Ajaran Moral dan Sumber Nilai-Nilainya

Sudut Hukum | Ajaran Moral dan Sumber Nilai-Nilainya

Moral secara bahasa berasal dari bahasa Latin mores yang merupakan bentuk jamak dari kata mos yang berarti kebiasaan, atau adat kebiasaan.[1] Sedangkan dalam Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia, dikatakan bahwa moral adalah (1) ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlaq, budi pekerti, susila; (2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan; (3) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.[2] Secara istilah, pengertian moral ialah (1) prinsip hidup yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk; (2) kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah; (3) ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik. Istilah moral biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan perangai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau tidak layak, patut maupun tidak patut.


Dalam pemahaman masyarakat umum, istilah moral sering disamakan dengan akhlaq dan etika. Dikarenakan ketiga hal tersebut, memiliki beberapa persamaan yaitu:[3]

  1. moral, akhlaq dan etika mengacu pada ajaran atau gambaran tentang perbuatan, tingkah laku, sifat dan perangai yang baik.
  2. moral, akhlaq dan etika merupakan prinsip atau aturan hidup manusia untuk menakar martabat dan harkat kemanusiaan.
  3. moral, akhlaq dan etika seseorang atau sekelompok orang tidak semata-mata merupakan faktor keturunan yang bersifat tetap, statis, dan kostan, tetapi merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang.


Dalam menggambarkan suatu ajaran moral, al-Qur’an menggunakan kata akhlaq, baik itu secara eksplisit maupun implisit. Penentuan baik dan buruk dalam islam didasarkan pada ajaran moral yang bersifat subyektif (menentukan baik dan buruk berdasarkan sesuatu di luar diri manusia, yaitu wahyu dan al-Qur’an), dan obyektif (menentukan baik dan buruk berdasarkan akal budi manusia). Perbuatan baik dan buruk itu ditentukan oleh Allah melalui wahyu; namun, al-Qur’an pun menjelaskan baik dan buruk bersifat obyektif, dapat diketahui oleh akal sehat, baik sesudah maupun sebelum al-Qur’an diturunkan. Akal memiliki kapasitas untuk mengetahui baik dan buruk serta membedakannya; tetapi akal tidak memiliki otoritas untuk menetapkan sesuatu perbuatan bahwa itu baik atau buruk.[4]


Moral berlaku sesuai dengan ide umum yang diterima, tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan umum yang diterima oleh kesatuan sosial atau lingkungan tertentu, hal tersebut berlaku karena moral memandang perbuatan manusia secara lokal. Oleh karena itu, penilaian baik dan buruknya seseorang dilihat dari amal perbuatannya yang nyata, bukan dari niat hatinya yang tersembunyi, atau sekalipun perbuatan tersebut dilakukan secara terpaksa.[5]


Ajaran Moral dan Sumber Nilai-Nilainya

Dalam hal ini Durkheim mengatakan, bahwa dunia moral adalah dunia masyarakat, dimana obyek perilaku moral adalah kelompokatau masyarakat, bahkan tindakan demi kepentingan diri sendiri tidak pernah dianggap bersifat moral. Dengan begitu tidak ada masyarakat tanpa moralitas. Bertindak secara moral berarti menaati suatu norma, yang menetapkan perilaku apa yang harus diambil pada suatu saat tertentu. Disini terlihat bahwa moralitas berada dalam ruang lingkup kewajiban, dimana kewajiban adalah perilaku yang telah ditetapkan terlebih dahulu.[6]


Dari paparan diatas dapat disimpulkan, bahwa sumber nilai ajaran moral berasal dari tiga hal, yaitu: pertama, agama (dalam hal ini al-Qur’an); kedua, hati nurani dan akal sehat atau pikiran yang jernih; ketiga, adat kebiasaan masyarakat. Sebagai contoh, tindakan pencurian. Menurut agama pencurian adalah suatu tindakan tercela yang harus mendapat hukuman: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. al-Maidah; 5: 38). Namun dalam waktu yang sama, baik sesudah ataupun sebelum al-Qur’an turun, hati nurani dan akal budi manusia pun telah mengakui bahwa pencurian adalah tindakan tercela.


Begitu pula adat kebiasaan dan kesepakatan masyarakat tidak membenarkan tindak pencurian karena itu sama artinya merugikan orang lain dan mengganggu ketenangan hidup bermasyarakat.


1. Nilai Dasar Ajaran Moral dalam Islam

Di kalangan masyarakat luas terdapat berbagai pendapat tentang hubungan moral dan agama. Dalam islam, agama merupakan sumber utama dari moralitas manusia, jadi moralitas merupakan bagian dari agama, yakni sebagai pedoman bagaimana manusia seharusnya bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama.[7]


Sebagaimana Fazlur Rachman katakan, bahwa dasar ajaran al-Qur’an adalah moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial. Hukum moral tidak dapat diubah; Ia merupakan perintah Tuhan; manusia tidak dapat membuat hukum moral: bahkan ia sendiri harus tunduk kepadanya, ketundukan itu disebut “Islam” dan perwujudannya dalam kehidupan disebut ibadah atau pengabdian kepada Allah SWT.[8]


Moral, akhlaq dan etika dalam pengetiannya yang mendasar, sebagai konsep dan ajaran yang komprehensif yang menjadi pangkal pandangan hidup tentang baik dan buruk, benar dan salah yang mencakup keseluruhan pandangan dunia dan pandangan hidup. Pembahasan baik dan buruk menurut al-Qur’an dapat dibagi dalam beberapa pokok bahasan. Antara lain: al-Haq dan al-Batil (kebenaran dan kebatilan), al-Islah dan al-Ifsad (perbaikan dan penghancuran), al-Tayyib dan al-Khabis (yang baik dan yang buruk), al-Hasanah dan al-Sayyi’ah (kebaikan dan keburukan). Adapun pengembangan sifat, sikap dan perilaku dari pokok bahasan diatas sangatlah beragam.


