Pendapat Syekh Zakaria al-Anshari Tentang Sahnya Wasiat Orang Mabuk

SUDUT HUKUM | Sebelum membahas tentang bagaimana pendapat Syekh Zakaria al-Anshari tentang sahnya wasiat orang mabuk, maka penulis akan memaparkan terlebih dahulu pendapat Syekh Zakaria al-Anshari tentang syarat-syarat orang yang berwasiat. Adapun pendapatnya sebagai berikut:

Dan orang yang berwasiat itu disyaratkan padanya orang yang mukallaf, merdeka, dan karena pilihan (tidak karena paksaan), walaupun dia adalah orang kafir harbi atau selain harbi, atau orang yang dalam pengampuan karena safih atau orang yang berhutang, dikarenakan sah keterangannya dan karena kebutuhannya untuk mendapat pahala”.

Menurut Syekh Zakaria al-Anshari orang yang berwasiat haruslah orang yang mukallaf, merdeka, tanpa paksaan dan juga orang yang dalam pengampuan karena idiot atau orang yang berhutang pun juga sah berwasiat untuk mendapatkan pahala.

Sedangkan pendapat syekh Zakaria tentang sahnya wasiat orang mabuk adalah sebagai berikut:

Maka tidak sah wasiat anak kecil, orang gila, orang yang tidak sadarkan diri, budak walaupun mukatab dan orang yang dipaksa sebagaimana (tidak sahnya) akad-akad yang lain, dan karena tidak adanya hak milik bagi budak atau karena kelemahannya dan orang yang mabuk itu sebagaimana orang mukallaf”.

Menurut Syekh Zakaria al-Anshari orang yang mabuk ketika berwasiat dihukumi sebagaimana orang mukallaf, atau sah wasiatnya seperti sahnya wasiat orang mukallaf.
Ibnu Hajar al-Haitami Dalam kitab tuhfat al-Muhtaj Fi Syarh al-Minhaj yang merupakan penjelasan dari kitab al-Minhaj karangan Syekh Zakaria al-Anshari menyebutkan:

Orang yang mabuk adalah orang yang hilang akalnya dengan sesuatu yang memabukkan karena melanggar.” Jadi jelas bahwa sakraan (orang yang mabuk) ialah orang yang hilang akal sehatnya karena melanggar syari’at Islam dengan menggunakan sesuatu yang memabukkan.

Adapun Syekh Sulaiman al-Jamal menyebutkan dalam kitabnya yang merupakan penjelasan dari Syarh al-Minhaj karya Syekh Zakaria al-Anshari disebutkan sebagai berikut:

Perkataannya (Syekh Zakaria al-Anshari): Dan orang mabuk itu sebagaimana orang mukallaf, dalam masalah ini bahwa sahnya perbuatan-perbuatannya itu merupakan hal yang memberatkan atasnya (sakran), dan sahnya wasiat adalah sebagai bentuk kasih sayang (manfaat) dengannya”

Menurut Syekh Zakaria al-Anshari orang yang mabuk ketika berwasiat itu hukum wasiatnya seperti wasiat seorang mukallaf. Demikianlah pendapat yang terdapat dalam kitab Fathul Wahhab.

Dan mengenai alasan Syekh Zakaria berpendapat bahwa wasiat orang mabuk adalah sah terdapat dalam kitab yang dikarang oleh muridnya Ibnu Hajar al-Haitami dan juga Syekh Sulaiman al-Jamal. Maka sudah patut dikatakan bahwa alasan Syekh Zakaria adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh muridnya.
Kemudian Syekh Sulaiman Al-Jamal memberikan penjelasan tentang pendapat Syekh Zakaria, yaitu bahwa sahnya perbuatan atau akadnya itu sebagai hukuman yang memberatkan terhadap perbuatannya. Wasiat orang mabuk dihukumi sah agar bisa diambil manfaat dari wasiat itu, dan diharapkan pula terdapat suatu rasa kasih sayang dari pewasiat terhadap kerabatnya yang mendapat wasiat.

Pendapat Syekh Zakaria al-Anshari Tentang Sahnya Wasiat Orang Mabuk


Istimbat Hukum Syekh Zakaria al-Anshari Tentang Sahnya Wasiat Orang Mabuk

Sebagai seorang ulama mazhab Syafi’i yang bergelar Syaikhul Islam, Syekh Zakaria al-Anshari tidak sembarangan dalam memakai dasar hukum dan memberikan fatwa guna menyelesaikan persoalan yang menyangkut agama.
Dalam muqaddimah kitab fathul wahhab beliau menyebutkan bahwa fiqih adalah pemahaman, dan landasannya adalah empat yaitu: al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dan beliau juga berpegang pada mazhab Imam Syafi’i. Adapun penjelasan dari empat landasan hukum tersebut adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an


Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW lewat malaikat Jibril sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk Islam, dan membacanya adalah ibadah kepada Allah SWT. Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang pertama. Maka jika di dalam al-Qur’an tidak dijelasaskan secara khusus ataupun umum diambil dari sumber yang kedua yaitu sunnah atau hadist Nabi SAW. kemudian jika masih tidak didapat maka dengan ijma’. Apabila tidak terdapat dalam ijma’ maka dengan qiyas.

