Pengertian dan Dasar Hukum Mut’ah

SUDUT HUKUM | Mut’ah dengan mendhommahkan mim dan terkadang dibaca mit’ah dengan mengkasrah mim berarti sesuatu yang dijadikan sebagai objek bersenang-senang ( ما يستمتع به ). Secara divinitive, makna mut’ah adalah seperti yang disebutkan oleh Asy-Syarbayniy dalam kitabnya:

مال يجب على الزوج يجب دفعه لامراته المفارقة في الحياة بالطلاق

Harta yang wajib dibayar oleh suami kepada istrinya, yang berpisah akibat terjadinya thalaq.”[1]

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, mut’ah ialah sesuatu seperti uang, barang dan sebagainya yang diberikan suami kepada istri yang telah diceraikannya sebagai bekal hidup atau sebagai penghibur hati mantan istrinya.[2] Kata mut’ah berasal dari bahasa arab ( متاع ) yang berarti segala
sesuatu yang dapat dinikmati, dimanfaatkan dan digunakan. Nafkah mut’ah ialah suatu pemberian suami kepada istrinya sebagai ganti rugi atau penghibur hati istri karena telah diceraikan.[3]
Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada bekas suami kepada isteri yang dijatuhi talak. Kompilasi Hukum Islam menegaskan tentang pemberian mut’ah tersebut, bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla dukhul.[4]
Menurut al-Imam Taqiyuddin mut’ah adalah:
المتعة هي إسم للمال الذي يدفعه الرجل إلى امرأته لمفارقته إياها

Mut’ah adalah nama dari harta yang dibayar oleh laki-laki (suami) kepada wanita (istri) untuk berpisah”.[5]

Maksud qaul di atas yaitu, bahwa mut’ah adalah suatu sebutan untuk harta yang dibayar oleh suami kepada istrinya karena bercerai atau berpisah dengan istrinya. Berdasarkan pengertian dan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa mut’ah adalah sejumlah harta yang diberikan oleh mantan suami kepada mantan istrinya sebagai penghibur bagi mantan istri tersebut yang ditinggal suami karena terjadinya perceraian.

Pengertian dan Dasar Hukum Mut’ah

Dasar Hukum Mut’ah


Adapun landasan hukum tentang mut’ah bagi istri yang dicerai suaminya yaitu seperti yang terdapat dalam:

a) Al-Qur’an

Dan bagi perempuan-perempuan yang diceraikan hendaklah diberi mut’ah menurut cara yang patut, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang bertakwa”. (Q.S. al-Baqarah: 241)

Secara zahir, ayat di atas sesungguhnya menghendeki suami wajib memberi mut’ah, yaitu pemberian secara sukarela di samping nafkah kepada istri yang diceraikanny, hal itupun diakui oleh Ibnu Qudamah.[6]
Sejalan dengan ini, menurut riwayat yang disampaikan banyak oleh ulama Hanafiah, sesungguhnya Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa mut’ah itu wajib hukumnya untuk semuaistri yang dicerai, tanpa mempertimbangkan jenis maharnya dan sebab perceraiannya.[7]

b) As-Sunnah

Selain dalam al-Qur’an, dalam hadits juga terdapat penjelasan tentang wanita yang mendapatkan mut’ah karena dicerai. Seperti sabda Rasulullah:
حدثنا ابن المقدام أبو الأشعث العجلي، ثنا عبيد بن القاسم، هشام بن عروة، عن أبيه، عن عائشة أن عمرة بنت الجون تعوذت من رسول الله صلى الله عليه و سلم حين أدخلت عليه. فقال لقد عذت بمعاذ فطلقها. وأمر أسامة أو أنسا، فمتعها بثلاثة أثواب رازقية.

Ahmad bin al-Miqdam Abu al-Asy’ats al-Ijliy menceritakan kepada kami, ‘Ubaid bin Qosim menceritakan, Hisyam bin ‘Urwah menceritakan, dari ayahnya, dari Aisyah sesungguhnya ‘Amrah binta al-Jaun meminta perlindungan dari Rasulullah SAW ketika dia digauli olehnya. Lalu Rasul berkata sungguh engkau sudah berlindung kepada Mu’adz. Lalu beliau menceritakannya dan memerintahkan Usamah atau Anas agar memberikan mut’ah padanya dengan tiga kain linen putih.”[8]

c) Ijma’

Berdasarkan kesepakatan ( الاتفاق ) ulama, ada lima unsur nafkah yang wajib dipenuhi suami, yaitu makanan, lauk pauk, pakaian, tempat tinggal, perlengkapan kecantikan. Di samping itu, jika sebelumnya si isteri terbiasa memiliki pelayan, maka suami juga berkewajiban menyediakan pelayan baginya, sebagai bagian dari kewajiban nafkahnya. Segala kebutuhan pelayan itu sendiri juga menjadi kewajiban suami untuk memenuhinya.


[1] Syamsuddin Muhammad bin al-Khatib asy-Syarbayniy, Mughni al-Muhtaj, juz 3, Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1997, hlm. 317
[2] Sudarsono dan Nana Retno Ningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Semarang: CV. Widya Karya, 2005, hlm. 331
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Al-Usroh Wa Ahkamuha Fi Tasyri’ al-Islamiy, Terj. Abdul Majid Khon, Jakarta: Amzah, 2009, hlm. 207
[4] Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Pena Pustaka, tt, hlm. 140
[5] Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Bairut: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, hlm. 67
[6] Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, al-Mughni Fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal al- Syaibaniy, Bairut: Dar al-Fikr, 1405 H, hlm. 184
[7] Ibid, hlm. 182
[8] Abiy ‘Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwiniy, Sunan Ibn Majah, Mesir: Dar Ihya’il Kutub al-Arabiyyah, tt, hlm. 657.