Pandangan Maliki dan Syafii tentang Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Dzakar

Sudut Hukum | Pandangan Maliki dan Syafii tentang Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Dzakar

Madzhab Maliki (Al-Malikiyyah)

Mereka berkata bahwa wudhu itu menjadi batal karena menyentuh dzakar dengan beberapa syarat:

  • Menyentuh dzakarnya sendiri yang masih melekat padanya. Jika seseorang menyentuh dzakar orang lain berlakulah baginya hukum menyentuh orang lain secara umum.
  • Orang yang menyentuh itu telah dewasa, meskipun ia seorang banci (wadam); maka dengan menyentuh dzakar ini wudhu seorang yang masih belum dewasa tidak batal.
  • Sentuhan itu dilakukan dengan tanpa satir.
  • Sentuhan itu dengan telapak tangan bagian dalam atau bagian pinggir, atau dengan jari bagian dalam, pinggir atau ujungnya, meskipun jari tambahan yang mempunyai kesamaan dengan jari asli dalam hal penggunaan dan merasakan. Tidak batal wudhu jika sentuhan itu dilakukan dengan anggota badan yang lain seperti paha atau lengan, sebagaimana jika sentuhan itu dilakukan dengan kayu atau dengan memakai satir (penghalang).

Pandangan Maliki dan Syafii tentang Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Dzakar
Wudhu menjadi batal lantaran sentuhan yang memenuhi syarat- syarat tersebut diatas; baik ia merasakan nikmat atau tidak, baik dengan sengaja atau lupa. Wudhu seorang wanita tidak menjadi batal karena ia menyentuh kemaluannya, meskipun ia sampai memasukkan jarinya dan merasakan nikmat. Dan wudhu seseorang tidak menjadi batal karena menyentuh lingkaran dubur atau memasukkan jari ke dalamnya.

Demikian menurut pendapat yang rajih (kuat), meskipun hal itu haram hukumnya, jika dilakukan tanpa ada kebutuhan yang mendesak.


Wudhu juga tidak menjadi batal karena menyentuh sisa dzakar yang terpotong, bagian bawah dzakar atau rambut sekitarnya, meskipun ia merasakan nikmat. Adapun menyentuh dubur orang lain atau kemaluan seorang perempuan, maka yang berlaku baginya adalah hukum menyentuh orang lain secara umum.


Madzhab Syafi’i (Asy Syafi’iyyah)

Mereka berkata bahwa wudhu itu menjadi batal karena menyentuh dzakar, baik yang masih melekat atau yang sudah terpisah dari pemiliknya, asal tidak dipotong-potong yang mengakibatkan ia kehilangan namanya. Dan juga wudhu itu dapat batal karena menyentuh tempat bekas potongan dzakar. menyentuh dzakar itu benar-benar dapat membatalkan wudhujika memenuhi beberapa syarat:

  • Tanpa satir
  • Dengan telapak tangan bagian dalam atau jari-jarinya.
Yang dimaksud telapak tangan atau jari-jari bagian dalam adalah bagian yang tidak tampak ketika telapak tangan yang satu ditutupkan pada yang lain dengan menekan sedikit. Maka wudhu tidak menjadi batal karena menyentuh dzakar dengan telapak tangan bagian pinggir atau ujung jari atau bagian di antara jari-jari itu.


Demikianlah bahwa Ulama Syafi’iyyah sebagaimana Ulama Hanafiyyah tidak mengkhususkan batalnya wudhu karena menyentuh hanya pada dzakarnya sendiri, tetapi menurut pendapat mereka juga menyekup dzakar orang lain. Oleh karena itulah mereka berkata bahwa menyentuh dzakar itu membatalkan wudhu secara mutlak baik milik sendiri atau milik orang lain, meskipun kepunyaan anak kecil atau seorang yang telah meninggal dunia (mayit).

Hanya saja yang dihukumi batal adalah wudhu orang yang menyentuh, tidak orang yang dzakarnya disentuh. Demikian juga wudhu seorang wanita menjadi batal karena menyentuh kemaluannya, sebagaimana wudhu orang lain yang menyentuhnya. Lingkaran dubur hukumnya sama dengan kemaluan menurut mereka. Berbeda dengan kantung sperma di bawah dzakar dan rambut disekitarnya menyentuh kedua bagian itu tidak membatalkan wudhu.

Keterangan lain dapat ditemukan misalnya dalam kitab Bidayat al Mujtahid wan Nihayat al-Muqtasid. Penyusun kitab ini mengelompokkan pendapat para ulama yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama menyatakan bahwa menyentuh zakar dengan cara apapun, itu membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’i dan pengikutnya, Ahmad, dan Dawud. Kelompok kedua berpendapat bahwa menyentuh zakar itu sama sekali tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Abu Hanifah dan pengikutnya. Dua kelompok di atas sama-sama mempunyai legitimasi pendapat di kalangan sahabat dan tabiin.

Kelompok ketiga membedakan cara menyentuh zakar itu yang terbagi atas beberapa pendapat:

  1. Pendapat yang membedakan antara sentuhan yang terasa enak dan tidak. Jika terasa nikmat membatalkan wudhu dan jika sebaliknya tidak membatalkan.
  2. Pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan telapak tangan dan sentuhan dengan lainnya. Jika menyentuh dengan telapak tangan membatalkan wudhu, dan jika tidak dengan telapak tangan tidak membatalkan. Dua pendapat di atas diriwayatkan dari Malik dan muridmuridnya. Mungkin menurut kelompok ini telapak tangan dianggap membawa kenikmatan khusus.
  3. Pendapat yang membedakan antara sengaja dan lupa. Jika menyentuh zakar secara sengaja dengan telapak tangan, maka itu membatalkan wudu. Tetapi jika menyentuhnya karena lupa, maka itu tidak membatalkan.

Pendapat ini diriwayatkan dari Malik yang didukung oleh Dawud dan para pengikutnya. Sebagian lagi ada ulama yang menyatakan bahwa keharusan wudhu karena menyentuh zakar itu hanya sunat, bukan wajib.


Menurut Imam Taqi al-Diin, di antara hal yang merusak wudhu ialah menyentuh farjinya anak Adam, baik farjinya sendiri atau milik orang lain. Farjinya perempuan maupun farjinya laki-laki, anak kecil maupun orang dewasa. Orangnya masih hidup maupun sudah mati, dan yang disentuh itu qubul maupun dubur. Sebab kata farji itu mencakup makna hal-hal tersebut.


Menyentuh zakar yang sudah terpotong, atau menyentuh zakar yang masih ada bentuknya, atau menyentuh zakar dengan tangan yang lumpuh dapat membatalkan wudhu menurut qaul yang rajih. Andaikata orang itu menyentuh dengan tangan tambahan, maka jika tangannya itu genap jari-jarinya, dapat membatalkan wudhu. Jika tidak genap (tidak sempurna), tidak membatalkan wudhu. Sedangkan Imam An-Nawawi sebagaimana dikutif oleh Zakiah Daradjat, mengatakan yang membatalkan wudhu di antaranya adalah memegang kemaluan. Namun tentang hal ini hukumnya masih diperselisihkan ulama.