[Fiqh] Pembuktian Jarimah Zina Dalam Hukum Pidana Islam

FIQH | Zina merupakan kejahatan yang dihukum dengan cukup berat, sehingga syari’at Islam memberikan persyaratan yang berat pula dalam pembuktiannya. Tujuan pensyaratan ini adalah untuk menutup jalan bagi siapa saja yang sengaja menuduh orang baik-baik dengan semena-mena dan zalim.

Rangkaian pembuktian zina menurut sistematika pembuktian dalam hukum acara pidana Islam yaitu:
a. Pengakuan (Iqrar)
Semua ulama hukum mengatakan iqrar merupakan dalil atau dasar utama bagi penetapan hukuman. Hal ini sesuai dengan sikap Rasulullah Saw. yang juga mendasarkan suatu hukuman dari pengakuan seorang tertuduh dari suku Ghamidiyah dalam kasus perzinaan mereka.
[Fiqh] Pembuktian Jarimah Zina Dalam Hukum Pidana Islam
Kekuatan hukum pengakuan sebagai dasar pengambilan keputusan hukum memang tidak diperselisihkan lagi, kecuali tentang jumlah pengakuan yang diucapkan tertuduh. Dalam masalah ini, Imam Malik, Imam Syafi’i, Daud Zhahiri, al-Thabari dan Abu Tsaur menganggap pengakuan itu cukup diucapkan satu kali saja dan atas dasar ini suatu hukuman sudah bisa ditetapkan. Alasan ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid :

Artinya : “Hai Unais ! pergilah dan tanyailah isteri orang ini, apabila isteri orang ini mengaku (telah berzina), maka kenakanlah hukuman rajam. Kemudian ia mengaku, maka Unaispun merajamnya.”

Adapun menurut ulama mazhab Hanafi, pengakuan itu tidak bisa kurang dari empat kali yang dinyatakan dalam majelis yang berbeda. Mereka berpegangan dengan Hadith Sa’id bin Jubair ra. dari
Ibnu ‘Abbas ra. dari Nabi Saw.:

Artinya : “Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. Menolak (pengakuan) Ma’iz sehingga ia mengaku empat kali, kemudian beliau menyuruh merajamnya.”

Menurut mereka keterangan yang disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa pengakuan satu kali, dua kali dan tiga kali adalah suatu kekurangan. Dan barangsiapa dalam kekurangan, maka ia tidak bisa mengalahkan orang mengingat dengan sempurna.
b. Kesaksian
Ulama telah sependapat bahwa perbuatan zina dapat ditetapkan berdasarkan saksi-saksi dan bahwa bilangan yang diisyaratkan adalah empat orang, berbeda halnya dengan perkaraperkara yang lain. Dasarnya adalah firman Allah Swt. dalam surat al- Nur : 4 :

Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat zina), kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali pukulan….”

Menurut para ahli fiqh, kesaksian yang dapat diterima sebagai pembuktian tindak pidana perzinaan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut;
PERTAMA, para saksi tersebut telah baliq dan berakal.
KEDUA, terdiri dari empat orang laki-laki, sehingga kesaksian wanita tidak diterima, meskipun lebih dari empat orang atau bersama-sama lakilaki.
KETIGA, para saksi adalah muslim dan adil.
KEEMPAT, saksi melihat sendiri perbuatan zina tersebut yaitu ketika alat kelamin lakilaki berada pada alat kelamin perempuan dan bahwa kesaksian itu harus dinyatakan dengan kata-kata yang jelas, bukan dengan kata-kata KINAYAH (sindiran).
KELIMA, saksi tidak mempunyai halangan syara’ untuk menjadi saksi, seperti tidak ada hubungan kekeluargaan dan tidak ada permusuhan antara salah seorang saksi atau seluruhnya dengan orang-orang yang dituduh berzina.
KEENAM, menurut ulama mazhab Hanafi, kesaksian itu tidak kadaluarsa, kecuali ada uzur.
Maksudnya, ada tenggang waktu yang cukup lama, tanpa ada uzur antara perbuatan zina yang disaksikan itu dengan kesaksian yang dikemukakan di depan sidang pengadilan. Akan tetapi, apabila ada kadaluarsa tersebut disebabkan adanya uzur, seperti di negeri itu belum ada lembaga peradilan, maka syarat ini tidak berlaku. Ulama mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali tidak menyetujui syarat ini.
KETUJUH, fuqaha mensyaratkan para saksi harus memberikan kesaksiannya dalam satu tempat secara simultan. Jika mereka memberikan kesaksian secara terpisah, baik dalam arti waktu maupun tempat, maka hal itu tidak bisa diterima. Akan tetapi pengikutpengikut mazhab Imam Syafi’i , Daud Zahiri dan Zaid tidak mensyaratkan hal ini.
Silang pendapat disebabkan, apakah kesaksian yang berbedabeda mengenai tempat itu dapat digabungkan ataukah tidak dapat digabungkan, seperti kesaksian yang berbeda-beda mengenai zaman.
Demikian itu karena fuqaha telah sependapat bahwa kesaksian yang berbeda-beda tempatnya itu tidak dapat digabungkan, sedang tempat itu lebih mirip dengan zaman. Di sini terlihat bahwa syara’ bermaksud lebih banyak berhati-hati dalam menetapkan hukuman tersebut ketimbang hukuman-hukuman lainnya.
KEDELAPAN, orang-orang yang bertindak sebagai saksi-saksi itu harus laki-laki. Menurut Ibnu Hazm kesaksian wanita uga dapat diterima, dengan catatan dua orang wanita disamakan dengan seorang laki-laki.