Perdamaian Dalam Perspektif Islam

Sudut Hukum | Perdamaian Dalam Perspektif Islam

Dalam Islam perdamaian dikenal dengan Al-Islah yang berarti memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan. Berusaha menciptakan perdamaian, membawa keharmonisan, menganjurkan orang untuk berdamai antara satu dengan lainnya, melakukan perbuatan baik berperilaku sebagai orang suci.[1] Dalam bahasa Arab, perdamaian diistilahkan dengan “Ash Shulhu” secara harfiyah mengandung pengertian “memutus pertengkaran”.

Dalam pengertian syari’at dirumuskan sebagai berikut: “suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (perselisihan)”.[2] Menurut Imam Taqiy Al-Din Abu Bakar Ibnu Muhammad Al- Husaini dalam kitab Kifayatul Akhyar, Ash Shulhu adalah: “akad yang memutuskan perselisihan antara dua pihak yang berselisih”.[3]

Shulhu (perdamaian) adalah perjanjian untuk saling menghilangkan permusuhan, perbantahan, perdendaman dan sikap-sikap yang dapat menimbulkan permusuhan dan peperangan.[4]

Perdamaian Dalam Perspektif IslamIslah merupakan sebab untuk mencegah suatu perselisihan dan memutuskan suatu pertentangan dan pertikaian. Pertentangan itu apabila berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, untuk itu maka islah mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran dan menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah dan pertentangan dan yang menimbulkan sebab-sebab serta menguatkannya persatuan dan persetujuan, hal ini merupakan suatu kebijakan yang diajarkan oleh syara’.

Al-Qur’an menjelaskan islah merupakan kewajiban umat Islam baik secara personal maupun sosial. Penekanan islah ini lebih terfokus pada hubungan antara sesama umat manusia dalam rangka pemenuhan kewajiban kepada Allah SWT. Damai mempunyai arti tidak bermusuhan, keadaan tidak bermusuhan, berbaik kembali, tentram, aman, sedang mendamaikan, memperdamaikan yaitu menyelesaikan permusuhan (pertengkaran) supaya kedua belah pihak berbaikan kembali, merundingkan supaya mendapat persetujuan dan mendamaikan sendiri mempunyai arti sendiri yaitu penghentian permusuhan.[5]

Perjanjian damai (shulh) menjadi hak para mahluk yang sebagian ada pada sebagian lain yang memungkinkan untuk di gugurkan dan diganti rugi. Sedangkan hak-hak Allah SWT, seperti, hukuman dan zakat, maka tidak ada jalan untuk damai di dalamnya. Perdamaian di dalamnya adalah melaksanakannya secara sempurna.

Perjanjian damai meliputi lima macam:

  1. Damai antara kaum muslim dan kaum yang berperang dengannya,
  2. Perjanjian damai antara kelompok yang memililki keadilan dengan kelompok yang menyerang diantara kaum muslimin,
  3. Perjanjian damai antara sepasang suami isteri jika dikhawatirkan terjadi perpecahan keduanya,
  4. Perbaikan hubungan antara dua pihak yang bertikai bukan dalam perkara harta,
  5. Perbaikan hubungna antara dua pihak yang bertikai dalam perkara harta. Perdamaian ini macam ini terbagi dua macam, yaitu perdamaian damai tentang keputusan dan perdamaian damai tentang pengingkaran.[6]
Ruang lingkup perdamaian sangat luas baik pribadi maupun sosial. Diantara islah yang diperintahkan Allah SAW adalah dalam hal masalah rumah tangga. Untuk mengatasi kemelut dan sengketa rumah tangga (syiqoq dan nusyus) dalam surat An-Nisa’ ayat 35, surat tersebut menegaskan bahwa setiap terjadi persengketaan diperintahkan untuk mengutus pihak ketiga (hakam) dari pihak suami atau istri untuk mendamaikan mereka. Dalam hal ini ulama fiqh sepakat untuk menyatakan bahwa kalau hakam (juru damai dari pihak suami dan istri) berbeda pendapat maka putusan mereka tidak dapat dijalankan dan kalau hakam sama-sama memutuskan untuk mendamaikan suami-istri kembali, maka putusannya harus dijalankan tanpa minta kuasa mereka.[7]

