Sejarah Istihsan

Sudut Hukum | Sejarah Istihsan

Awal mula digunakan istihsan adalah ketika ada kasus al-musyarrakah dalam ilmu waris. Kasus ini juga dikenal dengan sebutan al-himariyah.
suduthukum.com/2015/10/pengertian-istihsan.htmlDalam kasus ini terjadi perbedaan pendapat di tengah para shahahat. Sebagian sahabat mengikutsertakan saudara kandung (seibu-sebapak) mayit bersama saudara seibunya dalam memperoleh bagian sepertiga dari warisan. Ini terjadi jika seorang istri wafat dan meninggalkan seorang suami, seorang ibu, 2 saudara seibu dan beberapa saudara sekandung.
Jika melihat kaidah umum waris yang berlaku, maka seharusnya saudara sekandung tidak mendapatkan apa-apa, karena sebagai seorang ‘ashabah ia harus menunggu sisa warisan setelah ia dibagi untuk semua ashab al-furudh, yang dalam hal ini suami, ibu dan saudara seibu. Disinilah para sahabat Nabi saw berbeda dalam pendapat :
Pendapat pertama diwakili oleh Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas dan Abu Musa radhiyallahuanhum. Mereka berpendapat sesuai kaidah umum waris, yaitu bahwa saudara seibu mendapatkan 1/3 dan saudara sekandung tidak memperoleh apa-apa.
Pendapat kedua diwakili oleh Umar, Utsman, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahuanhum. Mereka mengikutsertakan saudara sekandung dalam bagian saudara seibu (1/3). Bagian ini dibagi rata antar mereka. Alasannya karena saudara sekandung memiliki kesamaan jalur hubungan kekerabatan dalam pewarisan ini, yaitu: ibu. Mereka semua berasal dari ibu yang sama, karena itu sepatutnya mendapatkan bagian yang sama.
Jika kita memperhatikan pendapat yang kedua, nampak jelas bagaimana para sahabat yang mendukungnya meninggalkan kaidah umum waris yang berlaku dan menetapkan apa yang berbeda dengannya. Dan dari prosesnya, mungkin tidak terlalu jauh bagi kita untuk mengatakan ini sebagai sebuah istihsan dari mereka.
Demikianlah hingga akhirnya di masa para imam mujtahid, kata istihsan menjadi semakin sering didengar, terutama dari Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Dimana dalam banyak kesempatan, kata istihsan sering disandingkan dengan qiyas. Sehingga sering dikatakan: “Secara qiyas seharusnya demikian, namun kami menetapkan ini berdasarkan Istihsan.”