Pengertian dan Dasar Hukum Majelis Syura

SUDUT HUKUM | Mahkamah Partai Politik dalam partai politik Islam disepadankan dengan majelis syura dimana berfungsi sebagai majelis tertinggi untuk menyelesaikan konflik suatu partai dengan cara musyawarah. Secara umum dikatakan bahwa kata syura memiliki banyak pengertian, dari asal kata syura dibentuk. Kata syura berasal dari akar kata sya-wa-ra, yang secara etimologi berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah.

Sejalan dengan pengertian ini, kata syura atau dalam bahasa Indonesia menjadi ‚musyawarah‛ mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Hal ini semakna dengan pengertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna bagi manusia.

Fazlur Rahman mengatakan bahwa kata Syura berasal dari kata kerja syawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Syawara adalah tasyawara bermakna berunding, saling bertukar pendapat, syawir yang artinya meminta pendapat atau musyawarah.

Pengertian dan Dasar Hukum Majelis Syura

Majelis syura adalah tempat yang didalamnya terdapat orang-orang yang memiliki kearifan dan kecerdasan di dalam mengatur kemaslahatan kemasyarakatan, serta mampu menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan dan politik. Pengangkatan khalifah tidaklah dibenarkan, kecuali apabila mereka yang memilih serta membaiatnya dengan kerelaannya. Mereka itu lah yang disebut dengan wakil masyarakat pada bangsa-bangsa yang lainnya.

Syura atau musyawarah adalah menjelaskan perkara yang ada, menyatakan atau mengajukan pendapat dan akhirnya diambil satu keputusan. Dapat dikatakan bahwa syura atau musyarawah itu adalah bertukar pendapat, yang akhirnya menghasilkan suatu ide dan menghasilkan satu keputusan bersama lewat musyawarah.

Dengan demikian secara tidak langsung berarti memilih ide-ide terbaik dengan cara mengumpulkan sejumlah orang yang memiliki argumentasi, pengalaman, kecanggihan dalam berpendapat, serta syarat lain yang bisa memberikan pendapat yang tepat dan keputusan yang benar. Ibn al-Arabi pun mengatakan, bahwa musyawarah adalah pertemuan guna membahas permasalahan, masing-masing mereka saling bermusyawarah dan mengemukakan pendapat.

Syura atau pengambilan pendapat dalam Islam adalah salah satu konsepsi politik diantara konsepsi-konsepsi yang akarnya menancap kuat ditengah masyarakat Islam, dan menjadi keistimewaan system pemerintahan Islam dari sistem-sistem pemerintahan selain Islam. Syura telah menjaga eksistensinya dalam kehidupan politik Islam, untuk mengokohkan hubungan antara penguasa dengan rakyatnya. Dalam bentuk kekontinuan merujuk penguasa kepada rakyat untuk melahirkan keputusan-keputusan politik yang menjadi kepentingan masyarakat luas, yang berangkat dari kesadaran, kematangan dengan pemikiran kaidahkaidah umum bagi umat Islam.

Secara garis besar pengertian syura adalah sebuah proses pengambilan keputusan atau perumusan dalam menyelesaikan masalah atau membentuk sebuah peraturan hukum yang berdasarkan pengumpulan ide-ide atau gagasan dari berbagai pihak yang saling berkaitan yang didasari tuntutan atau kidah yang terdapat pada al-Qur’an dan as-Sunah, demi tercapainya sebuah kesepakatan dan demi kemaslahatan bersama.

Dasar Hukum Majelis Syura

Al-Qur’an merupakan suatu landasan yang berisi petunjuk dan bimbingan etik serta moral dalam kehidupan manusia. Walaupun al-Qur’an tidak pernah mengemukakan solusi setiap permasalahan dengan jelas hanya berbentuk isyarat, namun isyarat mengenai petunjuk bernegara dan pemerintahan memiliki dasar fundamental dalam al-Qur’an. Isyarat tersebut dapat dilihat dari adanya aturan yang mewajibkan untuk bermusyawarah. Karena musyawarah merupakan salah satu nilai etika politik yang konstitusional dalam kehidupan bernegara, tentang prinsip syura pun terdapat dalam al-Qur’an.

Terdapat tiga ayat dalam al-Qur’an yang berisi tentang anjuran untuk melakukan musyarawah guna mencapai sebuah keputusan. Walaupun ketiga ayat tersebut dari latar belakang yang berbeda-beda.

Ayat pertama terdapat pada surah Ali-Imran ayat 159 yang berbunyi: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya‛. (Surah Ali-Imran: 159).

Ayat pertama ini menjelaskan bahwa menjadikan urusan diantara kaum muslim diselesaikan dengan cara musyawarah dengan strategi bagaimana menciptakan suatu lingkungan masyarakat yang menjadi harapan bersama secara ideal dan harmonis.

