- Kesengajaan atau ketidaksengajaan (culpa/dolus);
- Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
- Macam- macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan – kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
- Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
- Perasaaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
- Sifat melanggar hukum;
- Kualitas si pelaku;
- Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
- D. Simons, sebagai menganut pandangan monistis Simons mengatakan bahwa pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) adalah ”Een strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”.
- Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
- Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
- Melawan hukum (onrechtmatig);
- Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staad);
- Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsyatbaar persoon).
- Yang dimaksud dengan unsur subyektif ialah : perbuatan orang;
- Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
- Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat ”openbaar” atau ”dimuka umum”
- Orangnya mampu bertanggung jawab;
- Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
- Van Hamel, menyatakan Stafbaarfeit adalah een weterlijk omschre en mensschelijke gedraging onrechmatig, strafwardig en aan schuld te wijten. Jadi menurut Van Hamel unsur-unsur tindak pidana adalah :
- Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;
- Bersifat melawan hukum;
- Dilakukan dengan kesalahan dan
- Patut dipidana.
- E. Mezger, menyatakan tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana, dengan demikian usnur-unsurnya yaitu:
- Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);
- Sifat melawan hukum (baik bersifat obyektif maupun bersifat subyektif);
- Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang;
- Diancam dengan pidana.
- J. Baumman, menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik : 1) Bersifat melawan hukum; dan 2) Dilakukan dengan kesalahan.
- H.B. Vos, menyebutkan Strafbaarfeit hanya berunsurkan:
- Kelakuan manusia dan
- Diancam pidana dengan undang-undang.
- W.P.J. Pompe, menyatakan : menurut hukum positif strafbaarfeit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.
- Moeljatno, memberikan arti tentang strafbaarfeit, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur:
- Perbuatan (manusia);
- Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil) dan
- Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat meteriil pun harus ada pula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, oleh karena itu bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat.
Menurut Sudarto, baik aliran monistis maupun dualistis, tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil dalam menentukan adanya pidana. Apabila orang menganut pendirian yang satu, hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen, agar tidak terjadi kekacauan pengertian. Bagi orang yang berpandangan monistis, seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan dualistis, sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada si pembuat atau pelaku pidana. Jadi menurut pandangan dualistis semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.