Runtuhnya Benteng Pemisah Antara Wahabi Arab dan Orang Aceh

Beberapa hari Yang lalu, dua Syeh dari Arab datang ke Aceh, ada yang menarik dari kedatangan dua Ulama besar Saudi ini. dimana selama ini orang aceh menganggap bahwa mereka adalah Wahabi yang anti dengan ibadah-ibadah seperti Doa dan baca qunut. hal ini bahkan bisa dilihat dari makna yang tersirat dari surat seorang Guru dayah MUDI MESRA Samalanga, yang menganggap hal ini tidak baik.

Kedatangannya ke Aceh telah merubah pandangan beberapa orang (termasuk saya) dalam menilai ulama-ulama dari luar. kita tidak seharusnya menilai sebelum melihat bagaimana mereka, apalagi hanya bersumber dari orang-orang tertentu (yeng berbeda pandangan) dan media massa.

Syeikh Ali Jaber memberikan tausiah seusai shalat Subuh berjamaah di Mapolda Aceh, Banda Aceh
Syeikh Ali Jaber memberikan tausiah seusai shalat Subuh berjamaah di Mapolda Aceh, Banda Aceh. *foto: serambi

BELAJAR DARI PENGALAMAN

Saat saya masih belum tinggal di Banda Aceh, saya sangat benci mendengar yang namanya Muhammadiyah, bahkan hampir-hampir sampai pada tingkat mengkafirkan mereka. hal ini disebabkan karena saya tidak pernah melihat bagaimana Muhammadiyah itu. yang saya tahu Muhammadiyah itu bukan bermazhab Syafii dan mereka salah.
Seiring berjalannya waktu, saya telah tinggal di banda Aceh selama 6 tahun ini saya jadi tahu bagaimana kelompok Muhammadyah itu. dan pandangan sayapun berubah drastis, karena pada saat tertentu saya shalat dibelakang mereka, dan pernah juga mereka shalat dibelakang saya. dalam artian, pandangan yang diberikan oleh orang-orang sebelum sya melihatnya langsung sangat jauh berbeda.
Ditempat saya belajar, ada Dosen yang terus terang mengaku bahwa beliau Muhammadiyah dan kami biasa saja. mereka pun ketika mendengar penjelasan dari kami yang syafiiyah juga biasa saja. tidak ada yang luarbiasa dalam menyingkapi perbedaan ini. bahkan guru-guru saya yang bermazhab syafiiah menjadikan mereka sebagai teman akrab baik dalam diskusi ataupun dalam kehidupan sehari-hari.
Saya rasa, Penilaian oang Aceh terhadap syeh-syeh yang dari timur tengah juga seperti itu, mereka hanya berpegang pada “surah Guree” (penjelasan guru) yang belum pernah ke Arab. bahkan dalam penjelasan sering juga ada penambahan sabgai bumbu, sehingga menimbulkan penilaiian yang begitu ekstrim terhadap mereka. seolah-olah tidak ada lagi kemungkinan untuk bersatu karena dipisahkan oleh tembok yang sangat tebal.
Padahal dalam kenyataannya, kita tidak mengerti, tidak tahu dan tidak mau tahu tentang mereka sehingga kita berani menfonis dengan berbekal ketidak tahuan. Kita selalu mengihindari diskusi untuk meruntuhkan temboh pemisah seperti ini, kita lebih sering memberi fatwa “sesat” tanpa terlebih dahulu mendengar penjelsan dari mereka.
celakanya penjelasa tentang kesesatan mereka disampaikan pada orang awam tentang itu, sehingga akan menimbulkan bibit-bibit baru yang membenci mereka secara membabi buka namun tak tahu akar masalahnya.
ADA MAKHLUK “WAHABI” LAIN
Ketika pelaksaan shalat Subuh berjamaah di Polda Aceh bersama syeh, syeh Ali Jaber mengangkat tangan dan membaca qunut, pengikutnya juga melakukan hal yang sama, namun dalam penglihatan saya ada beberapa jamaah yang bersikeras tidak mau mengangkat tangan untuk berqunut.
Ini membuat saya curiga, siapa sebenarnya mereka, yang saya tahu selama ini, kelompok yang tidak mau berqunut di Bnada Aceh menisbahkan pekerjaan mereka kepada Imam-imam di Arab, namun nyatanya saat imam Besar dari Arab berqunut mereka tidak.
apakah penisbatan mereka hanya sebagai cara untuk mencari pembenar saja? ataukah ini ada misi tertentu? Wallahu ‘alam.
AMBIL HIKMAH
Setidaknya dari kedatangan syeh kemarin sudak dapat menerangkan beberapa pandangan orang awam tentang “wahabi arab”, karena yang sebenarnya kita hadapi adalah “tidak mau berdiskusi langsung main fonis”

Banda Aceh

fakhrul rozi