Kedudukan Perempuan di Aceh

Sudut Hukum | Cukup menarik membicarakan persoalan kedudukan perempuan di Aceh yang dianggap tidak janggal memegang jabatan tinggi bahkan menjadi ratu. Dalam kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, kedudukan perempuan disetarafkan dengan laki-laki, karena itu tidak mengherankan jika muncul sejumlah tokoh perempuan Aceh yang telah memainkan peran penting di tanah Aceh pada masa lampau, sejak zaman kerajaan Islam Perlak bahkan sampai zaman revolusi kemerdekaan. Baik sebagai pemimpin pemerintahan maupun sebagai pahlawan dalam peperangan.[1]


Demikian setelah terbentuk Kesultanan Aceh Darussalam, perempuan juga diberi kesempatan yang luas untuk ikut serta dalam lembaga-lembaga negara dan pertahanan. Dalam Kesultanan Aceh Darussalam, hak perempuan untuk memegang jabatan-jabatan apa saja dalam kerajaan diakui dalam Qanun Meukota Alam yang membolehkan kaum perempuan menduduki segala jabatan dalam lembaga negara. Demikian pula kewajiban mereka terhadap kerajaan, seperti kewajiban untuk membela dan memajukan kerajaan, oleh karena perempuan dipandang sama dengan pria dalam hukum kerajaan.[2]


Kedudukan Perempuan di Aceh
Image: cepologis.com
Sejarah Aceh mencatat banyak nama perempuan yang menonjol di masa lalu dalam hal kepemimpinan dan perlawanan. Jauh sebelum berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, kepemimpinan di Aceh pernah dipegang oleh perempuan, yakni Puteri Lindung Bulan yang memerintah Kerajaan Benua Teuming (negara bagian dari Kesultanan Perlak).[3] Dia adalah puteri Raja Muda Sedia yang memerintah dalam tahun 735 – 800 H (1353 – 1398 M). Sekalipun tidak memegang salah satu jabatan dalam pemerintahan, namun di belakang layar, Puteri Lindung Bulan telah membantu ayahnya dalam berbagai urusan kerajaan.[4] Selain itu, di Samudera Pasai juga ada Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu. Dia adalah Sultanah terakhir dari Kesultanan Samudera Pasai yang memerintah tahun 801 – 831 H (1400 – 1428 M).[5]

suduthukum.com

Dalam perjalanan sejarah Kesultanan Aceh Darussalam, kita dapati tokoh-tokoh perempuan yang memegang peranan penting dalam pemerintahan, angkatan perang dan lembaga-lembaga negara, sebagai akibat logis dari ketentuan Qanun Meukota Alam yang mengatur kedudukan perempuan.[6] Perempuan diberi peran cukup besar dalam angkatan perang kerajaan. Dapat disebutkan di sini pembentukan Armada Inong Balee pada masa Sultan al-Mukammil (1589–1604) yang terdiri dari janda-janda prajurit yang mati dalam pertempuran laut di teluk Aru.[7] Armada Inong Balee ini dipimpin oleh Laksamana Malahayati, seorang pahlawan perempuan yang telah banyak berjasa pada Kesultanan dan juga menonjol dalam menyusun strategi-strategi perang.[8]


Laksamana Malahayati juga telah berhasil menggagalkan percobaan pengacauan oleh angkatan laut Belanda di bawah pimpinan Cornelis dan Frederick de Houtman pada tahun 1599 M. Dalam pertempuran dengan kapal perang Belanda tersebut, Cornelis de Houtman mati ditikam Malahayati dan Frederijk ditawan.[9] Berkali-kali Armada Inong Balee ikut bertempur di Selat Malaka dan pantai-pantai Timur Sumatera. Seorang pengarang perempuan Belanda, Merie van Zuchtelen dalam bukunya Vrowlijke Admiral Malahayati sangat memuji-muji Laksamana Malahayati dengan Armada Inong Baleenya, yang terdiri dari 2000 prajurit perempuan yang gagah dan tangkas.


