Keputusan Muktamar NU Tentang Kedudukan Hak Cipta Dalam Hukum Waris

Sudut Hukum | Keputusan Muktamar NU Tentang Kedudukan Hak Cipta Dalam Hukum Waris
Di samping masalah ibadah NU juga memberikan respon terhadap masalah-masalah yang aktual dalam melakukan bahtsul masail, ini terbukti bahwa NU mengadakan pembahasan dalam muktamar ke-28 tentang Kedudukan Hak Cipta Dalam Hukum Waris.
Keputusan Muktamar NU Tentang Kedudukan Hak Cipta Dalam Hukum Waris Permasalahan yang timbul sekarang ini adalah munculnya suatu fenomena di masyarakat dewasa ini bagaimana jika hak cipta ini dijadikan sebagai harta warisan yang antara pewaris dan ahli warisnya saling mewarisi satu sama lain. Kalau menurut Pasal 3 Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, mungkin sudah jelas bahwa hak cipta itu dianggap sebagai benda bergerak yang bisa beralih atau dialihkan untuk sebagian atau seluruhnya, dengan cara pewarisan, hibah, wasiat, dijadikan milik negara dan diperjanjikan.
Permasalahan diatas jika dikaji dari sudut pandang Islam, Kedudukan Hak Cipta Dalam HukumWaris dikategorikan sebagai permasalahan fiqih sosial. Fiqih memiliki prinsip-prinsip antara lain:
1. Formulasi dari kajian (penalaran) faqih (fuqaha), dan kebenarannya bersifat nisbi (relative).
2. Fiqih sifatnya beragam (Difersity), sunni dengan empat madzhab terkenalnya Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
3. Fiqih berwatak liberal.
4. Fiqih mengalami perubahan seiring dengan tuntutan ruang dan waktu, dengan kata lain fiqih itu dinamis.
5. Fiqih bercorak realistis.28
Sejalan dengan tuntutan jaman yang pasti berkembang terus, maka aktulisasi fiqih Islam merupakan suatu keniscayaan. Ada tiga komponen yang dapat berperan disini, yakni: Ulama, Negara/Pemerintah (Aulia/Amr) dan masyarakat sebagai subyek hukum (fiqh).
Ulama atau Fuqaha sebagai pemegang otoritas dalam mereformulasikan fiqih sosial, selain memiliki keberanian dan persyaratan yang memadai intuk menjawab persoalan, juga memiliki kepekaan yang tinggi dalam menagkap persoalan dilingkungannya. Kemudian berusaha memberikan solusi, apakah itu secara individual (Fardhi) atau kolektif kelembagaan (Jama’iy).
Nahdlatul Ulama (NU) memandang problematika yang terjadi di kalangan masyarakat mengenai permasalahan tentang kedudukan hak cipta dalam hukum waris. Dalam menyikapi permasalahan tersebut, maka dewan syuriyah memutuskan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut dalam muktamar ke-28 yang diadakan di Yogyakarta pada tahun 1989. Adapun isi materi keputusan tersebut adalah :
Soal : Apakah Hak Cipta menghasilkan uang atau nilai ekonomi selama dalam waktu yang ditetapkan menurut Undang-Undang Hak Cipta, bagaimanakah kedudukanya dalam hukum waris, sedangkan harta mayit yang lain, sudah lama dibagi waris dan bagaimana pula kaitannya dengan zakat.
Jawab : Kedudukan Hak Cipta dalam hukum waris adalah termasuk tirkah sekalipun harta almarhum yang lain sudah lama di bagi. Adapun kaitanya dengan zakat adalah seperti halnya mal ( harta ) biasa. [1]
Pengambilan dalil dari jawaban mengenai kedudukan hak cipta dalam hukumwaris menggunakan kitab sebagai berikut:
1. Dalam kitab Al-Qulyubi Juz III halaman 135.
Artinya : “ Harta Pusaka adalah yang ditinggalkan oleh mayit walaupun denga sesuatu sebab atau bukan berupa harta seperti suatu keahlian, ataupun dalam bentuk khamar yang kemudian menjadi cuka setelah kematiannya, atau denda menuduh zina atau buruan yang masuk dalam jaring yang telah dipasang setelah kematiannya.
2. Dalam kitab I’anatut Thalibin juz III halaman 223
Artinya : “ Harta Pusaka adalah apa saja yang ditinggalkan oleh mayit, baik dalam bentuk harta maupun hak.
Dari pengambilan dua dalil tersebut yang di jadikan sebagia landasan keputusan mengenai kedudukan hak cipta dalam hukum waris dapat di ketahui bahwa harta pusaka atau harta warisan adalah seluruh harta yang ditiggalkan oleh pewaris tidak hanya berupa harta peniggalan yang berupa harta benda saja, akan tetapi juga bisa berupa hak-haknya ataupun keahlian atau ketrampilan yang di wariskan oleh pewaris kepada ahli warisnya. Hak Cipta yang merupakan benda yang bergerak yang dapat beralih atau dialih tangankan baik secara keseluruhan atau sebagian salah satunya dengan cara pewarisan.



[1] Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual: Dari Normatif Kepemaknaan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm 445-446