya :Berikanlah warisan menurut kelamin mana ia pertama kali buang air kecil”. (HR. Ibnu Abbas)


Dikisahkan bahwa Amir Al-Adawany dikenal sebagai seorang yang bijak pada masa jahiliah. Suatu ketika ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu peristiwa, bahwa ada seorang wanita melahirkan anak dengan dua jenis kelamin. Amir kemudian menvonisnya sebagai laki-laki dan perempuan. Mendengar jawaban yang kurang memuaskan itu orangorang Arab meninggalkannya, dan tidak menerima vonis tersebut. Amir pun menjadi gelisah dan tidak tidur sepanjang malam karena memikirkannya. Melihat sang majikan gelisah, budak wanita yang dimilikiAmir dan dikenal sangat cerdik menanyakan sebab-sebab yang menggelisahkan majikannya. Akhirnya Amir memberitahukan persoalan tersebut kepada budaknya, dan budak wanita itu berkata: “Cabutlah keputusan tadi, dan vonislah dengan cara melihat dari mana keluar air seninya.” Amir merasa puas dengan gagasan tersebut.

Maka dengan segera ia menemui kaumnya untuk mengganti vonis yang telah dijatuhkannya. Ia berkata: “Wahai kaumku, lihatlah jalan keluarnya air seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai laki-laki; tetapi bila keluar dari vagina, ia dinyatakan sebagai perempuan.” Ternyata vonis ini diterima secara aklamasi.

2. Meneliti tanda-tanda kedewasaannya.

Jika penelitian alat kelamin yang dipergunakan membuang air kecil tidak berhasil, maka dapat ditempuh jalan lain yaitu meneliti kedewasaan bagi si khuntsa, sebagaimana diketahui adannya ciri kesamaan laki-laki dan perempuan juga ada ciri perbedaannya.


Bila seseorang mengeluarkan darah haidl (menstruasi berarti status hukumnya perempuan, sebab lelaki menurut kodratnya tidak haidl. Namun bila ia haidl tapi air kencingnya atau keluarnya sperma dari alat kelamin lelaki maka namanya khuntsa musykil. Bila sampai umur dewasa ia tidak haidl atau pernah haidl (sekali dua kali) tapi kemudian berhenti total (bukan karena sebab) dalam usia subur normal maka status hukumnya lelaki, sebab menurut kudratnya wanita itu mengalami haidl teratur pada waktunya sampai umur monopose, kehamilan dan melahirkan.

Bila seorang khuntsa talah jelas status hukumnya berarti ia hukumnya lelaki atau perempuan, maka berlakulah hukum lelaki atau perempuan baginya dalam segala hal, seperti auratnya, shalatnya, perkawinannya, kewarisannya, pergaulannya dan sebagainya.

Namun hal tersebut terkadang bisa menjadi jelas bila ia dewasa dengan melihat fungsi alat kelamin mana yang lebih berperan tapi banyak juga yang sampai dewasa tetap musykil. Jika seorang khuntsa susah ditentukan jenisnya, baik dengan dua ketentuan atau cara di atas, begitu ditegaskan benar-benar kemusykilannya. Kesulitan menentukan jenis kelaminnya membawa kesulitan dalam menetapkan pembagian warisnya.

Para faradhiyun setelah mengadakan penyelidikan, menetapkan para ahli waris khuntsa musykil yang menimbulkan kemusykilannya dalam penyelesaian waris itu ada tujuh orang dan tercakup dalam empat jihat.


a) Jihat Bunuwah (garis anak)

Terdiri dari dua orang yaitu anak dan cucu.

b) Jihat Ukhuwah (garis saudara)

Terdiri dari saudara dan anak saudara.

c) Jihat Umumah (garis paman)

Terdiri dari paman dan anak paman (keponakan)

d) Jihat Wala (perwalian budak)


Yakni hanya satu orang maulal-mu‟tiq (tuan yang telah membebaskan budaknya).