Wewenang Mahkamah Konstitusi

SUDUT HUKUM | Wewenang Mahkamah Konstitusi

a. Wewenang Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

Kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD (judicial review) secara teoritik maupun dalam praktik terkenal ada dua macam: yaitu, pengujian formal (formele toetsingsrecht) dan pengujian secara materiil (meterriele toetsingsrecht). Pengujian secara formal adalah wewenang untuk menilai apakah produk legislatif dibuat sesuai prosedur ataukah tidak. Serta apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sedangan pengujian secara materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan perundangundangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.

Menurut Jimly Ash-Shiddiqie, judicial review merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Pemberian wewenang tersebut kepada hakim merupakan penerapan prinsip check and balances berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara yang dipercaya dapat lebih menjamin perwujudan kekuasaan demokrasi dan cita negara hukum sesuai dengan prinsip check and balances yang telah menjadi salah satu pokok pemikiran dalam UUD 1945 pasca amandemen. Pengujian konstituonalitas materi Undang-Undang telah ditetapkan menjadi kewenangan hakim, yaitu Mahkamah Konstitusi.

Wewenang Mahkamah Konstitusi


Dengan diakuinya judicial review dalam UUD 1945 berdampak positif salah satunya adalah adanya keseimbangan antara aparatur-aparatur demokrasi dan juga merupakan cerminan dari supremasi hukum atau kekuasaan politik.


b. Wewenang Mahkamah Konstitus Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Yang Kewenangannya Diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Dalam menjalankan fungsi-fungsinya lembaga negara kerap kali melakukan kerjasama/hubungan, hubungan antara lembaga-lembaga Negara memungkinkan konflik, yaitu manakala suatu lembaga negara yang merupakan bagian dari sistem pemerintahan bekerja tidak sebagaimana mestinya. Agar sistem itu tetap bekerja sesuai dengan yang dituju, konflik harus diselesaikan oleh lembaga yang memiliki kekuasaan untuk itu adalah Mahkamah Konstitusi. Sesuai dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutuskan sengketa kewenangan antara lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar…,”

Menurut pasal 61 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, “Permohonan dalam sengketa kewenangan lembaga negara adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.”

Namun terdapat pengecualian dalam pasal 65 ditegaskan bahwa: “Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.”

Lembaga negara yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah semua lembaga yang kewenangannya dan/atau independensinya diberikan oleh UUD 1945 antara lain, MPR, DPR, DPD, BPK, Komisi Yudisial, KPU, Bank Indonesia, TNI dan Kepolisian Republik Indonesia yang termasuk dalam kualifikasi lembaga negara.

Dalam persidangan, Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarka penetapan yang memerintahkan pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkama Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sengketa kewenangan disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden.


c. Wewenang Mahkamah Konstitus Memutus pembubaran partai politik


Pembubaran partai politik pada dasarnya apapun alasannya bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, dalam prakteknya pembubaran partai politik dapat dilakukan dengan alasan ideology dan pelanggaran hukum.

Disinilah fungsi Mahkamah Konstitusi dalam mengawal demokrasi dan sengketa perlindungan HAM sangat diperlukan, agar jangan sampai suatu partai politik dibubarkan dengan alasan yang tidak konstitusional, apalagi hanya menuruti kemauan penguasa. Mengingat pada dasarnya apapun alasannya pembubaran partai politik bertentangan dengan prinsip demokrasi dan HAM.

Dalam hal prosedur pengajuan permohonan pembubaran partai politik dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi disebutkan, pihak yang berhak mengajukan permohonan pembubaran partai politik adalah pemerintah (pasal 68 ayat (1) Undang-Undang No. 24 tahun 2003).

Mengenai putusannya, jika Mahkamah Konstitusi memutus pembubaran suatu partai politik, pelaksanaan pembubaran partai politik dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada pemerintah, disisi lain pada pasal 3 ayat (2) tahun 2002 disebutkan bahwa: “Pengesahan partai politik sebagai badan hukum dilakukan oleh menteri kehakiman selambat-lambatnya 30 hari setelah penerimaan pendaftaran..”

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa akibat hukum dari pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah partai politik tersebut tidak lagi memiliki status sebagai badan hukum.


d. Wewenang Mahkamah Konstitusi Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Berdasarkan perkembangan yang terjadi dewasa ini, betapa kompleks permasalahan yang terjadi dalam pemilu tahun 2004 dan 2009. Oleh karena dalam pemilu 2004 dan 2009 rakyat bukan hanya memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota saja, melainkan juga memilih anggota DPD bahkan juga memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Suatu hal yang sama sekali baru, bukan saja bagi rakyat (pemilih), melainkan juga para kontestan dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Penetapan hasil pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan secara nasional oleh KPU dalam pasal 104 (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003. Mengenai pengumuman hasil pemilu sebagaimana tersebut di atas dilakukan selambat-lambatnya 30 hari setelah pemungutan suara (pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003). Sedangkan dalam hal perselisihan tentang hasil pemilu sebagaimana dimaksud dalam pasal 104, diperiksa dan diputuskan untuk tingkat pertama dan terakhir oleh Mahkamah Konstitusi dalam pasal 134 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003.