Ayat ini dari segi redaksional ditunjukkan kepada Nabi Muhammad saw, agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Karena itu ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap muslim dan kepada setiap pemimpin agar musyawarah dengan anggotanya dijadikan sebagai suatu keharusan dalam memutuskan sesuatu untuk kepentingan umat termasuk dalam masalahmasalah politik yang sedang mereka hadapi.

Al-Maraghi juga menjelaskan mengenai ayat 159 yang terdapat dalam surah Ali-Imran itu merupakan perintah kepada Nabi Muhammad untuk berpegang teguh kepadanya. Karena itu Nabi Muhammad tetap melakukan musyawarah seperti sebelumnya walau dalam keadaan kritis.

Kalau Nabi sebagai orang yang maksum (jauh dari pengaruh hawa nafsu), diperintahkan untuk bermusyawarah dalam urusan umat, maka bagi umat yang lain sebagai manusia biasa yang tidak maksum lebih-lebih lagi harus melakukannya. Adapun ayat yang kedua terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingi menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.‛ (Q.S al-Baqarah ayat: 233).

Ayat kedua ini menjelaskan hubungan rumah tangga bahwa masa penyusuan dua tahun, apabila suami, istri ingin menyapih anak mereka atas dasar kerelaan dan musyawarah, dengan maksud kemaslahatan anak, mereka sepakat menghentikan susuan ataupun menyapih sebelum sampai dua tahun, hal ini boleh saja dilakukan. Adapun yang ketiga terdapat dalam Asy-Syura ayat 38 yang berbunyi: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagaian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka‛. (Q.S Asy-Syura ayat 38).

Ayat ketiga ini menjelaskan sifat-sifat orang mukmin yaitu mereka menerima (mematuhi) perintah tuhannya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan dalam menyelesaikan urusan mereka diselesaikan dengan cara musyawarah.

Sepintas terkesan bahwa ayat yang berbicara tentang musyawarah sangat sedikit dan itu pun hanya bersifat sangat umum dan global. al-Qur’an memang tidak membicarakan masalah ini lebih jauh dan detail. Dilihat secara mendalam, hikmahnya tentu besar sekali. al-Qur’an hanya memberikan seperangkat nilai-nilai yang bersifat universal yang harus diikuti umat Islam. Sementara cara, sistem, bentuk dan hal-hal lainnya yang bersifat teknis diserahkan sepenuhnya kepada manusia sesuai dengan kebutuhan mereka dan tantangan yang mereka hadapi. Jadi al-Qur’an menganut prinsip bahwa untuk masalah-masalah yang bias berkembang sesuai dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik umat Islam, maka al-Qur’an hanya menetapkan garis-garis besarnya saja.

Bagi umat Islam as-Sunah atau Hadis merupakan landasan kedua setelah al-Qur’an. Maksud dari as-Sunah disini adalah sesuatu yang bersumber dari Rasullah saw baik itu berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan. Dari Abi Hurairah r.a ia berkata: “menceritakan dari Uyainah, dari Zurhi berkata: Abu Hurairah berkata: ‚Saya (Abu Hurairah) tidak melihat seorangpun yang lebih banyak musyawarahnya dari pada Raullah saw terhadap para sahabatnya‛.

Rasulullah pun pernah mengatakan kembali: “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar telah menceritakan kepada kami Yahya bin Zakariya` bin Abu Za`idah dan Ali bin Hasyim dari Ibnu Abu Laila dari Abu Az Zubair dari Jabir dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian meminta nasehat kepada saudaranya, hendaklah ia menunjukkan jalan yang benar.”

Hadis diatas menerangkan dan menyerukan betapa pentingnya bermusyawarah atau menolong seseorang dalam menyelesaikan berbagai macam persoalan baik tentang persoalan dunia maupun akhirat. Karena dengan cara bermusyawarah dapat memudahkan seorang untuk keluar dari permasalahan yang terdapat pada dirinya.

Rujukan:

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001),

M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996),
M Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII Press, 2000),
Djazuli, Fiqih Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syariah, Cet Ke- 3 (Jakarta: Kencana,2003),
Artani Hasbi, Musyawarah Dan Demokrasi, (Ciputat: Gaya Media Pratama, 2001),
Mahmud Abd Al-Majid Al-Khalidi, Analisis Delik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam, (Bogor: Al-Azhar Press, 2004)
Zul Asyri, Pelaksanaan Musyawarah Dalam Pemerintahan Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Kalam Mulia, 1996.
Hadis Ibnu Majjah, penerjemah Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Juz II. (Beirut: Dar al-Fikr, tt).