Metode Keshahihan Hadis

SUDUT HUKUM | Dalam menetapkan kualitas hadis di perlukan kaedah yang baku atau setidaknya di bakukan oleh ulama hadis. Sebagaimana yang di kemukakan al-Nawawi bahwa kriteria hadis shahih adalah: hadis yang bersambung sanadnya oleh rawi yang ‘adil dan dlabit serta terhindar dari syuẓuẓ dan ‘illat.

Dari definisi tersebut dapat di simpulkan bahwa kaedah keshahihan hadis adalah:

1. Sanadnya Bersambung

Untuk mengetahui persambungan sanad, di lakukan tahapan sebagai berikut:
  • Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang di teliti.
  • Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat.
  • Menelaah ṣigat dalam tahammul wa ada’ al-hadiṡ.

Mayoritas ulama telah menetapkan delapan metode yang biasa di gunakan dalam tahammul wa ada’ al-hadiṡ. Delapan metode itu adalah:
    Metode Keshahihan Hadis

  1. As-sama’ adalah menerima hadis dengan cara mendengarkan langsung dari perkataan gurunya, dengan cara di diktekan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Cara ini di sepakati jumhur ahli hadis sebagai cara penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya. Selain itu, lambang periwayatan yang termasuk dalam kategori sama’ adalah, Haddaṡana, Akhbarana, Sami’tu, Qala lana, ẑakara lana.
  2. Al-Qira’ah ‘Ala al-Syaykh adalah menerima hadis dengan cara seseorang membacakan hadis di depan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan ataupun orang lain sedang guru mendengarkan atau menyimaknya. Metode Qira’ah ini biasa mengunakan ungkapan, Qara’tu ‘Ala Fulan, jika periwayat membacakan di hadapan guru hadis yang menyimaknya. Dan Qara’a ‘Ala Fulan Wa Ana Asma’u Wa Uqirru Bih, yang di gunakan jika periwayat tidak membaca sendiri.
  3. Al-Ijazah adalah guru memberikan izin kepada seseorang untuk meriwayatkan hadis yang di milikinya, baik izin itu secara lisan ataupun tertulis. Kata-kata yang di pakai untuk cara ijazah bermacam-macam. Seperti: haddaṡana ijazatan atau haddaṡana iẑan, atau ajazali, atau ajaztu laka an tarwiya ‘anni.
  4. Al-Munawalah adalah seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis kepada muridnya untuk di riwayatkan.
  5. Al-Mukatabah adalah guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadisnya guna di berikan kepada murid yang ada di hadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan di kirimi surat melalui orang yang di percaya untuk menyampaikannya. Lambang yang di gunakan pada metode al-Mukatabah yaitu, kataba ilayya funanun, akhbarani bihi mukậtabatan, dan akhbarani bihi kitậbatan.
  6. Al-I’lam adalah guru memberitahukan kepada muridnya, bahwa kitab atau hadis yang di riwayatkannya dia terima dari seorang (guru), dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya. Ungkapan yang menunjukkan periwayatan hadis dengan cara al-I’lam yaitu, akhbarana ‘ilaman atau a’lamani fulanun qala haddaṡana.
  7. Al-Washiyyah adalah seorang periwayat hadis mewasiatkan kitab hadis yang di riwayatkannya kepada orang lain. Ulama berbeda pendapat tentang periwayatan dengan cara wasiyat ini. Sebagian ulama membolehkannya dan sebagian lagi tidak memperbolehkannya. Kata-kata yang dipakai untuk periwayatan cara wasiat dapat berbunyi awsha ilayya.
  8. Al-Wijadah adalah seseorang memperoleh hadis orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak melalui cara sama’, ijazah atau munawalah. Atau dengan kata lain, seseorang dengan tidak melalui ketiga cara diatas, mendapati hadis yang ditulis oleh periwayatnya. Istilah-istilah yang sering di temukan dalam jalur sanad misalnya ‘an dan anna.

