Hadas Kecil

Sudut Hukum | Hadats Kecil

1. Pengertian

Hadats kecil adalah kondisi hukum dimana seseorang sedang tidak dalam keadaan berwudhu’. Entah memang karena asalnya belum berwudhu’ ataupun sudah berwudhu’ tetapi sudah batal lantaran melakukan hal-hal tertentu.
Misalnya, seorang yang tertidur pulas secara hukum telah batal wudhu’-nya, namun secara fisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Dalam hal ini dikatakan bahwa orang itu berhadats kecil. Dan untuk mensucikannya dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu’ atau bertayammum bila tidak ada air.

2. Penyebab Hadats Kecil

suduthukum.com/2015/08/perbedaan-hadas-dengan-najis.htmlHal-hal yang bisa mengakibatkan hadats kecil adalah ada beberapa hal, diantaranya adalah keluarnya sesuatu lewat lubang kemaluan, tidur, hilang akal, menyentuh kemaluan, dan menyentuh kulit lawan jenis.
Hal-hal yang membuat seseorang berhadats kecil dan bisa membatalkan wudhu’ ada beberapa hal. Sebagian disepakati para ulama dan sebagian lainnya masih menjadi khilaf atau perbedaan pendapat.
a. Keluarnya Sesuatu Lewat Kemaluan
Yang dimaksud kemaluan itu termasuk bagian depan dan belakang. Dan yang keluar itu bisa apa saja termasuk benda cair seperti air kencing, mani, wadi, mazi, atau apapun yang cair. Juga berupa benda padat seperti kotoran, batu ginjal, cacing atau lainnya.
Pendeknya apapun juga benda gas seperti kentut. Kesemuanya itu bila keluar lewat dua lubang qubul dan dubur membuat wudhu’ yang bersangkutan menjadi batal.
Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut ini :

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ

Atau bila salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air. (QS. Al-Maidah: 6)

Juga berdasarkan hadits nabawi :


إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَل عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersasabda,”Bila seseorang dari kalian mendapati sesuatu pada perutnya lalu dia merasa ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka tidak perlu dia keluar dari masjid, kecuali dia mendengar suara atau mencium baunya”. (HR. Muslim)


b. Tidur
Tidur yang bukan dalam posisi tetap (tamakkun) di atas bumi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW
مَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأ -رواه أبو داود وابن ماجة.

Siapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu’ (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang membuat hilangnya kesadaran seseorang. Termasuk juga tidur dengan berbaring atau bersandar pada dinding. Sedangkan tidur sambil duduk yang tidak bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri tidak termasuk yang membatalkan wudhu’ sebagaimana hadits berikut :

عَنْ أَنَسٍ رَضي الله عنه قاَلَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهsيَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّؤُنَ – رواه مسلم – وزاد أبو داود : حَتَّى تَخْفَق رُؤُسُهُم وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ

Dari Anas radhiyallahuanhu berkata bahwa para shahabat Rasulullah SAW tidur kemudian shalat tanpa berwudhu’ (HR. Muslim) – Abu Daud menambahkan : Hingga kepala mereka terkulai dan itu terjadi di masa Rasulullah SAW.

c. Hilang Akal
Hilang akal baik karena mabuk atau sakit. Seorang yang minum khamar dan hilang akalnya karena mabuk maka wudhu’ nya batal. Demikian juga orang yang sempat pingsan tidak sadarkan diri juga batal wudhu’nya.
Demikian juga orang yang sempat kesurupan atau menderita penyakit ayan dimana kesadarannya sempat hilang beberapa waktu wudhu’nya batal. Kalau mau shalat harus mengulangi wudhu’nya.
d. Menyentuh Kemaluan
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأ – رواه أحمد والترمذي

Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu (HR. Ahmad dan At-Tirmizy)

Para ulama kemudian menetapkan dari hadits ini bahwa segala tindakan yang masuk dalam kriteria menyentuh kemaluan mengakibatkan batalnya wudhu. Baik menyentuh kemaluannya sendiri ataupun kemaluan orang lain. Baik kemaluan laki-laki maupun kemaluan wanita. Baik kemaluan manusia yang masih hidup ataupun kemauan manusia yang telah mati (mayat). Baik kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak kecil. Bahkan para ulama memasukkan dubur sebagai bagian dari yang jika tersentuh membatalkan wudhu.
Namun para ulama mengecualikan bila menyentuh kemaluan dengan bagian luar dari telapak tangan dimana hal itu tidak membatalkan wudhu’.
e. Menyentuh Kulit Lawan Jenis
Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada lapisan atau penghalan, termasuk hal yang membatalkan wudhu menurut pendapat para ulama.
Di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk yang membatalkan wudhu’. Namun hal ini memang sebuah bentuk khilaf di antara para ulama. Sebagian mereka tidak memandang demikian.
Sebab perbedaan pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat Al-Quran yaitu :

أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا

Atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik. (QS. An-Nisa : 43)

Sebagian ulama mengartikan kata ‘menyentuh’ sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima’ (hubungan seksual). Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit tidak membatalkan wuhu’.
Ulama kalangan As-Syafi’iyah cenderung mengartikan kata ‘menyentuh’ secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu’.
Menurut mereka bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
Dan Imam Asy-Syafi’i nampaknya tidak menerima hadits Ma’bad bin Nabatah dalam masalah mencium.
Namun bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi’iyah, sebenarnya kita masih juga menemukan beberapa perbedaan. Misalnya sebagian mereka mengatakan bahwa yang batal wudhu’nya adalah yang sengaja menyentuh sedangkan yang tersentuh tapi tidak sengaja menyentuh maka tidak batal wudhu’nya.
Juga ada pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami istri). Menurut sebagian mereka bila sentuhan itu antara suami istri tidak membatalkan wudhu’.
Dan sebagian ulama lainnya lagi memaknainya secara harfiyah sehingga menyentuh atau bersentuhan kulit dalam arti fisik adalah termasuk hal yang membatalkan wudhu’. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah dan juga semua salaf dari kalangan shahabat.
Sedangkan Al-Malikiyah dan jumhur pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan syahwat (lazzah) maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu’.
Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah menyentuh para istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu’ lagi.

أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ

Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah radhiyallahuanhadari Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu”.(HR. Turmuzi Abu Daud An-Nasai Ibnu Majah dan Ahmad).

3. Berthaharah dari Hadats Kecil

Bertaharah dari hadats kecil dilakukan dengan dua cara, yaitu wudhu dan tayammum. Namun tayammum hanya dibolehkan manakala semua syarat wudhu sudah tidak ada lagi. Dan tayammum sebenarnya bukan hanya mengangkat hadats kecil saja tetapi juga termasuk hadats besar.[fiqihkehidupan]