2. As-Sunnah

As-Sunnah adalah ucapan, perbuatan, serta ketetapan-ketetapan Nabi SAW. Dengan demikian sunnah dikategorikan menjadi tiga macam yaitu:
  • Sunnah Qauliyyah (ucapan)
  • Sunnah Fi’liyyah (perbuatan)
  • Sunnah Taqririyyah (ketetapan)

3. Al-Ijma’

Ijma’ ialah kesepakatan para mujtahidin dari ummat Islam di suatu masa sesudah masa Nabi SAW atas sesuatu urusan. Pengertian inilah yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i dalam ar-Risalah dan memang Imam Syafi’i lah yang mengkongkritkan pengertian dari ijma’.

4. Al-Qiyas

Qiyas menurut bahasa adalah mengukur atau memperkirakan sesuatu atas sesuatu yang lain dan menyamakannya dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah, qiyas berarti mengeluarkan semisal hukum yang disebutkan dengan sesuatu yang belum disebutkan dengan menggabungkan diantara keduannya.

Adapun rukun-rukun qiyas adalah:
  • Ashal (pokok tempat mengqiyaskan sesuatu)

Yaitu masalah yang telah ditetapkan hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah.
  • Hukum ashal

Yaitu hukum syara’ yang terdapat pada ashal yang hendak ditetapkan pada far’u (cabang) dengan jalan qiyas. Misalnya hukum haram khamar ditetapkan dalam al-Qur’an.
Syarat-syarat hukum ashl, menurut Abu Zahrah antara lain:
  1. Hukum ashal hendaklah berupa hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan karena yang menjadi kajian ushul fiqh adalah hukum yang menyangkut amal perbuatan.
  2. Hukum ashal dapat ditelusuri „illat hukumnya. Misalnya hukum haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan yaitu karena memabukkan dan bisa merusak akal pikiran, bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui ‘illat hukumnya (ghairu ma’qul al-ma’na), seperti masalah bilangan rakaat shalat.
  3. Hukum ashal itu bukan merupakan kekhususan bagi Nabi Muhammad SAW, misalnya kebolehan Rasulullah beristri lebih dari empat orang wanita sekaligus.

  • Far’u (cabang)

Yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam al-Qur’an, Sunnah atau ijma’ yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas.
  • ‘Illat

Yaitu suatu sifat atau keadaan yang menjadi alasan atau dasar penetapan hukum pada pokok dan ‘illat ini juga terdapat pada cabang (far’u) yang akan dicari hukumnya. Rukun yang satu ini merupakan inti dari praktek qiyas, karena berdasarkan ‘illat itulah hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah dapat dikembangkan.

Sedangkan pada bahasan wasiat orang mabuk disebutkan oleh murid Syekh Zakaria al-Anshari yaitu Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tuhfat al-Muhtaj Fi Syarh al-Minhaj yang merupakan Syarh atau penjelasan dari pendapat-pendapat Syekh Zakaria. Dalam kitab tersebut disebutkan:

Tidak pula (tidak sah wasiat) orang gila, orang yang tidak sadarkan diri dan anak kecil, karena tidak dianggap (oleh syara’) bagi mereka, berbeda dengan orang yang mabuk meskipun belum mumayyis seperti yang telah diketahui pada bab talak”.

Dari penjelasan atas pendapat Syekh Zakariya tersebut jelas bahwa orang yang berwasiat dalam keadaan mabuk disamakan dengan orang yang melakukan talak dalam keadaan mabuk yaitu sah wasiatnya.

Jumhur ahli fiqih berpendapat bahwa talak ketika mabuk hukumnya sah, karena atas kemauan dia sendirilah sebab kerusakan akalnya. Akan tetapi sebagian ulama berpendapat main-main karena ucapannya tidak terpakai. Sebab orang mabuk dan orang gila dipandang sama. Kedua orang tersebut sama-sama kehilangan akal, sedangkan akal itulah yang menjadi sendi taklif.
Dalam kitab Fathul Wahhab Syekh Zakaria al-Anshari menyebutkan:

(Taklif) maka tidak sah talak selain orang mukallaf karena hadits yang menyebutkan bahwa taklif diangkat terhadap tiga perkara (kecuali orang yang mabuk) maka sah talak darinya bukan sebagai orang mukallaf sebagaimana yang telah disebut dalam kitab ar-Raudhah dari sahabat-sahabat kami dan dari selainnya yang terdapat dalam kitab-kitab ushul yaitu sebagai pemberatan atas orang mabuk, dan dikarenakan sahnya talak orang mabuk itu terikatnya hukum dengan sebab, sebagaimana yang disebutkan Imam Ghazali dalam al-Mustashfa dan ia menjawab dengan firman Allah SWT: “janganlah kamu mendekati shalat dalam keadaan mabuk”, ayat itu juga menjadi dasar bagi Imam Juwaini dan yang lainnya dalam pembebanan orang mabuk. Bahwa yang dimaksud adalah pada permulaan mabuk dia mabuk karena masih tetap akalnya, kemudian hilangnya beban orang mabuk itu karena hilangnya kefahaman yang faham itu menjadi syarat taklif. Dan yang dimaksud dengan orang mabuk yang sah talak, nikah, dan semacamnya itu adalah orang yang hilang akalnya dengan dosa yang ia lakukan seperti minuman dan obat-obatan.”

