Syarat Materiil Sebuah Gugatan

SUDUT HUKUM | Syarat Materiil dari suatu gugatan, dapat dirinci sebagai berikut:

a. Identitas Para Pihak

dalam suatu surat gugatan haruslah jelas diuraikan mengenai identitas Penggugat/Para Penggugat atau tergugat/para tergugat.

Identitas itu umumnya menyangkut :

  • Nama lengkap;
  • Tempat Tanggal Lahir/ Umur;
  • Pekerjaan;
  • Alamat atau domicili


Syarat Materiil Sebuah Gugatan

Dalah hal penggugat atau tergugat adalah suatu badan hukum, maka harus secara tegas disebutkan dan siapa yang berhak mewakilinyamenurut anggaran dasar atau peraturan yang berlaku. Atau ada kalanya kedudukan sebagai penggugat atau tergugat itu dilakukan oleh cabang dari badan hukum itu, maka harus secara jelas disebutkan mengenai identitas badan hukum itu.


Penyebutan identitas para pihak dalam gugatan. Penyebutan ini merupakan syarat mutlak (absolute) keabsahan Surat Gugatan, yang apabila tidak dicamtumkan berimplikasi pada gugatan cacat hukum. Landasarn yuridis keharusan pencamtuman identitas adalah untuk penyampaian panggilan dan pemberitahuan.


b. Dasar-dasar gugatan (Fundamentum Petendi/Posita)

Dasar gugatan (grondslag van de lis ) adalah landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara yang wajib dibuktikan oleh Penggugat sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR, yang menegaskan bahwa, setiap orang yang mendalilkan suatu hak, atau guna meneguhkan haknya maupun membantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut. Mengenai Dasar Gugatan, muncul dua teori: Pertama, Substantierings Theori. Teori ini mengajarkan bahwa dalil gugatan tidak cukup hanya merumuskan peristiwa hukum yang menjadi dasar tuntutan, tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa hukum tersebut; dan Kedua, Individualisering Theori. Teori ini menjelaskan bahwa peristiwa hukum yang dikemukakan dalam gugatan harus dengan jelas memperlihatkan hubungan hukum (rechtsverhouding) yang menjadi dasar gugatan. Namun tidak perlu dikemukakan dasar dan sejarah terjadinya hubungan hukum, karena itu dapat diajukan berikutnya dalam proses pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung No. 547 K/Sep/1971, yang menegaskan bahwa, ”….perumusan kejadian materi secara singkat sudah memenuhi syarat….”.


Di dalam praktek posita itu mencakup hal-hal sebagai berikut:

  • Obyek Perkara
  • Fakta-Fakta Hukum
  • Kualifikasi Perbuatan Tergugat
  • Uraian Kerugian
  • Hubungan Posita Dengan Petitum.

(Baca juga: Syarat Formil Sebuah Gugatan)

c. Petitum

Dalam Pasal 8 Nomor 3 RBg disebutkan bahwa petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Tuntutan ini akan terjawab di dalam amar putusan. Oleh karena itu petitum harus dirumuskan secara jelas, singkat dan padat sebab tuntutan yang tidak jelas maksudnya dapat mengakibatkan tidak diterima atau ditolaknya tuntutan tersebut oleh hakim. Disamping itu petitum harus berdasarkan hukum dan harus didukung pula oleh posita. Posita yang tidak didukung oleh petitum akan berakibat tidak dapat diterimanya tuntutan, sedangkan petitum yang tidak sesuai dengan posita maka akibatnya tuntutan ditolak oleh hakim.


Dalam praktek peradilan, petitum dapat terbagi ke dalam tiga bagian yaitu:

1). Petitum Primer;

Petitum ini merupakan tuntutan yang sebenarnya atau apa yang diminta oleh penggugat sebagaimana yang dijelaskan dalam posita. Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta atau dituntut.

2). Petitum Tambahan;

Merupakan tuntutan pelengkap dari pada tuntutan primer. Biasanya dapat berupa:

  • Tuntutan agar tergugat membayar biaya perkara;
  • Tuntutan uitvoerbaar bij voorraad, yaitu tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding dan kasasi;
  • Tuntutan provisionil, yaitu hal yang dimintakan oleh penggugat agar dilaksanakan tindakan sementara yang sangat mendesak sebelum putusan akhir diucapkan;
  • Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga muratoir;
  • Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom);


3). Petitum Subsider;

Diajukan oleh penggugat untuk mengantisipasi barangkali tuntutan pokok atau tambahan tidak diterima oleh hakim. Biasanya tuntutan ini berbunyi ”agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar:” atau ”mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono)”