Pengertian Ikrah dan Dharurah

SUDUT HUKUM | Secara leksikal (bahasa) ikrah berarti memaksa.[1] Secara terminologis, terdapat beberapa pendapat yang berbeda tentang pengertian ikrah seperti dibawah ini:

Abdul Qadir Audah memberikan pengertian ikrah sebagai berikut:

Suatu perbuatan yang ditimbulkan dari pemaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang dituntut (oleh pemaksa) darinya”.[2]

Sedangkan Muhammad Abu Zahrah adalah sebagai berikut:

menyuruh seseorang melakukan sesuatu yang dibencinya”[3]

Apabila kita perhatikan dari beberapa pengertian tersebut di atas, maka yang berbeda hanya dalam susunan kalimatnya, namun intinya sama yaitu suatu ancaman dari orang yang memaksa terhadap orang yang dipaksa yang membuatnya harus melakukan suatu perbuatan yang dipaksakan padanya. Paksaan biasanya disertai dengan ancaman dapat berupa penyiksaan, ancaman pembunuhan, pemukulan, dan lain-lain.
Dharurat dapat dipersamakan dengan ikrah. Perbedaanya hanya pada sebab timbulnya perbuatan di mana dalam ikrah seseorang mendapatkan ancaman yang berasal dari orang lain (manusia), sedang dalam dharurat seseorang tidak diancam oleh orang lain melainkan ia mendapat dorongan dalam suatu keadaan yang mengharuskan ia melakukan perbuatan yang terlarang.[4]
Dharurah menurut makna artinya bahaya.[5] Secara terminologis Muhammad Abu Zahrah memberikan pengertian dharurat sebagai:

Menghilangkan sesuatu yang diharamkan karena bias menyebabkan bahaya”[6]

Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan dharurat sebagai;

datangnya bahaya atau kesulitan (masaqqah) yang amat berat pada manusia yang membuat dia khawatir akan terjadinya mudarat atau sesuatu yang menyakitkan atas jiwa, anggota tubuh, akal, harta dan bertalian denganya.”

Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa dharurat adalah situasi yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kematian atau mendekati kematian. Dengan kata lain, pengertian tersebut mengarah kepada tujuan pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs). Wahbah Zuhaili menilai pengertian-pengertian tersebut kurang lengkap, karena dharurat mencakup semua yang berakibat dibolehkannya yang haram atau ditinggalkannya yang wajib. Maka ia menambahkan selain memelihara jiwa, dharurat juga memelihara akal, kehormatan dan memelihara harta.



[1] Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999, hlm.433.

[2] Abdul al-Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy Jilid I, Beirut: Dar al-Kitab al- Arabi, tth, hlm. 563.

[3] Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, Beirut: Daar al-Fikr al-’Araby, tt. hlm. 355

[4] Ahmad Hanafi, Asas-asas HukumPidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 364- 365.

[5] Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah, Op.Cit, hlm. 633

[6] Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, hlm 43.