Pengertian Mukallaf

SUDUT HUKUM | Dalam kamus bahasa, ada kata (كلّف) (membebani), (مكلّف) (yang dibebani tanggung jawab). (كلّف بالأمر) (memberati dengan pekerjaan), (مكلّف) (yang diberati, yang bertanggung jawab), (متكلّف) (yang memasuki sesuatu yang bukan perkaranya). Pendukung hak adalah manusia yang memiliki berbagai macam hak kodrati atas pemberian Tuhan.
Sehubungan dengan itu dalam ilmu fiqih ada istilah mukallaf, dan istilah ini dibahas misalnya dalam bab mahkum alaih yang oleh Abd al Wahab Khallaf dirumuskan: mahkum alaih adalah mukallaf yang dengan perbuatannya hukum syar’i berkaitan. Sejalan dengan itu, murid Abd al Wahab Khallaf yaitu Abu Zahrah menyatakan pula bahwa hukum adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa perintah, larangan, memilih atau ketetapan. Dari definisi ini perlu diungkap tentang pembentuk hukum syara (al-Hakim) serta perbuatan orangorang mukallaf sebagaimana telah diuraikan.
Kini tinggal masalah mukallaf yang melakukan perbuatan yang belum dibicarakan, dan mereka itulah yang disebut sebagai al mahkum alaih (orang yang menjadi obyek hukum, dalam istilah hukum disebut subyek hukum). Jadi mahkum alaih adalah orang mukallaf, karena dialah orang yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak, dan termasuk atau tidak dalam cakupan perintah atau larangan.
Dari kedua rumusan di atas dapat disimpulkan, mahkum alaih adalah mukallaf sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam al-Qur’an surat al- Baqarah ayat 286 ditegaskan;


لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ ﴿البقرة:٢٨٦

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala yang diusahakannya dan ia mendapat siksa yang dikerjakannya. : “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” (QS.2: 286).

Dalam perspektif hukum Islam, perjalanan hidup manusia dibagi menjadi empat priode: priode kandungan, priode thufulah, priode tamyiz, priode baligh

1. Periode Kandungan


Periode kandungan ialah suatu periode di ketika manusia masih berada di dalam kandungan ibunya. Dalam periode ini jika ditinjau bahwa kandungan itu sebagai satu suku dari ibu, maka tetaplah dia dengan tetapnya ibu dan berpindahlah dia dengan berpindahnya ibu, sehingga dengan demikian maka tidak dapat dia dipandang berdiri sendiri, sehingga dia tidak dapat dipandang sebagai pribadi manusia yang dapat menerima hak maupun menanggung kewajiban. Akan tetapi jika ditinjau dari segi dia sebagai makhluk Allah yang berjiwa dan hidup, maka terdapatlah kemungkinan dia menerima haknya.
Dalam hukum warisan terdapat kemungkinan anak di dalam kandungan menerima haknya sebagai pewaris, dengan syarat jika dia dilahirkan hidup. Jadi prakteknya kemungkinan anak dalam kandungan dapat memangku hak warisan digantungkan jika dia sudah dilahirkan dan ternyata hidup waktu dilahirkan. Kesimpulannya ialah bahwa anak dalam kandungan dapat memangku hak dan menanggung kewajiban.

2. Periode Thufulah (kanak-kanak)


Periode ini dimulai semenjak seseorang lahir ke dunia. Dengan lahirnya itu, maka telah sempurnalah sifat kemanusiaannya, karena ia telah terpisah dari tubuh ibunya. Namun demikian, kemampuan akalnya belum ada, kemudian berkembang sedikit demi sedikit. Periode ini berlangsung sampai seseorang mencapai masa tamyiz.

3. Periode Tamyiz.


Dalam masa ini seseorang mempunyai kemampuan berbuat tidak penuh. Perbuatannya ada kalanya berhubungan dengan hak Allah atau dengan hak manusia. Yang berhubungan dengan hak Allah, seperti shalat atau puasa, dipandang sah, tetapi kalau perbuatan tersebut rusak, ia tidak wajib menyelesaikannya. Yang berhubungan dengan hak manusia:
  • Yang menguntungkan dapat dilakukan tanpa izin wali, seperti menerima pemberian.
  • Yang merugikan tidak dapat dilakukan meskipun dengan izin wali, seperti memberikan sesuatu harta, Yang merugikan tetapi ada untungnya, boleh dijalankan sesudah diizinkan wali, seperti jual beli.

