Asuransi Syariah

Sudut Hukum | Asuransi Syariah

Dalam bahasa Arab asuransi disebut at-ta’min, penanggung disebut mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut mu’aman lahu atau musta’min. At-ta’min memiliki arti memberi perlindungan, ketenanggan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut.


Dalam buku Muhammad Syakir Sula, menurut Mustafa ahmad Zarqa, Asuransi secara istilah adalah kejadian. Adapun Metodologi dan gambaranya dapat berbeda-beda, namaun pada intinya, asuransi adalah cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari Risiko (ancaman), bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya. Husain hamid hasan menyatakan bahwa asuransi adalah sikap atta’awun yang telah diatur dengan system yang sangat rapi, antara sejumlah besar manusia.[1]


Asuransi Syariah

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No: 21/DSN-MUI/X/2001dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi syariah, memberikan definisi tentang asuransi. Menurutnya, asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’yang memberikan pola pengembalian dalam menghadapi risiko tertentu melalui akad (perjanjian) yang sesuai dengan syariah. Oleh sebab itu, premi dalam asuransi Syariah adalah sejumlah dana yang dibayarkan oleh peserta yang terdiri atas dana tabungan dan tabarru’ Dana tabungan adalah dana titipan yang diberikan oleh peserta asuransi (life insurance) dan akan mendapatkan alokasi bagi hasil (almudharabah) dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun. Dana tabungan beserta alokasi bagi hasil akan dikembalikan kepada peserta apabila peserta yang bersangkutan mengajukan Klaim, baik berupa klaim tunai maupun klaim manfaat asuransi. Sedangkan Tabarru’ adalah derma atau dana kebijakan yang diberikan dan diikhlaskan oleh peserta asuransi jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat asuransi (life maupun general insurance).[2]


Asuransi syariah mengandung tiga unsur yang harus dilaksanakan dan dua unsur yang harus dihindari. Unsur-unsur yang harus dilaksanakan yaitu: at-takaful (Tolong menolong), tabarru’ (hibah/dana kebijakan) serta aqad (akad). Unsurunsur yang harus dihindari adalah unsur gharar (ketidak pastian) maisir (judi/untung-untungan) serta riba.


Kata takaful berasal dari tafakala-yatafakulu, yang secara etimologi berati menjamin, Atau saling menanggung. Takaful dalam pengertian muamalah adalah saling memikul risiko diantara semua orang sehingga antara satu yang lainya menjadi penanggung atas risiko yang lainya. Saling pikul risiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’ dana ibadah, sumbangan, derma yang ditujukan untuk menanggung risiko. Takaful dalam pengertian muamalah ditegaskan diatas tiga prinsip dasar. Tiga prinsip dasar itu adalah saling bertanggung jawab, saling bekerja sama, dan saling membantu, serta saling melindungi.


Tabarru’ berasal dari kata tabarra’a-yatabarra’utabarru’an, artinya sumbangan, hibah, dana kebajikan atau derma. Tabarru’ merupakan pemberian sukarela seseorang kepada orang lain, tanpa ganti rugi yang mengakibatkan berpindahnya kepemilikan harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi.


Kata aqad berasal dari bahasa arab yaitu al-aqad yang berarti perikatan, perjanjian, dan pemufakatan, al-ittifaq. Secara terminology fiqih, aqad didefinisikan sebagai pertalian ijab (pernyataan melekukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariah yang berpengaruh pada obyek perikatan.


Rukun aqad terdiri dari tiga yaitu :


  1. Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighat al-aqd).
  2. Pihak-pihak yang berakad (al-muta-aqidain).
  3. Objek akad (al-mu’qud’alaih)

Gharar merupakan suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar terjadi apabila kedua belah pihak yaitu peserta dan pihak perusahaan asuransi saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi dimasa akan datang, jumlah yang akan diterima pada waktu klaim, dan jumlah premi yang akan dibayarkan.


Maisir menurut terminologi agama merupakan suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain, dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan satu tindakan atau kejadian tertentu. Prinsip maisir dilarang dalam ajaran islam, baik itu terlibat secara mendalam ataupun hanya berperan sedikit saja, atau tidak berperan sama sekali.


Secara istilah teknis riba berarti, pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Riba dilarang dalam prinsip muamalah dalam islam, karena akan menguntungkan salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain merasa dirugikan.



[1] Muhammad Syakir Syula, Asuransi Syariah (Life and General), Jakarta:Gema Insani Press, 2004, hlm 26

[2] Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Edisi Revisi Tahun 2006