Pandangan NU tentang Aksi Bom Bunuh Diri

SUDUT HUKUM | Pada bahtsul masa’il diniyyah yang dilaksanakan dalam Munas NU tanggal 25-28 Juli 2002 di Jakarta, para ulma NU telah mengangkat berbagai permasalahan yang aktual diantaranya mengenai Aksi Bom Bunuh Diri. Dimana, aksi ini marak terjadi di wilayah-wilayah konflik khususnya di Timur Tengah yakni perseteruan Israel dan Pelstina. Aksi seperti itu juga pernah terjadi di tanah air, pada masa perang kemerdekaan yang dilakukan oleh prajurit kita saat melawan penjajah di Bandung.


Sebagimana diketahui bahwa istilah Aksi Bom Bunuh Diri mulai dikenal di Timur Tengah, khususnya di kawasan konflik Israel – Palestina. Aksi tersebut dilakukan sebagai “ istilah dalam strategi perang bagi perjuangan bangsa Palestina mengusir penjajah zionis Israel dari bumi Palestina. Karena zionis Israel telah melakukan beberapa pelanggaran Hak Asasi Bangsa Palestina dengan m,enduduki tanah bangsa Palestina termasuk tanah al-Quds (al-Aqsho) serta tidak mentaati perjanjian damai yang telah disepakati antara negara Palestina dan Israel. ( Penjelasan ‘ Shalah Shehada ’, seorang pimpinan Brigade Izzudin al-Qassam /HAMMAS ).”


Aksi yang dilakukan dengan mengikatkan bom / granat pada tubuhnya dan melemparkan diri ditengah-tengah atau dihadapan musuh / lawan, ini bukan karena mereka orang Yahudi atau karena agamanya, melainkan karena mereka (zionis Israel) telah melanggar perjanjian damai serta menduduki / merampas /merebut tanah milik Bangsa Palestina. Dalam hal ini, Abul Barra’, seorang pimpinan Batalyon Izzudin al-Qassam yang merupakan sayap militer Hammas menjelaskan:

Para pejuang Hammas ini wabil khusus pelaku Bom Bunuh Diri terlebih dahulu telah dipersiapkan atau dikader melalui pendidikan persiapan ( Tadrib ) serta pembinaan ruh (I’dad Ruhi) dengan menjalani puasa dan melakukan ibadah-ibadah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. dan terakhir adalah pendidikan kemiliteran ( taktik dan strategi serta cara-cara mebunuh musuh atau lawan dengan menggunakan senjata api, granat dan bom sebagaimana layaknya orang berperang ), dengan ketentuan bahwa mereka tidak melakukan penyerangan, tidak mengusik orang-orang tua jompo, rumah sakit, sekolah dan fasilitas umum lainnya milik zionis Israel.”
Lebih lanjut Shalah Shehada’, pimpinan HAMMAS / Brigade Izzudin al-Qassam, menerangkan syarat-syarat diperbolehkannya melakukan tindakan bom bunuh diri ini terlebih dahulu harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. Harus seorang muslim
  2. Harus mendapat ijin dari orang tua
  3. Masih bujangan / belum menikah
  4. Didukung oleh keliarga dan sejawatnya
  5. Harus ikhlas meninggalkan dunia
  6. Bersedia dilatih kemiliteran
  7. Harus sudah dewasa
  8. Bersedia dibina untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT


Dengan berdasar latar belakang hal tersebut diatas sudah dapat dipastikan bahwa pelaku bom bunuh diri bukanlah melakukan tindakan bunuh diri (intihar), melainkan suatu tindakan yang bertujuan melakukan jihad dengan mengorbankan diri untuk kepentingan masa depan bangsa dan negaranya, yaitu negara Palestina.


Di tanah air kita, tindakan seperti itu ; mengorbankan diri; pernah dilakukan oleh Moh Toha di Bandung pada masa perang kemerdekaan yang telah berhasil menghancurkan tempat penyimpanan amunisi pihak musuh dengan sengaja meledakkannya, sehingga ia pun ikut tewas bersama para petugas penjaga amunisi tersebut. Pada perang dunia II misalnya, aksi ini pernah dilakukan tentara Jepang dengan melakukan tindakan “ JIBATUKAI ”, yaitu perbuatan mengorbankan diri, untuk menghancurkan kekuatan musuh yang jumlahnya lebih besar atau banyak dengan menabrakkan pesawat terbangnya kedalam cerobong asap kapal induk Amerika. Seperti yang dilakukan tentara Jepang yang dikenal dengan aksi “Kamikaze”.


