Hukum Uang Muka Menurut Ulama Mazhab

Sudut Hukum | Hukum Uang Muka Menurut Ulama Mazhab

Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat:

Menurut Jumhur Ulama


Para ulama umumnya mengharamkan sistem uang muka yang bisa hangus ini, karena dianggap termasuk memakan harta orang dengan cara yang batil.

Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyyah, Al-Malikiyyah dan Asy-Syafi’iyyah termasuk di antara mereka yang mengharamkan penghangusan uang muka.

Al Khothobi menyatakan, “Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan jual beli ini. Malik, Syafi’i menyatakan ketidaksahannya, karena adanya hadits dan karena terdapat syarat fasad dan Al Ghoror. Juga hal ini masuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan bathil. Demikian juga Ash-habul Ra’yi (madzhab Abu Hanifah -pen) menilainya tidak sah.”

Hukum Uang Muka Menurut Ulama MazhabIbnu Qudamah menyatakan, “Ini pendapat Imam Malik, Al Syafi’i dan Ash-hab Al Ra’yi dan diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas dan Al Hasan Al Bashri.”

Dasar argumentasi mereka di antaranya:

a. Larangan Nash

Adanya hadits yang melarang jenis jual-beli urban berikut ini :


نَهَى رَسُولُ اللَّهِ r عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ

Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka.


Imam Malik menyatakan bahwa jual-beli ini seperti seorang membeli budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian menyatakan,”Saya berikan kepadamu satu dinar dengan ketentuan apabila saya gagal beli atau gagal menyewanya maka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu”.

b. Memakan Harta Orang Dengan Cara Batil

Jenis jual beli semacam itu termasuk memakan harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan bagi si penjual tanpa ada kompensasinya. Sedangkan memakan harta orang lain hukumnya haram sebagaimana firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. An Nisaa’ : 29)


Al-Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa diantara bentuk memakan harta orang lain dengan batil adalah jual beli dengan jual-beli urbun ini. Jual beli ini tidak benar dan tidak boleh menurut sejumlah ahli fiqih dari ahli Hijaz dan Iraq, karena termasuk jual beli perjudian, gharar, spekulatif, dan memakan harta orang lain dengan batil tanpa pengganti dan hadiah pemberian dan itu jelas batil menurut ijma’.

c. Dua Syarat Batil

Karena dalam jual beli itu ada dua syarat batil: syarat memberikan uang panjar dan syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha. Padahal Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ سَلَف وَبَيْعَ وَلاَ شَرْطاَنِ فيِ بَيْعٍ

“Tidak boleh ada hutang dan jual beli dan dua syarat dalam satu jual beli.” (HR Al Khomsah).


Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui (Khiyaar Al Majhul). Kalau disyaratkan harus ada pengembalian barang tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian juga apabila dikatakan, “Saya punya hak pilih. Kapan mau, akan saya kembalikan dengan tanpa dikembalikan uang bayarannya. Ibnu Qudamah menyatakan, “Inilah qiyas (analogi).”

”Pendapat ini dirojihkan Al Syaukani dalam pernyataan beliau, “Yang rojih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama, karena hadits ‘Amru bin Syu’aib telah ada dari beberapa jalan periwayatan yang saling menguatkan. Juga karena hal ini mengandung larangan dan hadits yang terkandung larangan lebih rojih dari yang menunjukkan kebolehan sebagaimana telah jelas dalam ushul Fiqih…”

‘Illat (sebab hukum) dari larangan ini adalah jual beli ini mengandung dua syarat yang fasid; salah satunya adalah syarat menyerahkan kepada penjual harta (uang muka) secara gratis apabila pembeli gagal membelinya. Yang kedua adalah syarat mengembalikan barang kepada penjual apabila tidak terjadi keridhoan untuk membelinya.

Menurut Mazhab Al-Hanabilah

Berbeda dengan jumhur ulama, pendapat madzhab Al-Hanabilah justru membolehkan jual-beli dengan sistem uang muka yang bisa hangus ini.