Periode tamyiz dimulai dari seseorang mampu membedakan antara sesuatu yang baik dengan yang buruk dan antara sesuatu yang bermanfaat dengan yang madlarat. Pada periode ini kemampuan akal seseorang belum sempurna, karena periode ini adalah masa mulai dan semakin bersinarnya cahaya kemampuan akal seseorang. Karena itu daya fikirnya masih dangkal, yakni masih terbatas pada hal-hal yang nampak saja. Sungguhpun pada periode ini ia sudah mampu membedakan antara yang baik dengan yang buruk dan antara yang mengandung manfaat dengan yang mengandung madlarat, tetapi hal itu masih terbatas pada kenyataan-kenyataan zhahiriyah saja.
Batas mulainya periode tamyiz tidak dapat dipastikan dengan umur tertentu yang telah dicapai oleh seseorang atau dengan adanya tanda-tanda tertentu yang terdapat pada perkembangan jasmani, melainkan tergantung pada perkembangan akalnya. Oleh karena itu mulainya masa tamyiz hanya dapat diketahui dengan melihat dari hasil pertimbangan akal atau dari tingkah laku yang merupakan pengejawantahan dari penggunaan kemampuan akalnya.
Sebagai telah dikemukakan di depan, bahwa perkembangan kemampuan akal seseorang itu mulai dari sedikit demi sedikit, demikian pula perkembangannya sampai ke taraf tamyiz. Itulah sebabnya, demikian tandatanda telah tamyiznya seseorang tidak nampak sekaligus dengan tegas, sehingga antara akhir periode thufulah dengan awal periode tamyiz ini sangat samar-samar. Namun, setelah melalui masa perkembangan tertentu, akhirnya juga akan nampak jelas beda antara kedua periode tersebut.
Dalam pada itu, Mushthafa Ahmad Az Zarqa dalam kitabnya “Al Fiqhul Islami fi tsaubihil jadid” menyebutkan bahwa menurut para ‘ulama, mulainya masa tamyiz bagi seseorang yang normal biasanya apabila telah genap berumur 7 tahun.
Pada umur tersebut, agar dibiasakan anak-anak untuk beribadah shalat kepada Allah SWT setelah berumur tujuh tahun. Padahal ibadah dipandang sah apabila dilakukan oleh seseorang yang minimal telah mencapai masa tamyiz. Jadi umur tujuh tahun ini menunjukkan mulainya masa tamyiz. Sedangkan berakhirnya periode tamyiz, yaitu apabila seseorang telah mencapai masa baligh.

4. Periode Baligh


Dalam masa ini dimana seseorang telah mencapai kedewasaannya, ia mempunyai kemampuan berbuat sepenuhnya, baik yang berhubungan dengan ibadat ataupun muamalat. Dalam masa inilah, ia menjadi mukallaf yang sebenarnya. Sesudah anak baligh atau dewasa maka dipandang sudah sempurnalah keahliannya artinya dia menanggung kewajibannya dengan sepenuhnya dan memiliki haknya dengan sempurna.

Kepadanya diberatkan bebanan-bebanan hukum Agama Islam sebagai seorang mukallaf dan kepadanya dituntut pertanggung jawaban atas segala perbuatannya, selama padanya tidak ada halangan-halangan yang mengurangkan atau menghilangkan, sifat keahliannya. Jadi baligh menjadi syarat dipandangnya seorang manusia memiliki keahlian yang sempurna asalkan tidak terjadi padanya halangan-halangan keahlian yang mengurangkan atau melenyapkan keahliannya, misalnya gila. Gila melenyapkan keahlian untuk menanggung bebanan hukum Agama Islam walaupun telah dewasa.
Periode baligh adalah masa kedewasaan hidup seseorang. Dalam hukum Islam tanda- tanda mulai kedewasaan, apabila telah mengeluarkan air mani bagi laki-laki dan apabila telah mengeluarkan darah haid atau telah hamil bagi orang perempuan.
Apabila terjadi kelainan atau keterlambatan pada perkembangan jasmani (biologis) nya, sehingga pada usia yang biasanya seseorang telah mengeluarkan air mani bagi laki-laki atau mengeluarkan darah haid bagi perempuan tapi orang tersebut belum juga atau tidak mengeluarkan tandatanda kedewasaan itu, maka mulai periode balighnya dianggap secara yuridis (hukmiy), berdasarkan usia yang lazim seseorang mengeluarkan tanda-tanda balighnya itu.
Mulainya usia baligh secara yuridis ini dapat berbeda-beda antara seorang dengan orang lain, karena perbedaan lingkungan, geografis, dan sebagainya. Menurut Zakiah Daradjat, batas awal usia mulainya baligh secara yuridis adalah jika seseorang telah berusia 12 tahun bagi laki-laki dan berusia 9 tahun bagi perempuan. Sedangkan menurut TM.Hasbi Ash Siddieqy, bahwa jumhur ulama berpendapat, salah satu ciri orang dianggap telah baligh, adalah bila dia sudah bermimpi. Seseorang baru bisa dibebani hukum, bila sudah berusia dewasa. Apabila seorang anak lelaki telah berusia limabelas tahun, atau telah tumbuh kumis dan bulu kemaluan, dipandang telah dewasa. Menurut Abu Hanifah, anak lelaki dianggap baligh pada saat dia berusia 18 tahun, sedangkan anak perempuan pada saat dia memasuki 17 tahun.
Pengertian Mukallaf
Beberapa hadits menyatakan bahwa di antara ciri seseorang telah cukup umur adalah: telah bermimpi, tumbuh kumis, serta bulu kemaluan. Mengingat perkembangan masyarakat saat ini, maka TM.Hasbi Ash Shiddieqy condong dengan pendapat Abu Hanifah yang menetapkan usia dewasa seseorang lelaki jika dia telah memasuki usia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak perempuan.


