[opini] Demokrasi Jalan Korupsi

Sudut Hukum | Lama tak berkomunikasi, beberapa waktu yang lalu tiba-tiba Ahmad Khoirul Umam berkirim e-mail yang meminta saya membuat pengantar untuk buku yang akan diterbitkannya.

Mantan wartawan yang dulu sering meliput aktivitas saya ini, sekarang sudah menjadi kandidat doktor di University of Queensland, Brisbane, Australia. Di sela-sela keseriusan menyiapkan disertasi doktornya, Umam sempat menulis buku Pergulatan Demokrasi dan Politik Antikorupsi di Indonesia.

[opini] Demokrasi Jalan KorupsiBuku itu berisi kegundahan dan kemarahan akademisnya, karena ternyata demokrasi di Indonesia gagal menjadi sistem dan mekanisme yang mampu secara efektif memerangi korupsi. Umam meminta saya membuat pengantar atas buku yang berisi kekecewaan atas perkembangan politik di negara yang dicintainya, Indonesia.

Saya agak terperangah ketika membaca statement di dalamdraf buku itu bahwa teori-teori yang menjelaskan bahwa demokrasi merupakan sistem atau jalan politik yang tepat untuk memberantas korupsi ternyata tak berlaku atau gagal diberlakukan di Indonesia. Indonesia telah gagal menjadikan demokrasi sebagai sistem dan alat politik yang legal untuk memberantas korupsi.

Pandangan-pandangan Sandholtz dan Kotzle (2000), Blake dan Martin (2006), atau Hellman (2008) yang meneorikan bahwa semakin demokratis suatu negara akan semakin efektif pemberantasan korupsinya, ternyata tak berlaku di Indonesia. Indonesia telah melakukan reformasi untuk membangun sistem politik yang demokratis karena keyakinan bahwa pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta penegakan hukum pada umumnya akan bisa dilaksanakan secara efektif melalui demokrasi.

Ternyata kita kecele. Demokrasi untuk mengatasi berbagai krisis yang kita bangun, ternyata kalah dalam perang melawan korupsi. Reformasi yang dibayar sangat mahal dengan melakukan amendemen atas UUD 1945 agar elemen-elemen penting demokrasi lebih mendapat tempat yang kuat di dalam konstitusi, ternyata tak membuat korupsi berkurang.

Alih-alih berkurang, korupsi semakin menggurita dan merajalela. Banyak yang kemudian mengejek demokratisasi yang dulu kita bangga-banggakan. Ada yang mengatakan bahwa reformasi kita telah jauh kebablasan membangun demokrasi yang justru tak efektif dan keok melawan korupsi. William Liddle mengatakan bahwa demokrasi telah menjadi alat korupsi karena korupsi justru dilakukan melalui mekanisme demokrasi.

Sementara Saiful Mujani dalambuku KuasaRakyat (2012) mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia bukan lagi sistem politik yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, melainkan sudah menjadi dari rakyat, oleh elite, dan untuk elite. Tetapi benarkah kita telah gagal memerangi korupsi melalui demokrasi yang kita bangun dengan susah payah? Inilah yang harus didiagnosa. Bahwa setelah reformasi berjalan sekitar 17 tahun Indonesia tidak berhasil memerangi korupsi secara efektif, adalah fakta tak terbantahkan.

Tetapi untuk mengatakan bahwa demokrasi tidak bisa dijadikan sistem, sekaligus alat untuk memberantaskorupsi, mungkin tidak sepenuhnya tepat untuk menjelaskan Indonesia. Persoalannya, demokratisasi di Indonesia hanya berjalan pada periode pertama pemerintahan hasil Pemilu 1999. Pemilu 1999 adalah pemilu yang paling demokratis setelah Pemilu 1955.
Itulah sebabnya pada periode tersebut kita memiliki anggotaanggota DPR yang cukup bagus, mengeluarkan banyak UU yang cukup berkualitas, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Bahkan pada periode pertama reformasi, kita melahirkan lembaga-lembaga penegak hukum yang, pada mulanya sangat membanggakan, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi.

Pada era ini, konsolidasi demokrasi tampak berhasil dan memberi harapan akan efektivitasnya memerangi korupsi. Namun lama-kelamaan, tepatnya setelah Pemilu 2004, sistem yang demokratis mulai bergeser menjadi oligarkis. Demokrasi menjadi pasar jualbeli untuk jabatan-jabatan politik.

Demokrasi menjadi tidak substansial, tetapi lebih prosedural semata sehingga ia pun secara praktis mudah dijadikan alat untuk korupsi. Bukan rahasia lagi bahwa pemilihan-pemilihan pejabat publik, baik yang langsung dilakukan oleh rakyat maupun melalui DPR, marak dengan isu politik uang dan koncoisme.

Pemilu legislatif menjadi ajang bebas untuk saling bantai melalui kekuatan uang dan kecurangan, begitu juga pemilihan kepala daerah dipenuhi oleh penyalahgunaan jabatan dan permainan uang. Banyak parpol yang kemudian bukan menjadi organisasi politik yang demokratis, melainkan oligarkis sehingga keputusan-keputusan penting hanya ditentukan oleh beberapa gelintir orang.

Keputusan yang bersifat oligarkis itu kemudian diteruskan melalui rekayasa secara struktural sehingga yang di bawah, mau tidak mau, harus selalu menerima. Selain diidentifikasi sebagai sistem yang oligarkis, kepolitikan kita dapat juga disebut sebagai sistem yang poliarkis, yakni sistem yang dalam pengambilan keputusan publiknya hanya ditentukan oleh eliteelite berbagai organisasi politik, pejabat negara, ormas, pebisnis, dan berbagai organisasi profesi yang menonjol.

Apapunidentifikasikepolitikan yang lebih tepat, apakah oligarkis atau poliarkis, untuk Indonesia saat ini yang jelas bukanlah sistem demokrasi yang substantif. Menjadi niscaya, sistem yang muncul tak berjaya menghadapi korupsi karena isinya memang bukan demokrasi. Keadaan seperti ini, kalau dibiarkan terus-menerus, sungguh membahayakan kelangsungan kebernegaraan kita.

Sebab berdasarkan dalil dan fakta historis, jika suatu negara membiarkan berlakunya sistem yang tidak mampu menegakkan ketidakadilan maka tinggal menunggu keruntuhannya. Diperlukan kesadaran kolektif para pemimpin untuk membelokkan situasi ini ke jalan demokrasi yang benar. Bukan demokrasi yang bisa diperalat untuk korupsi.(*Mahfud MD— Sindo)