Al-Qur’an diturunkan untuk mengajarkan dan menetapkan suatu perbuatan baik dan perbuatan yang lain buruk. Al-Qur’an pun membimbing manusia untuk melakukan perbuatan baik dan benar, dengan disertakan penjelasan bahwa melakukan kebaikan akan mendapat pahala dan melakukan kebatilan akan mendapat dosa. Dalam hal ini manusia diberi kewenangan untuk memilih melakukan perbuatan baik atau perbuatan buruk, akan tetpi manusia pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah.


Dari paparan diatas dapat kita simpulkan, bahwa ketaatan atau sikap hormat dan tanggung jawab adalah dua nilai moral dasar yang menjadi landasan atas terbentuknya nilai-nilai moral yang lain, seperti contohnya: kejujuran, keadilan, bijaksana, suka menolong, amanah, dan lain sebagainya.


2. Pilar-pilar Ajaran Moral

Pada dasarnya, pengetahuan dan pertimbangan moral menjadi penentu tingkah laku moral. Salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang berlaku baik meskipun ia telah memiliki pengetahuan tentang baik dan buruk adalah karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan.


Dalam usaha membentuk pribadi yang bermoral, menurut Thomas Lickona perlu melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:[9]


a. Moral Knowing

Moral knowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur, yaitu:


  1. Kesadaran moral (moral awareness)
  2. Pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values)
  3. Penentuan sudut pandang (perspective taking)
  4. Logika moral (moral reasoning)
  5. Keberanian mengambil menentukan sikap (decision making)
  6. Pengenalan diri (self knowledge)

Keenam unsur ini adalah faktor penting dimulainya penanaman nilai-nilai ajaran moral terhadap diri seseorang, hal tersebut sesuai dengan titah manusia sebagai makhluk berakal.


Agama islam merupakan pedoman bagi manusia yang berakal. Sebagaimana firman Allah: “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (Q.S. Al-Zumar; 39: 18).


b. Moral Loving atau Moral Feeling

Moral loving merupakan penguatan aspek emosi pada diri seseorang, guna membentuk sikap akan kesadaran terhadap jati diri, yaitu:


  1. Nurani (conscience)
  2. Percaya diri (self esteem)
  3. Kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty)
  4. Cinta kebenaran (loving the good)
  5. Pengendalian diri (self control)
  6. Kerendahan hati (humility)

Keenam unsur ini berguna untuk membangun kepekaan seseorang terhadap dirinya sendiri dan orang lain, dengan tujuan agar agar seseorang mampu mempertahankan prinsip dirinya secara bertanggungjawab.


c. Moral Doing/ Acting

Tindakan moral ini adalah hasil dari dua pilar yang telah dijelaskan sebelumnya. Lahirnya sebuah tindakan itu berasal dari tiga unsur berikut ini:


  1. Kompetensi (competence)
  2. Keinginan (will)
  3. Kebiasaan (habit)

Dari ketiga pilar ajaran moral inilah, terlihat bahwa ajaran moral itu bersifat terapan. Dimana ketiga pilar ini bersama-sama saling mendukung dan menciptakan tindakan moral.




[1] Kemenag RI, Etika Berkeluarga, bermasyarakat, dan Berpolitik (Tafsir al-Qur’an Tematik), (Seri. 3, Jakarta; Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2009), h. 1.

[2] Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Cet. I,

Edisi IV, 2008), h. 929.

[3] Kemenag RI, Etika, …, h. 11.

[4] Kemenag RI, Etika, …, h. 15.

[5] Kemenag RI, Etika, …, h. 325-328.

[6] Emile Durkheim, Moral Education, terj. Lukas Ginting, (Erlangga, 1961), h. 17.

[7] Lihat, Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai Karakter; Konstruktivisme dan VCT sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif, (Edisi. I, Cet. III, Jakarta; Rajawali Pers, 2014), h. 50.

[8] Fazlur Rahman, Islam. Terj. Senoaji Saleh, (Cet.II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 49.

[9] Lihat, Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai Karakter; Konstruktivisme dan VCT sebagai

Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif, (Edisi. I, Cet. III, Jakarta; Rajawali Pers, 2014), h. 1-3. Lihat juga, Thomas Lickona, Pendidikan Karakter; Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik, terj. Lita. S, (Cet. II, Bandung; Nusa Media, 2014), hlm. 74. Lihat juga, Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Cet. II, Bandung; Remaja Rosdakaya, 2012), h. 112. Lihat juga, Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta; Bumi Aksara, 2011), h. 133.