Ayat ini juga menjelaskan tentang pengangkatan hakim, jika kamu tahu ada pertengkaran antara suami istri, sedang kamu tidak mengetahui siapa yang bersalah dan mereka terus mempersengketakan, ayat ini menunjukkan kebolehan untuk pengangkatan hakim.[8]

Di kalangan umat Islam dulu juga dikenal dengan adanya tahkim yaitu orang yang mereka sepakati dan tunjuk sebagai seorang hakam[9] untuk menyelesaikan sengketa. Tahkim berasal dari bahasa arab yang artinya menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu.

Selain itu tahkim digunakan sebagai istilah bagi orang atau kelompok yang ditunjuk untuk mendamaikan sengketa yang terjadi diantara dua pihak. Tahkim dimaksud untuk menyelesaikan sengketa dimana para pihak yang terlibat dalam sengketa diberi kebebasan untuk memilih seorang hakam (mediator) sebagai penengah atau orang yang dianggap netral yang mampu mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.[10]
Abu Al-‘Ainain Abdul Fatah Muhammad dalam bukunya yang berjudul Al-Qadla Wa Al-Itsbat Fi Al Fiqih Al Islami menyebut definisi tahkim sebagai berikut : “Bersandarnya dua orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian mereka”. Adapun Abdul Karim Zaidan, Seorang pakar hukum Islam berkebangsaan Irak, dalam bukunya Nidzam Al-Qadla Fi Asy- Syari’at Al-Islamiyah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tahkim adalah : “Pengangkatan atau penunjukan secara suka rela dari dua orang yang bersengketa akan seseorang yang mereka percaya untuk menyelesaikan sengketa antara mereka”.[11]

Dalam hal mewujudkan perdamaian melibatkan beberapa pihak, antara lain:
  1. Pihak yang berselisih
  2. Pendamai atau hakam yang diangkat dari pihak hakim atau hakamain.[12]


Dari kedua keluarga ahli fiqih dalam hal ini menetapkan bahwa hakim itu hendaknya orang yang mempunyai sifat hakim, yaitu dapat dijadikan saksi dan benar-benar mempunyai keahlian untuk bertindak sebagai hakam. Dalam hukum Islam usaha mendamaikan sengketa merupakan usaha yang harus terus dilakukan agar jalinan keluarga bertahan untuk selama-lamanya.




[1] Abdul Aziz Dahlan (et.el), Ensikopledi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2996, h. 740

[2] Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h. 26

[3] Imam Taqiy Al-Din Abu Baker Ibnu Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, juz I, Semarang: Toha Putra, h. 271

[4] M. Abdul Majid, et al, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet ke-4, 1994, h. 328

[5] W.J.S. Poerwo Darminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: P.N. Balai Pustaka, cet ke-8, 1985, h. 225.

[6] As-Shan’ani, Subulus Salam juz 3, Beirut-Libanon: Darul Kitab Ilmiyah, 1182 H, h. 110.

[7] Abdul Aziz Dahlan et.el, Ensikopledi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, h. 1750

[8] Ibid, h. 741.

[9] Tahkim adalah menjadikan sebagai hakam. Berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada orang yang mereka sepakati dan setuju serta rela menerima keputusannya untuk menyelesaikan persengketaan mereka, berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada orang yang mereka tunjuk (sebagai penengah) untuk memutuskan atau menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara mereka. Lihat Ibid, h. 1750

[10] http://www.pa-balikpapan.net/indek.php?view=article

[11] Satria Effendi M. Zein, Arbitrasse Islam di Indonesia, Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indoneio (BAMUI), 1994, h. 8.

[12] Hakamain berdasarkan pengertian berdasarkan surah An-Nisa’ ayat 35 ditafsirkan oleh para ulama’ fiqh sebagai juru damai yang terdiri atas wakil dari pihak suami dan wakil dari pihak istri, untuk mencari jalan keluar dari kemelut yang dihadapi oleh pasangan suami istri. Lihat dalam kitab Risalatun Nikah, Jakarta: Gema Insani, Press, cet I, 1999, h.158.