Implementasi Kepentingan Hukum Korban Tindak Pidana

SUDUT HUKUM | Korban dalam pengertian sebagai akibat adanya tindak pidana (victim against crime). Posisi korban dalam praktek dapat dilihat dalam sudut pandang:
  1. Korban dilihat dari pembentukan hukum;
  2. Korban dilihat dari perilaku kriminal atau anti sosial;
  3. Korban dilihat dari dalam lingkup HAM dan kesejahteraan sosial.

Posisi korban tindak pidana bisa ditentukan dengan melihat dari pembagian posisi korban, sebagaimana terinci sebagai berikut:
1. Korban pembentukan hukum, yang terdiri dari:
  • Korban dari over legaslation dan sweeping legislation;
  • Korban dari kekososngan atau kesesatan hukum;

2. Korban Perilaku Kriminal/ Anti Sosial:
  • Korban dari crime against the person;
  • Korban dari against the property;
  • Korban dari drug abuse;
  • Korban dari sex offences/rape;
  • Korban dari white collar crime/organized crime;
  • Korban dari new crime forms;

3. Korban dalam lingkup HAM dan kesejahteraan sosial :
Korban pelanggaran HAM berat, yang terdiri dari:
  • pelanggaran yang bersifat kriminal dan ada pula yang bersifat fealusence;
  • korban pelanggaran berat terbagi dalam genocide, torture, enforced displacement, crime against women and children, extrajudicial killing, schorsing rubbel; Korban dari pelanggaran HAM tidak langsung, seperti keluarga, kelompok korban yang menderita tekanan jiwa atau kemiskinan;
  • Korban pelanggaran kesejahteraan

Implementasi Kepentingan Hukum Korban Tindak PidanaLingkup bahasan dalam kelompok di atas adalah mengenai korban dalam kelompok 2 (dua), yakni korban perilaku kriminal/anti sosial, yang dapat diproses berdasarkan KUHAP sebagai landasan operasional penyelenggaraan peradilan (pidana).ketentuan-ketentuan dalam hubungannya dengan aspek viktimologi di dalam KUHAP secara relatif boleh di katakan banyak. Apabila di catat maka pengaturan KUHAP dalam kaitannya dengan viktimologi dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (10), ayat (22), Pasal 81, Pasal 82 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 95 ayat (1) hingga ayat (5), Pasal 96 ayat (1), Pasal 98 ayat (1), Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), Pasal 101, Pasal 274, Pasal 275 yang nuansanya lebih banyak menyangkut ganti rugi.
Hak-hak bagi korban pencabulan yang tertuang di dalam KUHAP hanya mengatur hak-hak bagi korban yang sangat minim sekali dibandingkan dengan pengaturan tentang hak-hak pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa/terpidana). Perlindungan hukum lebih banyak di atur untuk pelaku tindak pidana, sebagaimana tampak dalam berbagai Pasal tersebut di atas dibandingkan dengan kepentingan korban yang mengalami penderitaan dari perbuatan pelaku tindak pidana.
Jika kita mencatat hak-hak korban yang ada dalam KUHAP, maka terdapat hanya 4 (empat) aspek, yaitu :
  1. Hak untuk melakukan kontrol terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum, yakni hak mengajukan keberatan atas tindakan penghentian penyidikan dan/atau penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Ini di atur dalam Pasal 109 dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP;
  2. Hak korban dalam kedudukannya sebagai saksi, sebagaimana di jumpai dalam Pasal 168 KUHAP;
  3. Hak bagi keluarga korban dalam hal korban meninggal dunia, untuk mengijinkan atau tidak atas tindakan polisi melakukan bedah mayat atau penggalian kubur untuk otopsi. Hak demikian di atur dalam Pasal 134 sampai 136 KUHAP;
  4. Hak menuntut ganti rugi atas kerugan yang di derita dari akibat tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pihak yang dirugikan. Dapat dijumpai dalam Pasa l98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.

Eksistensi dan posisi hukum korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana, tidak menguntungkan bagi korban tindak pidana, karena terbentur dalam problem yang mendasar yakni korban hanya sebagai saksi (pelapor atau korban). Korban tidak termasuk dalam bagian dari unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, tidak sebagaimana terdakwa, polisi dan jaksa.
Hal tersebut berakibat bagi korban tindak pidana tidak mempunyai upaya hukum, apabila ia keberatan terhadap suatu putusan pengadilan, misalnya banding atau kasasi apabila putusan pengadilan yang di pandang tidak adil atau merugikan dirinya Korban tindak pidana pencabulan dan unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, beberapa pendapat pakar hukum di warnai dengan pro dan kontra, terutama tentang ganti rugi korban tindak pidana. Pendapat yang kontra menyatakan, bahwa masuknya kepentingan korban dalam proses tindak pidana akan mempersulit proses pidana dan tidak sesuai dengan prinsip keadilan yang cepat, murah dan sederhana. Di samping itu doktrin yang di ajarkan bahwa di bedakan antara hukum publik dan hukum privat dimana hukum pidana dan hukum acara pidana adalah urusan negara bukan individu-individu. Tuntutan ganti rugi karena tindak pidana di ajukan melalui prosedur perdata.