Bagi pelaku aksi bom bunuh diri, aksi ini adalah tindakan mulia dan bersedia melakukannya karena pertimbangan sebagai berikut:

  1. Merupakan strategi berperang melawan musuh yang telah merampas dan menduduki tanah airnya
  2. Ada yang menjamin bahwa pekerjaan ini dilakukan demi kepentingan bangsa dan negara serta agama dan pemimpinnya ( ulama dan umara’nya ) menyatakan bahwa pekerjaan ini, bom bunuh diri, adalah jihad dan diyakini oleh pelakunya
  3. Kalaupun pelaku bom bunuh diri ini mati, kedua orang tua dan keluarganya terlebih dahulu sudah mengikhlaskannya karena Allah
  4. Pelaku bom bunuh diri tidak punya beban tanggung jawab untuk memberi nafkah orang lain
  5. Pelaku bom bunuh diri ini rela meninggalkan dunia yang fana’ ini.


Demikian beberapa latar belakang yang dijadikan dasar pegangan dari tindakan atau aksi bom bunuh diri. Berpijak pada deskripsi tersebut kemudian NU dengan bahtsul masa’ilnya, merumuskan permasalahan dan mengkajinya dengan mengemukakan pertanyaan:

  1. Apakah tindakan Bom Bunuh Diri termasuk mati konyaol atau mati syahid ?
  2. Dalam modus operandi ( peristiwa ) apa saja tindakan Bunuh Diri diperbolehkan oleh Islam ?


Dengan mengacu pada deskripsi masalah yang dijelaskan diatas, kemudian NU mengemukakan pertimbangan-pertimbangan hukum, sebagai berikut:

  1. Telah kita maklumi bersama bahwa tindakan bunuh diri ( Intihar ) itu sebagi perbuatan yang diharamkan.
  2. Menipu adalah perbuatan haram kecuali dalam perang ( al-Harbu al- Hud’ah ). Ini keterangan hadits Nabi, HR. Muttaafaq Alaih.
  3. Motivasi yang mendorong seseorang melakukan bunuh diri adalah frustasi ( putus asa ) dalam menghadapi hidupnya, sedangkan bagi pelaku bom bunuh diri adalah perjuangan atau mungkin ingin menjadi syahid ( isytisyhad ).
Setelah mempertimbangkan dan menjelaskan duduk permasalahannya dengan menggambarkan perbedaan antara tindakan bunuh diri ( intihar ) yang sangat berbeda jauh dengan tindakan mengorbankan diri ( al-Mughamarah bin Nafsi ) yang bertujuan sebagai kesyahidan ( ‘Amaliyyah Isytisyhadiyyah ), maka NU dengan bahtsul masa’ilnya memberikan kesimpulan dengan menjawab permasalahan sebagai berikut :

  1. Pada dasarnya bunuh diri adalah tidak boleh namun apabila ada masalah yang lebih besar bagi umat Islam, membuat takut orang kafir, menghancurkan orang kafir dan untuk menunjukkan kepedulian orang Islam atas agamanya, maka hukumnya boleh dan termasuk mati syahid.
  2. Bunuh diri yang diperbolehkan apabila dengan tujuan seperti diatas ( dalam jawaban : a )
Dalam memberikan jawaban tersebut NU merujuk pada pendapatpendapat ulama terdahulu yang menjelaskan tentang tindakan mengorbankan diri untuk tujuan memuliakan agama, dan hal-hal yang dibenarkan oleh syara’ seperrti dalam keadaaan perang. Sebagaimana dalil-dalil maupun rujukan – rujukan yang telah dipaparkan oleh Muhammad Tho’mah al-Qadah dengan deskripsi yang lebih komprehensif.

Al Qurtubi menjelaskan : “ Telah sampai kabar kepadaku bahwa ketika pasukan muslimin bertemu dengan pasukan Parsi, kuda-kuda kaum muslimin merasa ketakutan jika melihat gajah. Maka seorang shahabat membuat gajahgajahan dari tanah dan menjinakkan kudanya dengan gajah-gajahan tersebut sampai ia benar-benar terbiasa. Maka ketika kudanya tidak takut dari gajah-gajah orang Parsi, ia menerobos pasukan gajah, kemudian ada yang berkata : “ Ia membunuh dirinya “, ia menjawab : “ Tidak apa-apa saya terbunuh asalkan kaum muslimin meraih kemenangan “.