2. Seluruh Rawi dalam Sanad tersebut ‘adil.

Adapun term ‘adil (‘adalah) secara etimologis berarti pertengahan , lurus, condong kepada kebenaran. Dalam ilmu hadis, rawi yang ‘adil yaitu rawi yang menegakkan agama islam, di hiasi akhlak yang baik, terhindar dari kefasikan juga hal-hal yang merusak muru’ah. Kaedah rawi hadis yang ‘adil adalah beragama Islam dan menjalankan agamanya dengan baik, berakhlak mulia, terhindar dari kefasikan, terpelihara muru’ahnya.

3. Seluruh Rawi dalam Sanad tersebut ḍabit.

Secara etimologis ḍabit berarti menjaga sesuatu. Sedangkan dalam ilmu hadis, rawi yang ḍabit adalah rawi yang hafal betul dengan apa yang di riwayatkan dan mampu menyampaikan dengan baik hafalannya. Ia juga memahami betul bila di riwayatkan secara makna, ia memelihara hafalan dengan catatan dari masuknya unsur perubahan huruf dan penggantian serta pengurangan di dalamnya bila ia menyampaikan dari catatannya.

4. Hadisnya terhindar dari Syuẓuẓ.

Mengenai definisi syaẓ pada sanad hadis, terdapat tiga pendapat dalam terminologi ilmu hadis. Pertama, pendapat as-Syafi’i, ia mengatakan bahwa hadis baru di nyatakan Syaẓ apabila hadis yang di riwayatkan oleh perawi ṣiqah bertentangan dengan hadis yang di riwayatkan oleh sejumlah perawi yang juga ṣiqah.

Kedua, pendapat al-Khalili yang menyatakan bahwa sebuah hadis yang di nyatakan syaẓ apabila hanya memiliki satu jalur saja, baik di riwayatkan oleh rawi ṣiqah atau tidak, baik bertentangan maupun tidak. Ketiga, pendapat al-Naisaburi, hadis di nyatakan syaẓ apabila hadis tersebut di riwayatkan oleh seorang perawi ṣiqah namun tidak terdapat perawi ṣiqah lainnya yang meriwayatkan hadis tersebut. Dari ketiga pendapat ini, menurut Syuhudi Ismail pendapat al-Syafi’i adalah yang banyak di pegangi oleh ulama hadis.

Sedangkan syaẓ pada matan hadis di definisikan sebagai adanya pertentangan atau ketidaksejalanan riwayat seorang perawi yang menyendiri dengan seorang perawi yang lebih kuat hafalan dan ingatannya. Pertentangan atau ketidaksejalanan tersebut adalah dalam hal menukil matan hadis, sehingga terjadi penambahan, pengurangan, perubahan tempat (maqlub) dan berbagai bentuk kelemahan dan cacat lainnya.

5. Hadisnya terhindar dari ‘illat.

‘Illat merupakan sebab-sebab tersembunyi yang dapat merusak keshahihan hadis yang secara lahir tampak shahih. Dalam aspek sanad, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadis yang mengandung ‘illat adalah hadis yang secara lahir tampak baik, ternyata setelah di teliti di dalamnya terdapat rawi yang galt (banyak melakukan kesalahan), sanadnya mauquf (hanya sampai pada sahabat) atau mursal (hanya riwayat sahabat dari sahabat lain), bahkan ada kemungkinan masuknya hadis lain pada hadis tersebut.

Sedangkan yang di maksud ‘illat pada matan adalah suatu sebab tersembunyi yang terdapat pada matan hadis yang secara lahir tampak shahih, baik berupa masuknya redaksi lain pada hadis tertentu, atau redaksi yang di maksud memang bukan lafadz-lafadz yang mencerminkan sebagai hadis nabi, sehingga seringkali bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat akurasinya.

Rujukan:

  • Muhamad Nashiruddin Al-Albani, Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah, (Jakarta: Gema Insani, 1999),
  • A. Hasan Asy’ari Ulamai, Melacak Hadits Nabi SAW (Semarang: Rasail, 2006)