Tindak Pidana Pencabulan

SUDUT HUKUM | Pencabulan atau kejahatan kesusilaan bukan saja masalah hukum nasional suatu Negara saja tetapi juga merupakan masalah hukum semua Negara, karena merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia secara global. Pelaku tindak pidana pencabulan bukan saja dominasi mereka yang berasal dari golongan ekonomi menengah atau rendah apalagi kurang atau tidak berpendidikan sama sekali, melainkan pelakunya sudah menembus semua strata sosial dari strata yang terendah sampai yang tertinggi.
Mencermati dari kenyataan di atas, masalah tindak pidana pencabulan pada dewasa ini seharusnya merupakan bagian yang terpenting dari masalah bangsabangsa di dunia dan khususnya di Indonesia yang berdasarkan falsafah Pancasila, hal ini (pencabulan) sangat bertentangan dengan masyarakat kita yang religius.
Tindak Pidana PencabulanPelaku dan korban pencabulan di Indonesia belakangan ini makin bervariasi dan memprihatinkan. Usia tua, dewasa, remaja dan anak-anak mempunyai kemungkinan yang sama untuk menjadi korban. Pelaku tidak selalu orang lain yang tidak dikenal orang. Anak kandung, kakak kandung, ayah kandung, guru, tetangga, pacar, kakek dan kenalan ternyata bisa menjadi pelaku. Dalam kaitan dengan itu pencabulan tidak hanya menjadi wujud dendam kekuatan struktur atas tindakan kritis masyarakat terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan, tetapi telah menjadi modus operandi yang dimaksudkan untuk membungkus kejahatan kekuasaan itu sendiri.
Kejahatan (pencabulan) adalah fenomena yang tidak dapat dihilangkan di manapun dan kapanpun. Usia kejahatan sering dipersepsikan seumur peradaban manusia, bahkan ada yang menyatakan setua peradaban manusia. Akibatnya sukar menentukan secara pasti kapan kejahatan (pencabulan) mulai ada di dunia, sama sulitnya dengan menentukan batasan yang setepat-tepatnya tentang kejahatan (Panggabean, 1998: 60).
Pasal 289 KUHP terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi, antara lain : unsur kekerasan dalam melakukan perbuatan menyerang kesusilaan dengan seseorang. Adanya unsur kekerasan tersebut merupakan unsur yang membedakan pencabulan dengan kejahatan kesusilaan yang lain, yang diatur dalam KUHP. Dalam konsep KUHP Nasional tindak pidana pencabulan diatur dalam pasal 289, tetapi dalam rumusannya belum mencerminkan adanya perlindungan bagi korban.

Jenis-jenis Pencabulan

Sebelum kita memahami pengertian pencabulan, maka ada baiknya untuk menguraikan dengan singkat beberapa jenis pencabulan sebagai berikut:
  • Seduction-turned-into-rape”, yaitu pencabulan yang ditandai dengan adanya relasi antara pelaku dengan korban. Jarang digunakan kekerasan fisik dan tidak ada maksud mempermalukan. Yang dituju adalah kepuasan si pelaku dan si korban menyesali dirinya, karena sikapnya yang kurang tegas
  • “domination rape”, yaitu pencabulan yang dilakukan oleh mereka yang ingin menunjukkan kekuasaannya, misalnya, majikan yang mencabuli bawahannya. Tidak ada maksud menyakitinya, Keinginannya yaitu bagaimana memilikinya secara seksual.
  • “sadistic rape”, yaitu pencabulan yang dilakukan secara sadistik. Si pelaku mendapatkan kepuasan seksual bukan karena bersetubuh, tetapi karena perbuatan kekerasan terhadap “genetalia” dan tubuh si korban.
  • “anger rape”, merupakan ungkapan pencabulan yang karena kemarahan dilakukan dengan sifat brutal secara fisik. Seks menjadi senjatanya dan dalam hal ini tidak diperolehnya kenikmatan seksual. Yang dituju sering kali keinginan untuk mempermalukan si korban.
  • “exploitation rape”, merupakan jenis pencabulan di mana si wanita sangat bergantung pada si pelaku, baik dari sosial maupun ekonomi. Sering kali terjadi di mana si istri dipaksa oleh si suami. Kalaupun ada persetujuan, itu bukan karena ada keinginan seksual dari si istri, melainkan sering kali demi kedamaian rumah tangga.

Adanya perbedaan pengertian atau persepsi tentang (bentuk) pencabul / tukang cabul, mempunyai pengaruh terhadap informasi yang berkaitan dengan pencabulan, sehingga masyarakat menganggap suatu perbuatan sebagai pencabulan, dan karena itu melaporkannya kepada polisi. Dan disisi lain polisi belum menganggap sebagai pencabulan, karena belum memenuhi unsur yuridis formal dalam pasal 289 KUHP.
Masalah perlindungan korban (cabul) termasuk salah satu masalah yang juga mendapat perhatian dunia internasional. Dalam kongres PBB VII/1985 di Milan (tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”) dikemukakan, bahwa hak-hak korban seyogianya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (“victims right should be perceived as an integral aspect of the total crimeinal justice system”). Perhatian dunia internasional begitu besar sehingga pada kongres ke 7 mengajukan rancangan resolusi tentang perlindungan korban ke Majelis Umum PBB No. 40/34 tanggal 29 November 1985 tentang “Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuose of Power” (Nawawi Arief, 1998, 53-54).
Menurut Barda Nawawi Arief dalam bukunya Bunga Rampa kebijakan hukum pidana, bahwa dalam hukum pidana positif di Indonesia yang berlaku saat ini, perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung” artinya, dengan adanya berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini, berarti pada hakekatnya telah ada perlindungan “in abstracto” secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak-hak asasi korban (cabul), karena hukum pidana positif tidak dilihat sebagai perbuatan menyerang/melanggar kepentingan hukum seseorang (korban cabul) secara pribadi dan konkrit, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggaran “norma/tertib hukum in abstracto”. Akibatnya, perlindungan korbanpun tidak secara langsung dan “in concrito”, tetapi hanya in abstracto. Hal inilah salah satu kelemahan hukum positif kita, yang harus segera diadakan pembaharuan.
Berbeda dengan korban kejahatan konvensional lainnya, korban pencabulan mengalami traumatik yang mendalam, mengalami penderitaan lahir dan batin. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh korban tersebut membuka mata hati kita untuk dapat memahami dan mengerti bagaimana cara meminimalisir penderitaan korban pencabulan. Oleh karena itu perlu adanya upaya perlindungan bagi korban pencabulan secara hukum. Sistem hukum dalam KUHAP yang diperhatikan secara khusus adalah hak asasi terdakwa saja yang dilindungi, tetapi hak asasi korban, khususnya korban pencabulan belum diatur secara eksplisit, untuk memudahkan upaya pembuktiannya hal ini perlu diperjuangkan dan perlu sinkronisasi dengan konsep KUHP Nasional. Persoalan akan bertambah rumit kalau dilihat dari kultur masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa tindak pidana kesusilaan atau pencabulan dianggap tabu, hal ini untuk menghindari stigmatisasi terhadap si korban.