Pengertian Waris

SUDUT HUKUM | Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni, kata waris (al-mirats) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa yaritsu irtsan mīrātsan. Kata tersebut bermakna “berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain.[1] Bentuk jamak dari kata waris adalah mawaris, yang artinya “Harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.[2]


Dalam Kamus Bahasa Indonesia, ada beberapa kata yang berhubungan dengan kata waris, yaitu:

  1. Waris : Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal.
  2. Warisan: Berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.
  3. Pewaris : Adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat
  4. Ahli waris: Yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris.
  5. Mewarisi: Yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya[3]
  6. Proses Pewarisan : Istilah ini mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu:

  • -Berarti penerusan atau penunjukkan para waris ketika pewaris masih hidup; dan
  • -berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.[4]



Secara istilah terdapat beberapa pengertian tentang kata waris, Seperti:

    Pengertian Waris

  • Ali Ash-Shabuni ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.[5]
  • Menurut Wirjono Prodjodikoro, waris adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup”.[6]
  • Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.[7]
  • Menurut Wahbah al-Zuhaili, waris atau warisan (mirats) sama dengan makna tirkah yaitu segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang sesudah wafat, baik berupa harta maupun hak-hak yang bersifat materi dan nonmateri.[8]
  • Hilman Hadikusumah dalam bukunya mengemukakan bahwa “warisan menunjukkan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal, yang kemudian disebut pewaris, baik harta itu telah dibagi-bagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi”.[9]
  • Soepomo dalam bukunya “Bab-bab tentang Hukum Adat” mengemukakan sebagai berikut: “Hukum waris itu memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses itu telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi “akuut” oleh sebab orang lua meninggal dunia. Memang mcninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.[10]
  • R. Santoso Pudjosubroto mengemukakan: “Yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.[11]
  • B. Ter Haar Bzn dalam bukunya “Azas-asas dan Susunan Hukum Adat” terjemahan K. NG. Soebakti Poesponoto memberikan rumusan hukum waris sebagai berikut: “Hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi”.[12]
  • A. Pitlo dalam bukunya “Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda” memberikan batasan Hukum waris sebagai berikut: “Hukum waris, adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”[13]
Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun terdapat rumusan dan uraian yang beragam tentang hukum waris, pada umumnya para penulis hukum sependapat bahwa “hukum waris itu merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara atau proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para ahli warisnya”.


Para Fuqaha telah mendalami masalah-masalah yang berpautan dengan warisan, dan menulis buku-buku mengenai masalah-masalah ini, dan menjadikannya suatu ilmu yang berdiri sendiri dan menamakannya: ilmu Mawaris atau ilmu Faraid. Orang yang pandai dalam ilmu ini, dinamakan Faaridi, Fardii, Faraaidli, Firridl.[14]



  • Syekh Zainuddin bin Abd Aziz al-Malibary mengatakan:[15] Kata faraid bentuk jama dari faridah artinya yang difardukan. Fardu menurut arti bahasa adalah kepastian; sedangkan menurut syara dalam hubungannya di sini adalah bagian yang ditentukan untuk ahli waris.
Para fuqaha menta’rifkan ilmu ini dengan: Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka, orang yang tidak dapat menerima pusaka, kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara pembagiannya.[16]



  • Menurut Ahmad Azhar Basyir, kewarisan menurut hukum Islam adalah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda yang wujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum.[17]
  • Menurut Amir Syarifuddin, hukum kewarisan Islam itu dapat diartikan seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.[18]

Dari batasan tersebut dapat diperoleh ketentuan bahwa menurut hukum Islam, kewarisan baru terjadi setelah pewaris meninggal dunia. Dengan demikian, pengoperan harta kekayaan kepada yang termasuk ahli waris pada waktu pewaris masih hidup tidak dipandang sebagai kewarisan.




[1] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Terj. Basalamah, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hlm. 33.
[2] Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm. 11.
[3] W.J.S. Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud, Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia, 1982, hlm. 1148.
[4] Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, Bandung : Alumni, 1980, hlm. 23.
[5] Ibid
[6] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 2006, hlm. 13.
[7] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, 2014, hlm. 13.
[8] Athoilah, Fikih Waris (Metode Pembagian Waris Praktis), Bandung: Yrama Widya, 2013, hlm. 2.
[9] Ibid, halaman 21
[10] Soepomo, op, cit, hlm. 72 – 73.
[11] R. Santoso Pudjosubroto, Masalah Hukum Sehari-hari, Yogyakarta: Hien Hoo Sing, 1964, hlm. 8.
[12] Ter Haar Bzn, Beginselen en Stelsel van Het Adat Recht, Terj. K. Ng. Soebakti Poesponoto, “Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat”, Jakarta: Pradnya Paramita, 1981, hlm. 197.
[13] A.Pitlo, Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terj. M. Isa Arief, Jakarta: Intermasa, 1979, hlm. 1.
[14] TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqih Mawaris, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 6
[15] Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Mu’in Bi Sarh Qurrah al-Uyun, Maktabah wa Matbaah, Semarang: Toha Putera , tth, hlm. 95
[16] Ibid
[17] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004 hlm. 132
[18] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 6