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi membatasi siapa saja yang berhak menjadi pemohon dalam perselisihan hasil pemilihan umum dalam pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Mahkaamh Konstitusi. Yang dapat menjadi pemohon dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum ada tiga (3). Pertama, perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat; Kedua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, dan Ketiga, partai politik peserta pemilu, permohonan tersebut diajuka paling lambat 3 x 24 jam terhitung sejak KPU mengumumkan penetapan hasil pemilu secara nasional.

e. Kewajiban Mahkamah Konstitusi Memutus Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Yang Dilakukan Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

Dilibatkannya Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, tidak terlepas pada pengalaman masa lalu dan merupakan konsekuensi logis dari perubahan sistem dan bangunan ketatanegaraan yang dikembangkan di Indonesia. Selain itu, keinginan untuk memberikan pembatas agar seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan bukan karena alasan politik belaka, melainkan juga memiliki landasan dan pertimbangan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini telah diatur dalam pasal 24C ayat (2) UUD 1945.

Berdasarkan wewenang dan kedudukan sebagaimana diuraikan di atas, maka fungsi yang semestinya dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi:
  • Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk melakukan kekuasaan peradilan dalam sistem konstitusional. Dalam praktek ketatanegaraan yang ada, uji konstitusionalitas dapat diserahkan kepada peradilan biasa atau peradilan yang khusus. Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan yang khusus dalam sistem konstitusi.
  • Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai The Guardian Of Constitution (penjaga konstitusi) akan mengalami banyak kendala. Agar konstitusi dilaksanakan secara konsekuen dan bertanggung jawab pada setiap penyelenggara negara, maka dibutuhkan lembaga yang mampu melakukan kontrol terhadap pelaksanaan kekuasaan negara yang ada. Untuk melakukan kontrol yudisial, maka lembaga peradilan adalah pilihan yang tepat.
  • Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penafsir konstitusi Sudah menjadi fungsi hakim untuk memutuskan apakah hukum itu, dalam kasus yang diperselisihkan. Konstitusi adalah bagian dari hukum dan karenanya menjadi bagian dari hakim. Dalam hal ini, jika hakim akan memutuskan apakah hukum itu, mereka pasti menentukan bukan hanya arti aturan hukum biasa, melainkan juga aturan hukum konstitusi.


Adapun peran Mahkaamh Konstitusi yang dilaksakan:
  1. Mahkamah Konstitusi Berperan Sebagai Salah Satu Pelaku Kekuasaan Kehakiman Check And Balances Dalam Penyelenggaraan Negara. Peran dalam mendorong mekanisme check and balances ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui wewenangnya menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, dan memutuskan DPR mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam pasal 7A dan pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945.
  2. Mahkamah Konstitusi Berperan Dalam Menjaga Konstitusionalitas Pelaksanaan Kekuasaan Negara Peran menjaga konstitusionalitas pelaksanaan kekuasaan negara ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan seluruh kewenangan dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
  3. Mahkamah Konstitusi Berperan Dalam Mewujudkan Negara Hukum Kesejahteraan Indonesia Peran ini menurut fungsi dan tanggung jawab Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman untuk bersama-sama dengan lembaga-lembaga negara lainnya secara sadar dan aktif membawa negara Indonesia ke tujuan negara dan cita-cita proklamasi sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, melalui pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.


Untuk menjalankan fungsi dan perannya sebagaimana layaknya sebuah lembaga peradilan, maka Mahkamah Konstitusi memiliki Hakim Konstitusi, hukum acara Mahkamah Konstitusi serta sekretariat dan ke paniteraan.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Mahkamah Konstitusi terdiri dari 9 Hakim Konstitusi sebagaimana ditentukan dalam pasal 24 ayat (3) UUD 1945, bahwa: “Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan 3 (tiga) orang oleh Presiden.”

Penentuan jumlah siapa saja yang berhak mengajukan Hakim Konstitusi bukannya tanpa alasan, berdasarkan risalah panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP-MPR), pada dasarnya terdapat dua pandangan yang berkembang. Yang pertama tidak menghendaki dicantumkannya jumlah Hakim Konstitusi dalam UUD 1945. Hal ini berdasarkan alasan fleksibilitas, mengingat tidak tertutup kemungkinan masih banyak tugastugas yang diberikan oleh negara kepada Mahkamah Konstitusi.

Pada akhirnya diputuskan untuk menetapkan jumlah Hakim Konstitusi dalam UUD 1945 yang berjumlah 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi dengan alasan:
  1. Pada prinsipnya jumlah Hakim Konstitusi harus ganjil, hal ini untuk memudahkan dalam pengambilan keputusan.
  2. Agar dapat mengakomodir kepentingan kekuasaan negara yang ada saat ini, yaitu cabang eksekutif (presiden), legislatif (DPR), yudikatif (Mahkamah Agung). Masing-masing cabang kekuasaan negara itu berhak mengajukan 3 orang Hakim Konstitusi, sehingga seluruhnya berjumlah 9 orang hakim konstitusi.
  3. Dari contoh beberapa negara lain yang sudah memilki Mahkamah Konstitusi, banyak diantaranya yang berjumlah 9 orang. Diberikan hak mengajukan Hakim Konstitusi kepada tiga cabang kekuasaan negara sebagaimana tersebut diatas juga bukan tanpa alasan, hal ini dimaksudkan untuk menjamin independensi Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu apabila hanya ada 1 (satu) kekuasaan negara saja yang berhak mengajukan Hakim Konstitusi, dikhawatirkan Mahkamah Konstitusi akan mengabdi pada kekuasaan tersebut. Dengan diberikannya hak kepada 3 (tiga) cabang kekuasaan negara, diharapkan dapat tercipta keseimbangan dalam tubuh Mahkamah Konstitusi.