Dasar argumentasi mereka adalah:

a. Kebolehan Nash

Atsar yang berbunyi,

عَنْ نَافِعِ بْنِ الحارث أَنَّهُ اشْتَرَى لِعُمَرَ دَارَ السِّجْنِ مِنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ فَإِنْ رَضِيَ عُمَرُ وَ إِلاَّ فَلَهُ كَذَا وَ كَذَا

Diriwayatkan dari Nafi bin Al-Harits, ia pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah, (dengan ketentuan) apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak mendapatkan uang sekian dan sekian.


Al-Atsram berkata, “Saya bertanya kepada Ahmad, ‘Apakah Anda berpendapat demikian?’ Beliau menjawab, ‘Apa yang harus kukatakan? Ini Umar rodhiyallohu ‘anhu (telah berpendapat demikian).’”


b. Lemahnya Hadits Yang Melarang

Hadits Amru bin Syuaib adalah lemah sehingga tidak dapat dijadikan sandaran dalam melarang jual beli ini.

Kelemahannya karena semua jalan periwayatannya kembali kepada orang tsiqah yang mubham (tidak disebut namanya). Ini karena imam Malik menyatakan, Telah menceritakan kepadaku seorang tsiqah sebagaimana dalam riwayat Ahmad dan Malik di Muwatha’.” Sedangkan dalam riwayat Abu Daud dan ibnu Majah diriwayatkan imam Malik menyatakan, “Telah sampai kepada kami bahwa Amru bin Syu’aib …”

Ini tentu saja menunjukkan adanya perawi yang dihapus antara Malik dengan Amru bin Syu’aib. Adapun ibnu Majah meriwayatkan dari jalan lain, namun ada perawi bernama Abu Muhammad Habieb bin Abi Habieb Katib Malik yang matruk (lemah sekali) dan Abdullah bin Amir Al Aslami yang juga lemah.

Hadits ini dinilai lemah oleh Imam Ahmad, Al Baihaqi , Al Nawawi, Al Mundziri, Ibnu Hajar dan Al Albani

c. Biaya Kompensasi

Panjar ini adalah kompensasi dari penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Ia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Tidak sah ucapan orang yang mengatakan bahwa panjar itu telah dijadikan syarat bagi penjual tanpa ada imbalannya.

d. Qiyas Pengharaman Tidak Sesuai

Tidak sahnya qiyas atau analogi jual beli ini dengan Al Khiyar Al Majhul (hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui), karena syarat dibolehkannya panjar ini adalah dibatasinya waktu menunggu. Dengan dibatasinya waktu pembayaran, maka batallah analogi tersebut, dan hilanglah sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.

e. Bukan Judi

Jual beli ini tidak dapat dikatakan jual beli mengandung perjudian sebab tidak terkandung spekulasi antara untung dan buntung. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarah Bulugh Al Maram hal. 100 menyatakan, “Ketidakjelasan dalam jual beli al-Urbun tidak sama dengan ketidak jelasan dalam perjudian, karena ketidakjelasan dalam perjudian menjadikan dua transaktor tersebut berada antara untung dan buntung, adapun ini tidak, karena penjual tidak merugi bahkan untung dan paling tidak barangnya dapat kembali.

Sudah dimaklumi seorang penjual memiliki syarat hak pilih untuk dirinya selama satu hari atau dua hari, dan itu diperbolehkan. Dan jual beli dengan uang muka ini menyerupai syarat hak pilih tersebut. Hanya saja penjual diberi sebagian dari pembayaran apabila barang dikembalikan, karena nilainya telah berkurang bila orang mengetahui hal itu walaupun hal ini didahulukan namun ada maslahat disana. Juga ada maslahat lain bagi penjual karena pembeli bila telah menyerahkan uang muka akan termotivasi untuk menyempurnakan transaksi jual belinya.

Demikian juga ada maslahat bagi pembeli, karena ia masih dapat memilih mengembalikan barang tersebut bila menyerahkan uang muka. Padahal bila tidak tentu diharuskan terjadinya jual beli tersebut.”