Syekh Zakaria al-Anshari menyebutkan bahwa talak orang mabuk sah sebagai pemberatan atas perbuatannya. Dan hukum itu selalu terikat dengan sebab-sebabnya. Orang mabuk yang talak atau perbuatan lainnya dianggap sah adalah orang yang mabuk karena perbuatan dosa atau mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT.
Adapun orang yang melakukan talak dalam keadaan mabuk maka Ibnu hajar al-Haitami juga menjelaskan hal yang sama:

dan (taklif), maka tidak sah ta’liq dan tanjiz (talak bersyarat dan tidak bersyarat) dari anak kecil, orang gila, orang yang tidak sadarkan diri, dan orang yang sedang tidur karena diangkatnya pena (catatan amal) terhadap mereka akan tetapi jika seseorang menggantungkan talak dengan sifat maka terdapat talak dengannya seperti terjadi penyakit gila. Dan sukarela maka tidak dianggap talak orang yang dipaksa. (Kecuali orang yang mabuk), dan ia adalah orang yang hilang akalnya dengan barang yang memabukkan karena melanggar, dan dia bermaksud untuk mabuk kemudian melakukan talak, dan yang disebutkan ini adalah setiap orang yang hilang akalnya dikarenakan ia melakukan dosa dengannya seperti minuman atau obat maka sesungguhnya terjadi atau sah talaknya dengan tidak adanya taklif(beban) dalam dirinya, sesuai pendapat yang lebih benar yaitu (tidak adanya) khitob ketika mabuk dikarenakan ketidakfahamannya yang ia menjadi syarat taklif”.

Menurut Ibnu Hajar al-Haitami, orang yang melakukan talak dalam keadaan mabuk adalah sah. Beliau menghukumi sah karena orang tersebut melanggar syari’at Islam dan dengan menggunakan khamr atau sesuatu yang bisa memabukkan. Adapun sahnya talak orang mabuk itu dengan tidak adanya taklif atas orang tersebut, yaitu orang yang mabuk bukan sebagai mukallaf akan tetapi talaknya dihukumi seperti talak orang mukallaf.

Dalam hal talak orang mabuk Ibnu Hajar memberikan alasan yang hampir sama dengan gurunya yaitu Syekh Zakaria, maka sudah patut dikatakan bahwa dalam hal wasiat Ibnu Hajar al-Haitami juga mengambil dari pendapat Syekh Zakaria al-Anshari. Karena dalam bab wasiat orang mabuk Syekh Zakaria tidak menjelaskan alasannya secara langsung, dan hanya menjelaskan sahnya talak orang mabuk dan akad lainnya.

Akan tetapi Ibnu Hajar al-Haitami tidak mengatakan secara langsung metode istimbath yang digunakan oleh Syekh Zakaria. Ibnu Hajar hanya menjelaskan bahwa hukum wasiat orang mabuk itu adalah sah sebagaimana yang telah diketahui pada hukum talak orang mabuk yaitu sah hukumnya.

Oleh karenanya, penulis hanya mengemukakan alasan Syekh Zakaria al-Anshari menghukumi sah wasiat orang mabuk. Alasan pendapatnya itu dijelaskan oleh Syekh Sulaiman al-Jamal bahwa sahnya wasiat orang mabuk sebagai sesuatu yang memberatkan bagi pewasiat.


Rujukan:

  • Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Juz 8, Bandung:al-Ma’arif, tt.
  • Syaikhul Islam Abi Yahya Zakaria Al Anshari, Fathul Wahab, Jilid 2, Surabaya: Maktabah Ahmad Bin Sa’id, tt.
  • Syihabuddin Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtaj Fi Syarh al-Minhaj Juz 8, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
  • Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Alamah as-Syaikh Sulaiman al-Jamal Ala Syarh al-Minhaj Li as-Syaikh Zakaria al-Anshari, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
  • Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Semarang: Wicaksana, 1988.
  • Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
  • Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Mazhab, Jakarta:Bulan Bintang, 1973.
  • Abdul hamid hakim, Al-Bayan, Jakarta: Sa’diyah Putra, 2009.
  • Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
  • Muhammad Abu Zahrah, UshulAl- Fiqh, Terj. Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. ke-9, 2005.