Ijma’ Menurut Imam Syafi’i

SUDUT HUKUM | Dalam masalah yang tidak diatur secara tegas dalam nash, sehingga hukumnya harus dicari melalui ijtihad, jelas terbuka peluang untuk berbeda pendapat. Berkenaan dengan ini, para mujtahid diberi kebebasan, bahkan keharusan untuk bertindak atau berfatwa sesuai dengan hasil ijtihadnya.[1]

(Baca juga: Pengertian Ijma’)

Kelihatannya Syafi’i tidak merumuskan pengertian ijma’ dalam bentuk definisi. Namun dari berbagai uraiannya dapat disimpulkan bahwa ijma’ menurutnya adalah kesepakatan para ulama tentang suatu hukum syara’. Ahlu ilmi yang dimaksudkan adalah para ulama yang dianggap sebagai faqih dan fatwa serta keputusannya diterima oleh penduduk suatu negara.[2] Syafi’I dalam risalahnya hanya menggunakan kata “ jama’ah muslimin”.
Ijma’ Menurut Imam Syafi'iSyafi’i menegaskan bahwa ijma’ merupakan dalil yang kuat, pasti serta berlaku secara luas pada semua bidang.[3]

Secara hati-hati ia menegaskan bahwa ijma’ yang tidak didukung oleh hadits, tidak boleh dianggap sebagai periwayatan hadits. Jadi dalam hal ini, kesepakatan mereka itulah yang diikuti. Kalau saja tentang masalah itu terdapat hadits tentu ada diantara mereka yang mengetahuinya dan tidak mungkin mereka semua sepakat atas sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasul atau sepakat atas sesuatu yang salah.[4]
Syafi membatasi ijma’ yang mempunyai kekuatan hujjah pada ijma’ umat Islam dengan alasan:
  1. Kita mengambil keputusan yang diambil oleh umat karena kita harus mematuhi kekuasaannya, tidak mungkin sepakat yang menyalahi sunnah.
  2. Orang yang berpendapat menurut pendapat umat secara jama’ah berarti telah mengikuti masyarakat muslim.

Dari penjelasan tersebut mengenai bentuk dan persyaratan ijma’ menurut Syafi’i dapat dipahami bahwa pengunaan ijma’ sebagai dalil syara’ yang mempunyai daya hujjah begitu terbatas.



[1] Imam Syafi’I, Al-Umm,juz VII, hlm. 299

[2] Ibid, hlm.293

[3] Ibid,

[4] Imam Syafi’I, Al-Risalah, hlm.472