Air dan Hukum Memilikinya

SUDUT HUKUM | Air adalah suatu senyawa kimia yang paling dikenal dan banyak terdapat di bumi. Air adalah barang mubah. Air mubah yaitu air-air lembah seperti air sungai Nil dan Eufrat, mata air yang ada di pegunungan, dan setiap mata air yanng menngalir di lokasi tanah tak bertuan.

Jika ingin mengairi lahan dan air tersebut bersumber dari sungai besar seperti Nil, Eufrat, dan sejenisnya, maka boleh hukumnya mengambil air sesuka hatinya kapan saja sebab tidak ada mudharat terhadap siapa pun.

Air sungai, air laut, mata air dan air hujan semua ini milik manusia bersama, tak ada seorangpun yang berwenang, lebih utama dari yang lainya, dia tidak boleh dijual dan dibeli selama masih berada di tempat aslinya, Rasulullah SAW sabda: menurut yang diriwayatkan Abu daud:

َاْلمُسْلِمُوْ َ ن شُرَ َ كاءُفِى َث َ لاثٍ : فِى ْاَلماءِوَْال َ كَلاءِوَالنَّارِ

Orang-orang Islam berserikat dalam tiga hal: air, api, dan rumput.”


Air dan Hukum Memilikinya



Namun jika berupa sungai kecil, seseorang tidak bisa mengairi tanahnya kecuali jika dia membendungnya. Dalam hal ini harus diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Jika tanahnya sama rata, proses pengairan dimulai dari yang dekat dengan sungai dan airnya ditahan sampai lokasi itu digenangi air sehingga mata kaki lalu dia melepasnya ketempat yang berikutnya, demikian seterusnya sampai semua lokasi terendam, sebab Nabi menetapkan bagi yang mengairi tanah dari air sungai untuk memulaikan dari yang paling dekat dengan sungai lalu menahan (membendung) dan kemudian melepasnya sehingga semua terbasahi (tergenangi).
  2. Jika tanah tidak rata sebagian lebih tinggi dari pada yang lain, air tidak berhenti di tempat yang tinggi setinggi mata kaki sehingga air berhenti pada tempat yang rendah sampai ketengah-tengah lalu tanah yang rendah dialiri air sebatas mata kaki lalu dibendung dan disiramkan ke tempat yang tinggi sebatas mata kaki.


Jika air mubah dan hak bersama untuk semua dan tidak atas nama pribadi hanya dia yang bisa memiliki apa yang diambilnya dengan tangan atau tempat seperti bejana, atau telaga yang tidak ada pintu keluarnya atau menggali lubang di tanah, termasuk juga cerek, maka dia berhak memilikinya hanya dengan dia masuk kedalamnya seperti mencari kayu dan rumput walaupun yang mengambil belum mumayyiz.

Iyyas Al Muzanni meriwayatkan, bahwa dia pernah melihat orang-orang menjual air. Kemudian ia berkata : “janganlah kalian menjual air, sesunguhnya aku mendengar Rasulullah meencegah memperjual belikan air”. Adapun jika seseorang mengambil dan mengumpulkannya dan telah menjadi miliknya, dalam keadaan seperti ini boleh menjualnya. Demikian pula halnya jika seseorang menggali sumur ditanah miliknya atau membuat alat untuk mengambil air.

Dengan demikian, jual beli air dalam kaitan ini tak ubahnya menjualbelikan kayu sesudah dikumpulkan. Sebelum dikumpulkan, kayu menjadi milik bersama, jika telah dikumpulkan dan menjadi milik seseorang tertentu, maka sah menjualnya.

Rujukan:

Abdul Aziz Muhammad Azzam,Fiqh Muamalah, Sistem Transaksi Dalam Islam,
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah,(Riyad : Maktaba Nazar Mustofa Al-Baz,1999 Jilid I ).
Abdul Aziz Muhammad Azzam,Fiqh Muamalah, Sistem Transaksi Dalam Islam.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid