Biografi Ibnu Hazm

Latar Belakang Kehidupan Ibnu Hazm


Ibnu Hazm adalah salah satu ulama golongan zhahiri yang terkenal dengan pemikiran yang tekstual terhadap dalil al-Qur’an ataupun hadis Nabi. Dalam al Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al Nihal, nama lengkap Ibnu Hazm disebutkan:

Imam Abu Muhammad Ali Ibnu Ahmad Ibnu Hazm semoga Allah meridhainya”.[1]

Dalam al Muhalla bil Atsar disebutkan:

Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm semoga Allah meridhainya”.[2]


Dalam al-Ihkam fi Usul al-Ahkam disebutkan:

Al-Faqih al-Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad, semoga rahmat dan ridha Allah ada padanya”.[3]

Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa nama Ibnu Hazm adalah Ali, nama kunyah-nya adalah Abu Muhammad. Nama inilah yang sering dipergunakan dalam kitab-kitabnya, tetapi dia lebih terkenal dengan nama Ibnu Hazm dengan menisbatkan dirinya pada kakek keduanya bernama Hazm. Silsilah lengkapnya adalah Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Ghalib bin Salih bin Sufyan bin Yazid.[4]

Ia lahir saat fajar akhir bulan Ramadhan tahun 384 H bertepatan dengan 7 November 994 M di Cordoba Spanyol yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dan pusat kebudayaan Islam di Eropa saat itu.[5]

Dia tumbuh dalam keluarga yang kaya dan terhormat, sebab ayahnya yaitu Ahmad Ibn Sa’id Ibn Hazm al-Andalusi adalah seorang wazir terkemuka dalam pemerintahan khalifah al-Mansur yang wafat pada tahun 392 H. Selanjutnya, dia diangkat menjadi menteri oleh al-Muzaffar putra al Mansur yang menggantikan kedudukan ayahnya. Meski begitu, kehidupannya di istana tidak untuk bermegahmegahan, tapi ia mencari ilmu dalam berbagai disiplin ilmu dan menghafal al Qur’an serta menulis indah (khat). Sebagai anak seorang pembesar, ia mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang baik dengan bimbingan dan asuhan dari gurugurunya.

Ketika terjadi kekacauan politik pada tahu 398 H, ayahnya meninggalkan dunia politik dan meninggalkan rumahnya di Cordova Timur pindah ke Cordova Barat dan meninggal pada tahun 402 H. Saat itu kekacauan politik terus terjadi dan lebih parah karena kelompok yang menginginkan kekuasaan mulai minta bantuan kepada tentara Kristen untuk mengalahkan musuhnya.

Ketika al Mansur meninggal umur Ibnu Hazm baru menginjak delapan tahun. Dia turut menyaksikan pergolakan politik dalam keluarga Bani Umayyah yang berakibat saling bunuh. Diapun tidak berpihak kepada kubu manapun. Dia memilih untuk menjauh dan menekuni ilmu.

Ibnu Hazm pernah menjabat sebagai menteri pada masa Abdurrahman bin Hisyam bin Abdul Jabbar. Namun, baru menjabat dua bulan dia dipecat dari jabatannya sebagai menteri. Ketika itu Abdurrahman telah terbunuh. Kemudian menjadi menteri lagi pada masa pemerintahan Hisyam al Mu’tad Billah, khalifah terakhir Andalusia. Dia dibaiat oleh Ibnu Jahur Gubernur Cordova pada tahun 418 H dan dimakzulkan pada tahun 422 H. Sejak saat itu kekhalifahan lenyap dan Andalusia pecah dalam kekuasaan para pemimpin baik Barbar, Arab maupun Mawali.[6]

Dalam karyanya Tuq al-Hamamah dijelaskan, betapa hatinya tergoncang karena pergolakan politik yang mengakibatkan dia kehilangan jabatannya, bahkan sampai diusir dari tempat tinggalnya. Namun ia mengaku masih banyak anugerah yang Allah SWT berikan kepadanya sehingga dia pasrah dan mensyukuri atas apa yang terjadi kepadanya.

Berbagai ilmu keislaman lainnya sempat ia kuasai, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ushul fiqh, ilmu kalam, ilmu kedokteran, sejarah dan bahasa arab. Ia mulai memfokuskan waktu dan energinya dalam aktivitas riset dan kesusasteraan. Dia menghabiskan tiga puluh tahun untuk menggali ilmu pengetahuan dan menulis buku setelah dia meninggalkan jabatannya dalam pemerintahan waktu itu.[7]

Dia dipandang kurang berwibawa dan mendapat kecaman dari berbagai ulama. Karena itu, jabatan itu ia tinggalkan dan memutuskan untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman, terutama mengenai aliran-aliran hukum dalam Islam. Sehingga pada akhirnya ia muncul sebagai seorang ulama yang kritis, baik terhadap ulama pada masanya maupun ulama
sebelumnya.

Begitu mendalam kajian Ibnu Hazm terhadap ilmu yang dikuasainya, sehingga diriwayatkan jarang ada orang yang mampu menandinginya masa itu. Dan begitu tajam kritiknya terutama terhadap ulama yang tidak sealiran dengannya dan dia juga tidak segan mengkritik sultan dan penguasa lain pada zaman itu.

Sehingga ia mendapat tantangan berat dari ulama pada masanya, mereka sepakat mengatakan Ibnu Hazm sesat dan patut untuk dijauhi oleh siapapun, baik itu penguasa maupun orang biasa. Beberapa kali ia difitnah dan dilaporkan ke penguasa, sehingga pada akhirnya ia diusir ke satu perkampungan yang terpencil, dan di sana ia wafat pada tanggal 28 bulan Sya’ban 456 H bertepatan dengan tanggal 15 Juli 1063 M pada umur 72 tahun dan dimakamkan di Niebla (terletak di Sevilla). Sebagai bentuk penghargaan atas pelayanannya yang luar biasa terhadap dunia keilmuan, pada tahun 1963 pihak penguasa Spanyol membuat patung Ibnu Hazm seukuran badan.[8]

Pendidikan dan Guru Ibnu Hazm

Sebagai anak seorang wazir, masa kecilnya mendapat pendidikan yang baik dari para pengasuhnya. Mula-mula ia dibimbing baca tulis dan berlatih menulis tulisan indah arab (khat) dalam bimbingan para wanita istana. Dia juga belajar al-Qur’an dan menghafalkannya dari mereka.[9]
Ketika dewasa pendidikannya dipercayakan kepada Abu al-Husain al-Farisi, yang terkenal saleh, zahid dan tidak beristri. Al-Farisi yang mengarahkannya untuk belajar di majelis-majelis ta’lim di masjid-masjid Cordova. Di majelis ta’lim tersebut ia bertemu dan berdialog dengan guru dan pakar ilmu agama.Waktu itu suasana keilmuan sangat mendukung kemajuan intelektual Ibnu Hazm, karena Cordova sebagai ibu kota Spanyol telah berkembang menjadi kota administrasi dan pusat perkembangan ilmu pengetahuan dengan adanya perpustakaan dan universitas Cordova. Sementara Toledo menjadi pusat penerjemahan karya-karya Yunani seperti filsafat, ilmu kedokteran, ilmu pasti, ilmu alam dan matematika.

Dengan demikian, kondisi ini yang memberi peluang kepadanya untuk menambah ilmu pengetahuannya. Ibnu Hazm berguru kepada banyak ulama dari berbagai disiplin ilmu dan mazhab. Berbagai ilmu keislaman dikuasainya karena dia adalah ulama yang cerdas, kuat hafalannya dan mempunyai kemauan yang keras dalam mencari ilmu.

Dalam bidang hadis, bahasa dan teologi ia belajar kepada Ahmad ibn Muhammad ibn al-Jasur dan Yahya ibn Mas’ud ibn Wajah al-Jannah. Ketika al-Jasur meninggal, ia belajar hadis kepada Muhammad ibn Ishaq. Hampir semua ulama hadis yang tinggal di Cordova dan kota yang pernah ia singgahi pernah menjadi gurunya.[10]

Sedangkan Abu al-Qasim Abdul Rahman ibn Abi Yazid al-Azdi, selain menjadi gurunya dalam bidang hadis, juga mengajarinya ilmu nahwu, logika, ilmu kalam, dan cara menyusun kamus.[11]

Dalam bidang fiqh ia berguru kepada Abi Amr Ahmad ibn al-Husain, Yusuf ibn Abdullah (seorang hakim di Cordova), Abdullah ibn Rabi’ at-Tamimi dan Abi Amr al-Talmanki. Abdullah ibn Yahya ibn Ahmad ibn Dahun (mufti di Cordova) dan Ibnu Fardli.[12] Sedangkan gurunya yang bernama Khiyar al-Lughawi selain mengajarinya fiqh juga mengajarkan ilmu peradilan. Imam Sa’id al-Fata al-Ja’fari adalah gurunya mengenai komentar atau ulasan syair.[13]

Adapun yang menyebabkan Ibnu Hazm mendalami fiqih menurut riwayat Muhammad Ibni al Arabi adalah kesalahannya ketika dia masuk masjid untuk shalat janazah dia langsung duduk sebelum shalat tahiyyat al masjid sehingga dicela oleh hadirin. Setelah peristiwa tersebut dia belajar kitab al-Muwatta’ Imam Malik kepada al Faqih Abdulah bin Dahun selama tiga tahun.

Ketika mempelajari fiqih, Ibnu Hazm memulai dengan belajar fiqih Maliki yang menjadi madzhab resmi negara. Selain belajar fikih madzhab Maliki dipelajari juga fikih madzhab lainnya, Ibnu Hazm juga membaca kitab Syafi’i yang mengkritik Imam Malik dalam masalah ushul dan furu’ yaitu Ikhtilaf al-Malik.[14]

Dari pengalaman belajarnya inilah dia pindah dari madzhab Maliki ke madzhab Syafi’i, pemahamannya terhadap madzhab Syafi’i membuat dia kagum terhadap prinsip-prinsip yang dipegang oleh Imam Syafi’i, sehingga menjadikannya orang yang fanatik berpegang teguh pada madzhab tersebut. Diantara hal yang membuatnya kagum terhadap fiqih Syafi’i adalah sikap memegang teguhnya nash dan menolak keras terhadap istihsan dan maslahah mursalah. Ibnu Hazm kembali tidak puas, akhirnya Ibnu Hazm berpindah madzhab dan lebih condong kepada madzhab azh-zhahiriyyah dengan Imamnya Daud bin Ali bin Khalaf al-Asbuhani (202–270 H).

Madzhab ini berprinsip hanya berpegang pada nash semata, tidak ada perintah ataupun larangan kecuali dengan dasar nash. Kalau tidak ada nash baru di pakai Istishab. [15] Kepindahan Ibnu Hazm ke madzhab azh-zhahiri didukung oleh kondisi yang ada pada abad III H. Banyak Ulama Cordova yang belajar ke timur seperti Baghdad yang menjadi pusat dinasti Abbasiyah. Mereka tertarik kepada madzhab azh-Zhahiri setelah tidak puas dengan madzhab yang mereka pelajari dari fiqih Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali, ketertarikan mereka adalah karena madzhab azh-Zhahiri hanya terikat kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, di tangan merekalah madzhab azh-zhahiri berkembang di Andalusia.[16]

Karya-Karya Ibnu Hazm

Kitab-kitab karangan Ibnu Hazm seperti yang dikatakan oleh anaknya, Abu Rafi’i al-Fadl, mencapai 400 jilid yang terdiri dari 80.000 lembar. Tetapi karyanya yang paling monumental adalah kitab Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Ilmu Ushul Fikih; terdiri dari delapan jilid) dan kitab al-Muhalla (Ilmu Fikih; terdiri dari tiga belas jilid). Kedua kitab ini menjadi rujukan utama para pakar fikih kontemporer.

Karya-karyanya yang lain di antaranya adalah:
  1. Risalah fi Fada’il Ahl al-Andalus (Risalah tentang Keistimewaan Orang Andalus)
  2. al-Isal Ila Fahm al-Khisal al-Jami’ah li Jumal Syarai’ al-Islam (Pengantar untuk Memahami Alternatif yang mencakup Keseluruhan Syariat Islam)
  3. al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal (Garis Pemisah antara Agama, Paham dan Mazhab)
  4. al-Ijma’ (Ijmak)
  5. Maratib al-’Ulum wa Kaifiyah Talabuha (Tingkatan-Tingkatan Ilmu dan Cara Menuntutnya)
  6. Izhar Tabdil al-Yahud wa an-Nashara (Penjelasan tentang Perbedaan Yahudi dan Nasrani)
  7. dan at-Taqrib lihadd al-Mantiq (Ilmu Logika).


Selain menulis kitab mengenai ilmu-ilmu agama, Ibnu Hazm juga menulis kitab sastra. Salah satu karyanya dalam bidang sastra yang sangat terkenal adalah yang berjudul Thauq al-Hamamah (Di Bawah Naungan Cinta). Kitab ini menjadi karya sastra terlaris sepanjang abad pertengahan. Kitab yang berisikan kumpulan anekdot, observasi, dan puisi tentang cinta ini tidak hanya dibaca oleh kalangan umat Islam, tetapi juga kaum Nasrani di Eropa.

Dari uraian tentang karya Ibnu Hazm diatas, menunjukkan bahwa begitu luasnya ilmu pengetahuan Ibnu Hazm dan tidak hanya satu bidang saja tapi dalam berbagai bidang.

[1] Ibnu Hazm, al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal, Beirut: Dar al Fikr, 1317 H, hlm. 2
[2] Ibnu Hazm, al-Muhalla bil Atsar, Beirut: Dar al Fikr, t.th, hlm. 21
[3] Ibnu Hazm, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, 1998, hlm. 3
[4] Abu Zahrah, Ibnu Hazm Hayatuhu wa Ashruhu Ara’uhu wa Fiqhuhu, Kairo: Dar al-Fikr, 1997,
hlm. 19
[5] Abu Zahrah , Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1989, hlm. 515
6Abu zahroh, op. cit, hlm. 33
[6] Abu Zahrah, loc. cit, hlm. 518-520
[7] Muhammad Mojlum Khan, 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, Kube Publishing,
Ltd. 2010, hlm. 548
[8] Ibid, hlm. 552.
[9] Hasbi ash-Shidiqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997,
hlm. 556.
[10] Ibid
[11] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, cet-
1,1993, hlm. 391
[12] Hasbi al-Shiddieqy, op.cit, hlm . 556
[13] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.cit, hlm. 391
[14] Hasbi ash-Shidiqy, op.cit, hlm. 558
[15] Ibid, hlm. 557
[16] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, hlm. 608