Sejarah dan Peran Bahtsul Masa’il dalam Muktamar NU

SUDUT HUKUM | Untuk melihat latar belakang Bahtsul Masa’il perlu diketahui terlebih dahulu tentang proses sejarah NU berdiri. Nahdlatul Ulama merupakan organisasi jami’iyyah diniyah yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh sekelompok ulama’ yang merupakan kepentingan Islam tradisional, terutama sistem kehidupan pesantren. Dimana wilayah ajaran dan praktek Islam tradisional telah tergeser akibat pesatnya perkembangan modernisme Islam saat itu.

Lahirnya Jami’iyyah Nahdlatul Ulama didahului dengan beberapa peristiwa penting. Pertama adalah berdirinya grup diskusi di Surabaya pada tahun 1914 dengan nama “Taswirul Afkar” yang dipimpin KH. Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansyur. Pada tahun 1916 grup diskusi ini telah berkembang dan berubah dengan nama “Nahdlatul Wathan” (kebangkitan tanah air). Peristiwa yang lain adalah pembentukan komite Hijaz sebagai utusan ke Arab Saudi guna mengikuti konggres khilafah pada tahun 1926. Pengiriman delegasi ke Arab Saudi ini dimaksudkan untuk memperjuangkan kepentingan kaum Islam tradisionalis yang semakin terpojok oleh kaum reformis.

Tidak berbeda dengan proses lahirnya NU, lembaga Bahtsul Masa’il sebenarnya telah berkembang di tengah masyarakat muslim tradisionalis pesantren, jauh sebelum tahun 1926 saat NU didirikan. Dengan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi atas persoalan-persoalan yang terjadi, maka secara individu mereka bertindak langsung sebagai penafsir hukum bagi kaum muslimin di sekelilingnya.

Fatwa yang berkembang saat itu berupa hukum Fiqh untuk melaksanakan perintah dan menjauhi semua larangan Allah. Dikembangkan pula pada saat itu fatwa yang bersifat mencegah (preventif), yaitu fatwa yang diberikan untuk menjaga kelestarian agama Islam dari perbauran budaya asing. Fatwa-fatwa itu dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari masyarakat awam dengan taat meskipun tanpa diberlakukan sangsi.

Dengan terakomodasinya seluruh kekuatan ulama tradisional pesantren oleh wadah jami’iyah NU, maka fatwa yang semula bersifat individu dirubah menjadi fatwa yang bersifat kolektif. Karena pada dasarnya kedua hal tersebut tidak berbeda tujuan, yaitu untuk menjawab atas pertanyaan yang dikemukakan oleh umat dan juga merujuk pada pendapat salah satu madzhab yang empat.

Perbedaannya hanya tampak pada prosedur pelaksanaan saja. Fatwa kolektif harus didiskusikan bersama dengan beberapa pakar dan kesepakatan hukum dari fatwa kolektif adalah representasi kelompok, sedangkan fatwa individu adalah hasil karya seorang mufti saja.

Selain itu fatwa kolektif merupakan hasil dari ijtihad yang bersifat kolektif juga. Di mana dalam ijtihad kolektif memiliki banyak kelebihan, diantaranya adalah:
  • Menerapkan prinsip syura (musyawarah)
  • Hasil ijtihad kolektif lebih seksama dan akurat
  • Ijtihad kolektif merupakan solusi bagi permasalahan baru
  • Salah satu jalan untuk menyatukan umat
  • Mewujudkan sikap saling melengkapi.

Dengan sumber daya yang tidak bisa dianggap enteng, fatwa kolektif tidak sekedar memberikan jawaban sesaat akan kebutuhan masyarakat tetapi juga mencerminkan argumentasi yang kritis dan masuk akal, serta menunjukkan pentingnya persatuan antara umat Islam untuk mendapatkan hasil yang maksimal sesuai dengan keinginan kita.

Setelah hal itu berlangsung cukup maka dibentuklah sebuah forum untuk memutuskan hukum (fatwa kolektif) yang disebut dengan “Bahtsul Masail”, yang dikoordinasi oleh lembaga syuriyah (legislatif). Forum ini bertugas untuk mengambil keputusan tentang hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan masa’il fiqhiyah baik waqi’ah maupun permasalahan yang mauquf pada Bahtsul Masa’il sebelumnya, sehingga harus dibawa ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu dari Ranting, Cabang, Wilayah, Pengurus Besar, Munas dan yang terakhir Muktamar. Sejak berdirinya NU, Bahtsul Masa’il yang pertama dilakukan pada tanggal 13 Robi’ul Tsani 1345/21 Oktober 1926. Forum ini diikuti oleh syuriah serta ulama-ulama pengasuh pondok pesantren. Bahtsul Masa’il merupakan forum yang sangat dinamis dan demokratis. Dinamis karena permasalahan yang dibahas selalu mengikuti perkembangan hukum di masyarakat, demokratis karena dalam forum ini tidak ada perbedaan antara kiai, santri muda ataupun tua dan tidak ada dominasi madzhab.

Salah satu permasalahan yang dibahas dalam bahtsul masa’il adalah masalah keagamaan (bahtsul masa’il ad-diniyah). Dalam keorganisasian NU bahtsul masa’il ad-diniyah merupakan lajnah (komisi) yang berfungsi sebagai pelaksana program di bidang hukum, yaitu membahas berbagai masalah keagamaan. Komisi ini menghimpun, membahas dan memecahkan masalahmasalah yang menuntut kepastian hukum. Dalam musyawarah alim ulama suriah NU di tingkat nasional, komisi bahtsul masa’il mempunyai tugas sangat penting.

Selain meneliti, membahas dan memilih jawaban yang relevan dari pendapatpendapat madzhab juga menetapkan keputusan untuk masalah yang memerlukan kepastian hukum. Keputusan tersebut merupakan fatwa sebagai bimbingan bagi warga NU dalam mengamalkan agama sesuai paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut Drs. H.A. Karim Assalawy, M.Ag., seorang Wakil Rois Syuriah NU wilayah Jawa Tengah, Bahtsul Masa’il memiliki banyak kelebihan diantaranya adalah dapat membantu umat atau orang yang belum bisa berijtihad sendiri (awam), hasil lebih akurat karena merupakan kesepakatan bersama dan Bahtsul Masa’il dapat dijadikan sebagai ajang untuk belajar istinbath bagi orang-orang yang memang sudah pantas melakukannya sehingga tidak bersifat pasif.

Rujukan:

  • Greg barton dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme Radikal : Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Yogyakarta : LKiS, 1997,
  • Bibit Suprapto, SH., Nahdlatul Ulama : Eksistensi Peran dan Prospeknya, Malang : LP.Ma’arif, 1987.
  • Abdul Majid Asy-Syarafi, Al-Ijtihad Al-Jami’ fi Asy-Syari’ Al-Islami, dalam Syamsuddin TU., Ijtihad Kolektif, Jakarta : Pustaka Al-kautsar, 2002.
  • Andree Feilard, Islam et Armee Dans L’Indonesie Contemporaine, diterjemahkan dalam Lesmana, NU vis – a – vis Negara, Yogyakarta : LKiS, 1999.
  • Imam Yahya, Akar Sejarah Nabhtsul Masa’il : Penjelajahan Singkat, dalam Imdadun Rahmat (ed), Kritik Nalar Fiqh NU : Transformasi Paradigma bahtsul Masa’il, Jakarta : LAKPESDAM, 2002.