Pengertian Nadzir

Sudut Hukum | Kata nadzir secara etimologi berasal dari kata kerja nazira – yandzaru yang berarti “menjaga” dan “mengurus”.[1] Di dalam kamus Arab Indonesia disebutkan bahwa kata nadzir berarti; “yang melihat”, “pemeriksa.”[2] Dengan demikian kata nadzir mempunyai arti “pihak yang melakukan pemeriksaan atau pihak yang memeriksa suatu obyek atau sesuatu hal yang berkaitan dengan obyek yang ada dalam pemeriksaannya itu.


Dalam terminologi fiqh, yang dimaksud dengan nadzir adalah orang yang diserahi kekuasaan dan kewajiban untuk mengurus dan memelihara harta wakaf.[3] Jadi pengertian nadzir menurut istilah adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf dengan sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuan harta wakaf.[4]


Pengertian Nadzir

Selain kata nadzir, dalam hukum Islam juga dikenal istilah mutawalli. Mutawalli merupakan sinonim dari kata nadzir yang mempunyai makna yang sama yakni orang yang diberi kuasa dan kewajiban untuk mengurus harta wakaf.[5] Lebih jelas lagi dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 di dalam ketentuan umum, butir keempat menyebutkan bahwa nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.


Meskipun hukum Islam tidak membahas masalah nadzir dengan jelas, akan tetapi ada hal-hal yang mengisyaratkan tentang arti pentingnya kedudukan nadzir, karena nadzir merupakan salah satu dari unsur wakaf, tanpa nadzir maka wakaf tidak akan berjalan dengan baik. Unsur-unsur pembentuk wakaf antara lain:


a. Wakif yaitu orang yang mewakafkan hartanya.


Orang yang mewakafkan hartanya menurut Islam disebut wakif. Yang dimaksud dengan wakif adalah subyek hukum, yakni orang yang berbuat. Menurut peraturan perundang-undangan wakif ialah orang atau orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya.[6] Bagi seseorang atau orang-orang yang hendak mewakafkan tanahnya harus memenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu:

  1. Mukallaf, yakni orang atau orang-orang yang dianggap mampu untuk melaksanakan perbuatan hukum.
  2. Tidak karena terpaksa. Pelaksanaann wakafnya harus atas dasar kehendaknya sendiri.
  3. Ia harus dapat mewakafkan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[7]

b. Mauquf atau harta yang diwakafkan


Barang atau benda yang diwakafkan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut;

  1. Harus tetap dzatnya, dan harus dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama (tidak habis sekali pakai), pemanfaatannya haruslah untuk hal-hal yang halal dan sah menurut hukum Islam.
  2. Harta yang diwakafkan harus jelas wujud dan batas-batasnya.
  3. Benda yang diwakafkan dapat berupa benda tidak bergerak dan dapat juga berupa benda yang bergerak.
  4. Harta benda yang diwakafkan harus bebas dari segala beban.[8]

c. Mauquf ‘alaih


Unsur yang ketiga ini merupakan unsur yang berbentuk tujuan wakaf itu sendiri, dimana tujuan wakaf harus untuk kepentingan peribadatan (masjid, mushala, langgar dan lain-lain) atau untuk kepentingan umum lainnya (lembaga pendidikan, yayasan atau lembaga sosial, pasar, jalan dan lain sebagainya) sesuai dengan ajaran Islam.[9]


d. Sighat atau ikrar wakaf


Ikrar wakaf dalam peraturan perundang-undangan merupakan “suatu pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya.” Pengucapan ikrar wakaf ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:

  1. Ikrar harus jelas dan tegas kepada siapa (nadzir) dan untuk apa tanah tersebut diwakafkan.
  2. Ikrar wakaf harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Disamping kedua syarat ikrar wakaf tersebut, menurut perundangundangan yang berlaku pengucapannya harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) di Kecamatan setempat. Pernyataan wakaf yang merupakan tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan dapat dilakukan secara lisan maupun dalam bentuk tulisan. [10]




[1] Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum Agraria Nasional, Jakarta: Tatanusa, 2003, hlm. 97

[2] Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir al-Qur’an, 1973, hlm. 457

[3] Ibnu Syihab al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Juz IV, Beirut: Daar al-Kitab al-Alamiyah, 1996, hlm. 610

[4] M. Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, hlm. 91

[5] Abdir Rauf, al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm. 147

[6] PP. Nomor 28 Tahun 1977, Pasal 1 ayat (2) jo Permenag Nomor 1 Tahun 1978, Pasal 1 Huruf (c).

[7] Taufiq Hamami, op. cit., hlm. 71-72

[8] Abi Yahya Zakaria al-Anshari, Fathul Wahab, Juz I, Semarang: Toha Putra, t.th., hlm. 259-261

[9] Ibid.

[10] M. Daud Ali, op. cit., hlm. 85-87