Sejarah Perkembangan Bantuan Hukum di Indonesia

Sudut Hukum | Sejarah Perkembangan Bantuan Hukum di Indonesia

Perkembangan bantuan hukum di Indonesia tidak lepas dari sejarah berkembangnya bantuan hukum tersebut secara Internasional. Sejarah bantuan hukum menunjukkan bahwa bantuan hukum pada mulanya berawal dari sikap kedermawanan (charity) sekelompok elite gereja terhadap para pengikutnya, hubungan kedermawanan ini juga ada pada pemuka adat dengan penduduk sekitarnya. Suatu pola hubungan patron-client jelas terpancar disini. Pengertian bantuan hukum disini tidak begitu jelas sehingga ada kesan, bantuan hukum diinterprestasikan sebagai bantuan dalam segala hal ekonomi, sosial, agama dan adat.
Sejarah secara perlahan mengembangkan konsep bantuan (hukum). Dasar berpijak “kedermawanan” itu mulai diubah menjadi “hak”. Setiap klien yang terampas haknya boleh mendapatkan bantuan hukum.
Bantuanhukum sudah mulai dihubungkan dengan hak-hak politik, ekonomi dan sosial. Dalam praktek sehari-hari bantuan hukum juga mulai melebarkan sayapnya, tidak saja terbatas di negara-negara kapitalis tetapi juga di negara sosialis. Pada beberapa dekade terakhir ini gerakan bantuan hukum hampir terdapat dimana-mana, di Afrika Selatan, Brazilia, Taiwan, Tanzania dan lain-lain. Kalau bantuan hukum diartikan sebagai charity maka bantuan hukum di Indonesia sudah ada sejak datangnya agama Nasrani ke Indonesia tahun 1500-an, bersamaan datangnya bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Dan kalau kata charity dikaitkan dengan praktek tolong-menolong dalam masyarakat hukum adat kita, maka lembaga tolong-menolong ini adalah juga salah satu bentuk dari bantuan hukum meskipun tidak terorganisasi.
Sejarah Perkembangan Bantuan Hukum di IndonesiaDalam hukum positif Indonesia soal bantuan hukum ini sudah diatur dalam Pasal 250 Herziene Indische Reglement (HIR). Menurut pasal ini, advokat diminta bantuan hukumnya apabila ada permintaan dari orang yang dituduh serta diancam dengan hukuman mati. Dengan demikian pasal 250 HIR tidak mewajibkan advokat untuk memberikan bantuan hukum kepada orang yang dituduh atau diancam hukuman mati. Pasal 250 HIR tersebut, juga lebih ditujukan kepada mereka yang bergolongan kewarganegaraan Eropa/Belanda, pasal ini sarat dengan warna unsur diskriminasi rasial.
Jadi, asal 250 HIR dalam prakteknya lebih mengutamakan bangsa Belanda dibandingkan bangsa Indonesia. Daya laku pasal ini terbatas bila para advokat tersedia dan bersedia membela mereka yang terkait dengan perkara pidana serta dituduh dan diancam hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup.
Meskipun daya laku HIR terbatas, bisa ditafsirkan sebagai awal mula pelembagaan bantuan hukum kedalam hukum positif kita. Meskipun HIR tidak diperlakukan secara penuh tetapi HIR adalah pedoman yang tampaknya juga diterima sebagai kenyataan praktek HIR ini masih tetap dianggap sebagai pedoman sampai dilahirkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman), dimana “hak untuk mendapatkan bantuan hukum” itu dijamin melalui Pasal 35, 36 dan 37.
Secara intitusional, lembaga atau biro bantuan hukum dalam bentuk konsultasi hukum pernah didirikan de Rechtshoge School Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker, seorang guru besar hukum dagang dan hukum acara perdata. Biro konsultasi hukum yang beralamat di Kramat Raya 112 Jakarta tersebut dimaksudkan untuk memberi nasehat hukum kepada rakyat tidak mampu disamping juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum. Biro yang dikelola oleh Mr. Alwi St. Osman dan Mr. Elkana Tobing serta beberapa mahasiswa ternyata tidak sepenuhnya sukses karena kurangnya pengalaman praktek dikalangan pengelolanya.
Pada tahun 1953 ide mendirikan semacam biro konsultasi hukum itu kembali muncul. Kali ini dari sebuah perguruan Tionghoa Sim Ming Hui atau Tjandra Naya. Biro ini baru pada tahun 1945 didirikan dibawah pimpinan Prof. Ting Swan Tiong. Biro ini agak terbatas ruang geraknya dan lebih mengutamakan konsultasi hukum bagi orang Cina. Biro ini juga tidak begitu sukses.
Prof. Ting Swan Tiong yang perhatiannya amat banyak dalam bidang ini pada tahun 1962 datang kepada dekan fakultas Universitas Indonesia Prof. Sujono Hadibroto dan mengusulkan agar di fakultas hukum didirikan biro konsultasi hukum. Usulan ini disambut baik, dan pada tanggal 2 mei 1953 yang bertepatan dengan hari pendidikan nasional, resmilah didirikan biro konsultasi hukum di Universitas Indonesia dengan Prof. Ting Swan Tiong sebagai ketuanya. Biro ini secara regular memberikan konsultasi hukum bagi orang tidak mampu. Pada tahun 1968 diubah namanya menjadi lembaga konsultasi hukum, lalu pada tahun 1974 diubah lagi menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum.
Di daerah-daerah lain, biro yang serupa juga didirikan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran bisa disebut sebagai tokoh bantuan hukum yang banyak jasanya dalam memberi teladan bagi biro-biro serupa didaerah lain. Biro konsultasi hukum di fakultas hukum Universitas Pajajaran didirikan pada tahun 1967. Biro-biro konsultasi hukum telah merubah bentuknya menjadi biro bantuan hukum dan dengan demikian meluaskan pelayanannya tidak sekedar memberi nasehat hukum, melainkan juga mewakili mengadakan pembelaan hukum di muka pengadilan. Diluar fakultas hukumdan paling menonjol serta aktif adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang didirikan pada tanggal 28 Oktober 1970 oleh Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN). LBH ini adalah wajah lain dari gerakan bantuan hukum di Indonesia karena cirinya yang sangat dinamik. Berkat sukses LBH Jakarta maka gerakan bantuan hukum di Indonesia memasyarakat. Ketika LBH menunjukan eksistensinya sebagai suatu lembaga mandiri yang memperjuangkan rakyat kecil, maka pendidikan secara cuma-cuma kepada masyarakat pun dimulai.
Bantuan hukum khususnya bagi masyarakat kecil yang tidak mampu dan buta hukum tampaknya merupakan hal yang dapat kita relatif baru di negara-negara berkembang, demikian juga di Indonesia. Namun didirikannya lembaga atau pusat bantuan hukum oleh berbagai golongan adalah suatu pertanda sehat bahwa bantuan hukum telah diakui sebagai salah satu basic needs.