Hapusnya Hak Penuntutan Pidana

SUDUT HUKUM | Kata “tindak pidana” merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda “straafbaarfeit“, namun pembentuk undang-undang di Indonesia tidak menjelaskan secara rinci mengenai “straafbaarfeit“.[1] Perkataan “feititu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”,
yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.[2]

Hapusnya Hak Penuntutan PidanaSeperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pembentuk undang-undang tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang ia maksud dengan perkataan “strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut., misalnya perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatanperbuatan yang dapat dihukum, hal-hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman serta tindak pidana.[3]

Dalam hubungan ini, Satochid Kartanegara lebih condong menggunakan istilah “delict” yang telah lazim dipakai.[4] R. Tresna menggunakan istilah “peristiwa pidana”.[5] Sudarto menggunakan istilah “tindak pidana”,[6] demikian pula Wirjono Projodikoro menggunakan istilah “tindak pidana” yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.[7] Akan tetapi Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana” yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.[8]

Dalam hubungannya dengan hapusnya hak penuntutan pidana, bahwa KUHP memuat 4 (empat) hal yang menyebabkan negara kehilangan hak untuk menuntut pidana terhadap si pembuat tindak pidana, yaitu:
  1. Sebab perbuatan yang telah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 76);
  2. Sebab meninggalnya si pembuat (pasal 77);
  3. Sebab telah lampau waktu atau kadaluwarsa (pasal 78-80);
  4. Penyelesaian di luar pengadilan, yaitu dengan dibayarnya denda maksimum dan biaya-biaya bila penuntutan telah dimulai (pasal 82: bagi pelanggaran yang hanya diancam pidana denda).


[1] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 5.
[2] P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984, hlm. 172.
[3] K. Wancik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007,hlm. 15.
[4] Satochid Kartanegara, tth, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, tk, Balai LekturMahasiswa, hlm. 74.
[5] R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Tiara Limit, t.th, hlm. 27.
[6] Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1990, hlm. 38.
[7] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung PT Eresco, 1986,hlm. 55.
[8] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 54.