Kisah tindakan sahabat tersebut merupakan dalil yang tidak membutuhkan ta’wil atas bolehnya mempertahankan diri dalam peperangan, karena kemaslahatan yang akan diraih yaitu kemenangan kaum muslimin lebih besar dari mengorbankan satu nyawa seorang muslim.

Al Syarkhasi, dalam syarah kitab al-Sair al-Kabir diterangkan Imam Muhammad bin Hasan al-Syarbani berkata : Abu Ubaid al-Tsaqafi pernah mundur bertempur pada waktu perang di Qosssan Nathif dan tidak mau mundur sampai ia terbunuh. Kemudian Umar berkata:

Semoga Allah memberikan rahmat kepada Abu Ubaid, kalaulah ia bergabung denganku maka kami akan menjadi satu kelompok”.

Ini menjelaskan bahwa tidak apa-apa menderita kekalahan,jika kaum muslimin menghadapi musuh diluar kemampuannya. Ini bukan berarti melemparkan diri dalam kebinasaan akan tetapi merupakan pengorbanan diri mengahrap ridho Allah. Para sahabat pernah melakukan hal serupa seperti yang pernah dilakukan oleh Ashim bin Tsabit. Rosulullah samapi memuji mereka, yang berarti bahwa tindakan tersebut bisa diterima. Disini Ubaid meleburkan dirinya ditengah pasukan musuh, terus menerus berperang sampai terbunuh dan ia merasa yakin bahwa tindakannya pasti membawa kematian pada dirinya.

As Syafi’i dalam al-Umm mengatakan : “ Tidakkah engkau tahu bahwa aku tidak merasa keberatan terhadap orang yang berani menanggung sendiri beban orang banyak meskipun dengan susah payah atau berani maju meskipun taruhannya nyawa. Karena hal itu pernah dilakukan dihadpan Rosulullah SAW, ketika seorang sahabat Anshor dalam perang Uhud, maju ke tengah kaum musyrikin setelah diberitahu oleh Rosulullah bahwa pada perbuatan tersebut ada kebaikkan, ia pun akhirnya terbunuh.”


Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa boleh memerangi orang kafir sampai terbunuh, akan tetapi itu harus dilakukan dengan perhitungan. Jika serangan tersebut tidak akan memberi pengaruh terhadap musuh, seperti orang yang buta yang masuk ke dalam barisan orang kafir, atau orang yang lemah, maka tindakan tersebut haram hukumnya, dan masuk kategori ayat “ tahlukak “ ( kebinasaan ). Akan tetapi yang dibolehkan adalah jika ia tahu dengan majunya ke tengah-tengah orang kafir dan memerangi mereka sampai ia terbunuh, akan menciutkan hati orang kafir karena melihat keberaniannya, sehingga pecahlah kekuatan musuh.


Ketua Dewan Tanfidziah PB NU, KH. Hasyim Muzadi, menegaskan bahwasannya bom bunuh diri bisa terjadi pada saat perang dan pada saat cara yang lain tidak bisa dilakukan lagi. Syuri’ah PB NU, KH. Abdul Malik Madani, menyatakan, bom syahid baru dibenarkan agama jika memenuhi beberapa syarat. Pertama, diniatkan benar untuk membela agama, keadilan dan kebenaran. Kedua, diyakini benar tidak ada cara lain yang lebih efektif kecuali dengan bom syahid dan ia menimbulkan resiko yang lebih kecil dibanding tindakan lain. Ketiga, sasaran bom syahid adalah otak ketidak-adilan, ketidak benaran atau pelaku langsung ketidakadilan tersebut. KH. Musthofa Bisri, seorang tokoh NU, memastikan bahwa bom bunuh diri diperbolehkan dalam konteks perang.


Dengan berbagai pertimbangan hukum yang digunakan NU, dalam menyikapi berbagai persoalan-persoalan faktual, produk yang dihasilkan senantiasa memepunyai dasar dan landasan hukum yang dapat dipergunakan sesuai rambu-rambunya. Demikian gambaran umum mengenai pandangan NU dan beberapa alasan dan penalaran yang merujuk pada pendapat ulama terdahulu yang didasarkan pada petunjuk al-Qur’an, Hadits, kisah shahabat dan ulama salaf.