Biografi Imam an-Nasa’i

Sudut Hukum | Imam Nasa’i nama lengkapnya adalah Abu ‘Abd Ahmad Ibnu Ali Ibnu Shu’aib Bahr al- Khurasani al-Qadi. Nama nasa’i dinisbatkan pada tahun 215H.[1] Ada yang berpendapat lahir tahun 214.[2]


Pada mulanya Imam Nasa’i belajar di daerah Hurasana. Dalam waktu menginjak usia remaja sering kali an-Nasa’i berkelana mencari hadis. Hisam, Irak, dan Syam yang tempat sering d kunjungi hadis dari ulama-ulama hadis.[3] Seperti Qutaibah ibnu sa’id, Ishak Ibnu Ruwaih, Haris Ibnu Misbin, Ali Ibnu Hashran, Abu Dawud dan Tirmidhi.[4]


Kesehariannya Imam al-Nasa’i diakui sebagai pribadi yang tekun beribadah, khususnya shalatullail (tahajjud), gemar berpuasa mirip Nabiyullah Dawud as. (sehari berpuasa dan esoknya berbuka), rutin menunaikan ibadah haji hampir setiap tahun kehidupan keulamaannya. Umur delapan tahun sudah berhasil menghafal al-Quran, mengambil bagian secara aktif sebagai militer sukarelawan muslim dalam rangka mempertahankan wilayah Mesir selaku teritorial Daulah Islamiyah dan menjadikan ceramah hadisnya sebagai misi untuk mengobarkan semangat jihad umat Islam disekitar domisilinya. Ketahanan fisiknya amat prima, seperti juga keampuhan ilmiahnya, terlihat pada kesanggupan memperistri empat orang wanita.


Biografi Imam an-Nasa’i

Sampai memasuki tahun 302 H. Imam al-Nasa’i lama tinggal di Mesir, ditinggalkan Meser menuju Damaskus. Setahun kemudian tepatnya hari senin tanggal 13 Safar tahun 303H. wafat di rumah palestina dan dimakamkan di Bait al-Maqdis. Sebagai ulama berpendapat ia wafat di makkah dan dimakamkan di suatu tempat antara safa dan marwah.[5]


Selaku ulama hadis fiqh yang terpandang seantero Mesir dan diduga keras pernah menjabat qodi di suatu daerah Mesir. Terbukti dengan rumusan judul pada koleksi hadis Sunan/al-Mujtaba, namun kecenderungan ijtihad yang dilakukan tampak memihak kepada paham Imam As-Syafi’i. Sebuah karangan fiqh mengenai tata laksana ibadah haji dan ummrah (manasik) di tulis oleh Imam al-Nasa’i dengan titel al-Manasik mengacu pada pemaparan fiqh syafi’iyyah.



Pada usia senja ± 88 tahun atau tepatnya memasuki tahun 303 H. Imam al-Nasa’i berada di Syiria, sebuah wilayah yang mayoritas penduduknya fanatic mendukung dinsti amawiyah (raja-raja keturunan Mu’awiyah bin Abi Sufyan). Gara- gara buku karangannya berjudul al-Kasa’is yang merangkum reputasi kepribadian, keilmuan dan prestasi kepahlawanan persi militer Ali bin Abi Thalib serta ahlul-bait (keluarga besar Nabi Muhammad SAW) dituduh sebagai agen politik syi’ah.[6]


Imam al-Nasa’i kebetulan saja karena sesuai dengan kebutuhan yang mendesak tertuju kepada pribadi Ali bin Abi Thalib beserta ahlul-bait Nabi, bukan tertuju kepada aliansi Syi’ah, sebab motif karangan Imam al-Nasai berjudul “al- Khasa’is” itu ditulis dalam rangka menetralisir persepsi buruk masyarakat muslim di wilayah Damascus yang amat memperihatinkan.[7] Dengan informasi data pribadi Ali bin Abi Thalib beserta pribadi menonjol di lingkungan ahlul-bait Nabi, diharapkan sifat positif masyarakat Damascus dalam menilai para leluhur umat Islam secara proporsional. Simpati pribadi Imam al-Nasa’i sebenarnya berlaku sama keserata sahabat Nabi Muhammad SAW, terbukti karangan beliau yang lain berjudul “Fadhail al-Sahabah” menjadi semacam perluasan dari karangan ter-dahulu bertitel al-Khasais itu. Dengan demikian beliau menjadi korban kebrutalan massa pendukung Dinasti Amawiyah.