Orang yang telah mencapai baligh terkena taklif yaitu tuntutan pelaksanaan tugas yang sudah ditentukan.18 Orangnya disebut Mukallaf yaitu orang yang memikul tanggung jawab terhadap beban tugas pelaksanaan hukum taklifi. Mukallaf disebut juga dengan istilah mahkum’alaih. Dasar adanya taklif kepada mukallaf ialah karena adanya akal dan kemampuan memahami padanya. Saifuddin al-Amidi sebagaimana dikutip Muhammad Abu Zahrah menegaskan, bahwa telah sepakat para ulama tentang syarat mukallaf yaitu haruslah berakal dan mampu memahami. Karena sumber taklif adalah khithab (firman, sabda). Suatu firman yang dihadapkan kepada orang yang tidak berakal dan tidak dapat memaminya akan sisa-sia belaka.
Barangsiapa yang hanya mempunyai kemampuan memahami masih tingkat dasar, seperti baru dapat memahami bacaannya yang sederhana saja, belum dapat memahami kandungannya yang mengandung perintah atau larangan, yang berpahala atau berdosa, dan yang memerintahkan itu adalah Allah yang wajib ditaati, maka orang yang seperti itu orang gila dan anak-anak yang belum mampu membedakan sesuatu. Orang-orang yang demikian tidak ada baginya taklif. Adapun anak-anak yang sudah mumayyiz (mampu membedakan) meskipun ia sudah mempunyai kemampuan memahami namun masih jauh dari sempurna tentang wujud Allah dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna; tentang adanya Rasul yang bersifat benar dan menyampaikan ajaran Allah dan sebagainya yang berhubungan dengan pemahaman taklif.
Sangat sulit mengetahui kematangan orang berpikir sebagai orang mukallaf. Mencapai kematangan itu adalah secara berangsur-angsur, dan tidak ada suatu pertanda yang tepat untuk itu kecuali baligh, Menurut keterangan al-Amidi itu sebagai berikut:
  • Yang menjadi dasar taklif itu ialah akal karena taklif itu bersumber pada firman yang harus dipahami oleh akal.
  • Akal tumbuh dan berkembang secara berangsur-angsur semenjak usia muda, dan dipandang belum sampai ke batas taklif melainkan jika akal sudah mencapai kesempurnaan dalam pertumbuhannya.
  • Pertumbuhan akal secara berangsur-angsur ini terjadi dari masa ke masa secara tersembunyi sehingga baru jelas permulaan kesempurnaannya (kematangannya) jika sudah mencapai masa baligh. Sebagai batas pemisah antara masa masih kurang sempurna akal dengan mulai mencapai kesempurnaannya ialah balig. Di kala seseorang sudah baligh termasuklah ia dalam kategori mukallaf. Dan setiap mukallaf harus bertanggung jawab terhadap hukum taklifi.

Peranan akal merupakan faktor utama dan syari’at Islam untuk menentukan seseorang sebagai mukallaf. Karena itu meskipun seseorang sudah mencapai usia baligh tetapi akalnya tidak sehat maka hukum taklifi tidak dibebankan kepadanya.

Rujukan:

Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973.
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2004.
Abd al Wahab Khalaf, Ilm usul al-Fiqh, Jakarta: Maktabah al-Dalam’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar, 1410 H/1990M.
Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, 1971.
Ismail Muhamamad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, 1971.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1986.
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, Jilid 2, Yogyakarta: PT Dhana Bhakti Wakaf, 1995.
Zahri Hamid, Peribadatan Dalam Agama Islam, Bandung: PT al-Ma’arif, 1980.
Hanafie, Ushul Fiqh, Jakarta: Bina Grafika, 2001.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadi ts Hukum I, Cet . 5, Edisi kedua, Jakarta: PT. Magenta Bhakti Guna, 1994.