Sekilas Tentang Hibbah

Salah satu bentuk taqarrub kepada Allah Swt dalam rangka mempersempit kesenjangan sosial serta menumbuhkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial, adalah hibah atau pemberian. Hibah, yang dalam pengertian umum shadaqah dan hadiah, dilihat dari aspek vertikal (hubungan antara manusia dengan Tuhan) memiliki dimensi taqarrub, artinya ia dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan seseorang. Semakin banyak berderma dan bershadaqah akan semakin memperkuat dan memperkokoh keimanan dan ketakwaan, inilah aspek vertikal hibah. Dilihat dari sudut lain, hibah juga mempunyai aspek horisontal (hubungan antara sesama manusia serta lingkungannya) yaitu dapat berfungsi sebagai upaya mengurangi kesenjangan antara kaum yang berpunya dengan kaum yang tidak punya, antara si kaya dan si miskin, serta menghilangkan rasa kecemburuan sosial, inilah aspek horisontal hibah.
Kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba digunakan dalam al-Qur’an beserta kata derivatifnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi, dan jika subyeknya Allah berati memberi karunia, atau menganugerahi (QS. Ali Imran, 3:8, Maryam, 19:5, 49, 50, 53).
Sekilas Tentang HibbahSecara bahasa, dalam kamus Al-Munjid, hibah berasal dari akar kata wahaba – yahabu – hibatan, berarti memberi atau pemberian. Dalam Kamus al-Munawwir kata “hibah” ini merupakan mashdar dari kata ( وهب ) yang berarti pemberian. Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pemberian dengan sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.
Menurut terminologi, kata hibah dirumuskan dalam redaksi yang berbeda-beda, di antaranya:
1. Jumhur ulama sebagaimana dikutip Nasrun Haroen,6 merumuskan hibah adalah:

Artinya: “Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela”.

Maksudnya, hibah itu merupakan pemberian sukarela seseorang kepada orang lain tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya pemilikan harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi.
2. Abd al-Rahmân al-Jazirî dalam Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al- Arba’ah,7 menghimpun empat definisi hibah dari empat mazhab, yaitu menurut mazhab Hanafi, hibah adalah memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’i dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup.
3. Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan mazhab Hambali:
Artinya: Pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta itu, baik harta itu tertentu maupun tidak, bendanya ada dan boleh diserahkan yang penyerahannya dilakukan ketika pemberi masih hidup, tanpa mengharapkan imbalan.
4. Menurut Sayyid Sabiq,9 hibah adalah akad yang dilakukan dengan maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dan tanpa imbalan.
5. Definisi dari Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, bahwa hibah adalah memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam hubungannya dengan keadaan ketika masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas.
6. Tidak jauh berbeda dengan rumusan di atas, Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary,11 bahwa hibah adalah memberikan suatu barang yang pada galibnya sah dijual atau piutang, oleh orang ahli tabarru, dengan tanpa ada penukarannya.
Beberapa definisi di atas sama-sama mengandung makna pemberian harta kepada seseorang secara langsung tanpa mengharapkan imbalan apapun, kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hibah adalah akad atau perjanjian yang menyatakan perpindahan milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa mengharapkan penggantian sedikitpun.
Hibah sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka kebajikan antara sesama manusia sangat bernilai positif. Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa hukum hibah adalah sunat berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa, 4: 4 yang berbunyi:

Artinya: … Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu…

Dalam surat al-Baqarah, 2: 177 Allah berfirman:

Artinya: …dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anakanak yatim, orang-orang miskin, dan orang musafir (yang memerlukan pertolongan)…

Para ulama juga beralasan dengan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw, beliau bersabda: Saling berhadiahlah kamu sekalian, niscaya kamu akan saling mencintai. (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam “Al Adabul Mufrad, dan diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad yang bagus.

Menurut Al-San’any bahwa Al Baihaqi dan lainnya juga meriwayatkan hadis tersebut, tetapi dalam setiap riwayatnya banyak kritikan orang; sedang penyusunnya sudah menilai hasan sanadnya (hadis hasan); seakan-akan beliau menilainya hasan itu karena banyak penguatnya.
Di antaranya hadis berikut ini, sekalipun lemah.

Artinya: Dari Anas r.a., beliau berkata; Rasulullah saw., bersabda: saling memberi hadiahlah kamu sekalian, karena sesungguhnya hadiah itu menghilangkan kedengkian. (Diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang lemah).

Kelemahannya itu adalah karena di antara para perawinya ada orang yang lemah. Hadis tersebut mempunyai beberapa sanad yang seluruhnya tidak ada yang sepi dari kritik. Dalam suatu matan lain bahwa hadiah itu akan menghilangkan rasa dendam. Hadis-hadis tersebut sekalipun tidak lepas dari kritikan orang, namun sesungguhnya hadiah itu jelas mempunyai fungsi bagi perbaikan perasaan hati.
Baik ayat maupun hadis di atas, menurut jumhur ulama menunjukkan (hukum) anjuran untuk saling membantu antar sesama manusia. Oleh sebab itu, Islam sangat menganjurkan seseorang yang mempunyai kelebihan harta untuk menghibahkannya kepada orang yang memerlukannya. Menurut Ali Ahmad al-Jurjawi yang dikutip Masjfuk Zuhdi,19 bahwa Islam menganjurkan agar umat Islam suka memberi, karena dengan memberi lebih baik daripada menerima. Pemberian harus ikhlas, tidak ada pamrih/motif apa-apa, kecuali untuk mencari keridhaan Allah dan untuk mempererat tali persaudaraan/persahabatan.

Sekalipun hibah memiliki dimensi taqarrub dan sosial yang mulia, di sisi lain terkadang hibah juga dapat menumbuhkan rasa iri dan benci, bahkan ada pula yang menimbulkan perpecahan di antara mereka yang menerima hibah, terutama dalam hibah terhadap keluarga atau anak-anak. Hibah seorang ayah terhadap anak-anak dalam keluarga tidak sedikit yang dapat menimbulkan iri hati, bahkan perpecahan keluarga. Artinya, hibah yang semula memiliki tujuan mulia sebagai taqarrub dan kepedulian sosial dapat berubah menjadi bencana dan malapetaka dalam keluarga.