Laksamana Malahayati bukan saja seorang panglima armada perang, tetapi juga seorang negaraan. Ketika negeri Belanda berusaha memperbaiki hubungan dengan kerajaan Aceh, datanglah utusan Belanda, Sir James Lancaster yang datang ke Aceh pada 1602 M dengan membawa surat istimewa dari Prins Maurits, pemimpin negeri Belanda pada waktu itu. Malahayati ditunjuk oleh Sultan al-Mukammil untuk menghadapi utusan Inggris tersebut. Perundingan itu memberikan hasil yang gemilang, antara lain dibukanya kedutaan Aceh di negeri Belanda dengan Duta Besar pertama Abdul Hamid.[10]


Selain Inong Balee, ada juga Suke Kaway Istana (Resimen Pengawal Istana) yang dibentuk pada masa Sultan Muda Ali Riayat Shāh (m 1604–1607). Resimen perempuan pengawal istana ini terdiri dari Si Pai Inong (prajurit perempuan) dan dipimpin oleh dua pahlawan perempuan yaitu Laksamana Meurah Ganti dan Laksamana Muda Cut Meurah Inseuen.[11] Kedua pahlawan inilah yang berjasa membebaskan Sultan Iskandar Muda dari penjara tahanan Sultan Muda.[12]

Sultan Iskandar Muda juga menggunakan tiga ribu perempuan istana. Perempuan-perempuan istana ini mencakup satuan yang terlatih menggunakan senjata, bertindak sebagai pengawal istana dan mengambil bagian dalam arak-arakan kerajaan.[13] Sebuah devisi pengawal istana yang dibentuk oleh Sultan Iskandar Muda diberi nama Devisi Keumala Cahya, yang terdiri dari prajurit-prajurit perempuan dan penglimanya juga seorang jendral perempuan. Satu batalion devisi perempuan ini dijadikan “Batalion Kawal Kehormatan” yang prajurit-prajuritnya dipilih dari dara-dara yang ramping semampai dan berwajah rupawan. Batalion inilah yang ditugaskan untuk menyambut tamu agung dengan barisan kehormatannya.[14] Dr. J. Jakobs, yang mengupas persoalan kedudukan perempuan Aceh mengemukakan bahwa perempuan Aceh sebagai pemimpin bukan soal aneh. Katanya: “Tijdens onze ezpeditie naam Samalanga had aldaar eene vrouw met naam Pocut Maligai als regents de teugels van het bewind in handen en wist haar gezag met kracht te handhaven. Zij dreigde toetertijds iedereen weerbaren man met straf van ontmanning, wanneer hij in den oorlog zijne plicht als landverdediger mocht verzaken.”

Terjemahannya: ketika kita menyerang ke Samalanga bertindak di sana seorang perempuan bernama Pocut Maligai menjadi pemangku dan putra ahli waris kerajaan masih di bawah umur dan dia telah berhasil mempertahankan kekuasaannya. Dia mengancam dengan hukuman kebiri kepada setiap laki-laki yang sudah wajib perang mengelak dari kewajibannya.[15]


___________________________
[1] Suhaimi, Emi. Wanita Aceh Dalam Pemerintahan dan Peperangan (Banda Aceh: Yayasan Pendidikan A. Hasjmy, 1993), 3.
[2] A.Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia (Jakarta : Bulan Bintang, 1990), 148-149.
[3] Sri Lestari Wahyuningroem, “Peran Perempuan dan Era Baru di Nangroe Aceh Darussalam” Antropologi Indonesia, Vol. 29, No. 1 (Januari, 2005), 95.
[4] Suhaimi, Wanita Aceh Dalam Pemerintahan, 6.
[5] Ibid., 11.
[6] Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam,149.
[7] Pertempuran Teluk Aru yaitu pertempuran yang terjadi pada masa al-Mukammil (m. 1589-1604 M) antara armada Aceh dan armada Portugis. Pertempuran ini berakhir dengan hancurnya armada Portugis, tetapi sekitar 1000 orang prajurit dan dua orang laksamana Aceh gugur dalam pertempuran ini.
[8] Wahyuningroem, “Peran Perempuan dan Era Baru”, 96.
[9] Suhaimi, Wanita Aceh Dalam Pemerintahan, 26. 11Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam,143.
[10] Suhaimi, Wanita Aceh Dalam Pemerintahan, 26.
[11] Wahyuningroem, “Peran Perempuan dan Era Baru”, 96
[12] Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam,143.
[13] Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah Di Bawah Angin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), 192.
[14] Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam,143.
[15] Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid 1 (Medan: Waspada, 1981), 325-326.