Sebagai seorang ulama hadis an-Nasa’i telah menulis beberapa kitab besar tidak sedikit jumlahnya diantanya:

  1. Al-sunnah al-kubra
  2. Al-Sunnah al-Sughra, yang terkenal dengan al-Mujtaba
  3. Al-Khasa’is
  4. Al-Manasik.



Diantara kitab-kitab tersebut, yang terkenal besar dan bermutu adalah kitab al-Sunan al-kubra kitab ini yang terkenal dan beredar sampai sekarang.[8] Imam an-Nasa’i telah menyusun kitab yang diberi nama al-Sunan al-Kubra, kemudian ia himpunan lagi dalam kitab yang dinamakan al-sunan al-sugrhra. Al-Sunan al-Sughra disusuberdasarkan fiqh sebagaimana kitab-kitabyang lain-lain.[9]


Guru dan Murid

Seperti para pendahulunya: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam at-Tirmidzi, Imam an-Nasa’i juga tercatat mempunyai banyak pengajar dan murid. Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa at-Tirmidzi (penyusun al-Jami’/Sunan at-Tirmidzi).


Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim at-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir as-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr ad-Dalaby, dan Abu Bakr bin Ahmad as-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam an-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan an-Nasa’i.[10]


Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.


Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; as-Sunan al-Kubra, as-Sunan as-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab as-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail as- Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.[11]






[1] Muhammad Mahfudz, Manhaj Dzaw al-Nadh., 84. H Zainul Arifin, Studi Kitab Had, (Surabaya: Al-Muna 2005), h. 124

[2] Abu Shuhbah, Fi Rihab al-Sunnah., 91. H Zainul Arifin, Studi Kitab Had, (Surabaya: Al-Muna 2005), h. 124

[3] Rauf Syalabi, Al-Sunan al-Islamiyah Baina Isbat al-Fahimun wa Rafada aljahilin, (Mesir :al-sa’adah, 1978).’ 270. H Zainul Arifin, Studi Kitab Had, (Surabaya: Al-Muna 2005) , h. 124

[4] Ahmad Umar Hasyim, Munahij al-Muhaddithin, (Kairo : Jami’ah al Azhar, 1984), h. 96. HZainul Arifin, Studi Kitab Had, (Surabaya: Al-Muna 2005), h. 124

[5] Para ulama’ berselisih pendapat tentang wafatnya al-Nasa’i, ada yang pendapat di mekah, dikuburan antara Sofa dan Marwah. Pendapat lain di Ramlah dimakamkan di Bait al-Maqdis. Lihat M.M. Abu Shuhbah, Fi Rihab al-Sunnah., h. 325. H Zainul Arifin, Studi Kitab Had, (Surabaya: Al-Muna 2005), h. 125

[6] Al-Sayuthi, dalam Mukaddimah Sunan al-Nasai,,. H. 62

[7] Al-Sayuthi, dalam Mukaddimah Sunan al-Nasai,,. H. 65

[8] H Zainul Arifin, Studi Kitab Had, (Surabaya: Al-Muna 2005).,h. 125

[9] Abu Shuhbah, Fi rihab al- sunnah., 94. H Zainul Arifin, Studi Kitab Had, (Surabaya: Al-Muna 2005)., h. 125

[10] H Zainul Arifin, Studi Kitab Had, (Surabaya: Al-Muna 2005).,h. 126-127

[11] Ibid,,. H. 127