Kedudukan Anak Luar Nikah Menurut Hukum Islam

SUDUT HUKUM | Kedudukan anak dalam Islam sangat tinggi dan mulia. Al-Quran memposisikan anak sebagai perhiasan dunia. Hal tersebut tercantum dalam surat al-Kahfi ayat 46 sebagai berikut:

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

Al-Quran juga menyebutkan anak sebagai hiburan sebagaimana tertera dalam surat al-Furqan ayat 74 sebagai berikut:

Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orangorang yang bertakwa.

Namun harus disadari pula bahwa predikat yang begitu mulia dan tinggi terhadap anak tersebut hanya dimiliki oleh anak yang berpredikat sebagai anak sah sebagai akibat dari pernikahan yang sah pula. Islam mengajarkan bahwa anak yang dilahirkan secara sah memiliki kedudukan yang baik dan terhormat. Ia memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya, sehingga antara anak dan orang tua tersebut timbul hak dan kewajiban.

Kedudukan Anak Luar Nikah Menurut Hukum Islam

Anak berkewajiban menghormati dan mentaati orang tuanya sepanjang tidak diperintah untuk berbuat maksiat. Sebaliknya, orang tua berkewajiban mendidik dan menafkahi anak sesuai dengan perkembangan anak itu sendiri.

Orang tua wajib memberikan hak anak secara total, baik hak penjagaan dan pemeliharaan, hak nasab, hak nama baik, hak penyusuan, pengasuhan, warisan bahkan pendidikan dan pengajaran. Islam tidak membenarkan menghubungkan nama anak kepada selain bapaknya, meskipun anak angkat kepada bapak angkat. Allah menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya sebagai berikut:

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Nabi SAW bersabda :

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi’ dan Abd bin Humaid, Ibnu Rafi’ mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razaq telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari az-Zuhri dari Ibnu Musayyab dan Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: seorang anak adalah untuk pemilik ranjang, sedangkan orang yang menzinai tidak mempunyai hak atasnya.”

Hadits di atas menunjukkan bahwa anak yang lahir dari pernikahan yang sah dihubungkan nasabnya kepada bapaknya. Implikasi dari hubungan nasab tersebut otomatis membuat anak tersebut memiliki hubungan keperdataan dengan bapak sehingga ia berhak mendapatkan waris, nafkah, perwalian serta hak keperdataan lainnya. Sebaliknya anak yang lahir di luar pernikahan yang sah tidak tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada bapaknya namun hanya kepada ibu dan keluarga ibunya.115 Hal tersebut senada dengan yang tercantum dalam Undang- Undang Perkawinan pasal 43 ayat (1) jo. Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Oleh karena anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan nasab dengan bapak dan keluarga bapaknya sehingga anak tersebut tidak berhak atas waris, nafkah, perwalian serta hak keperdataan lainnya.

Ibnu Hazm menegaskan bahwa anak yang lahir akibat perzinaan hanya ada hubungan saling mewarisi dengan ibu kandungnya. Ia juga hanya mempunyai hak-hak seperti perlakuan baik, pemberian nafkah, hubungan kemahraman dan berbagai ketentuan hubungan hukum lain dengan ibu kandungnya saja. Para ulama sepakat bahwa anak yang lahir akibat perzinaan berkedudukan sebagai orang lain dengan bapak biologisnya, sehingga ia tidak dapat saling mewarisi dan tidak dapat dihubungkan nasabnya dengan bapak biologisnya. Selain itu, bapaknya juga tidak berkewajiban untuk memberi nafkah, tidak diperkenankan untuk duduk berduaan serta tidak bisa menjadi wali nikah bagi anak perempuan zinanya.

Aturan tersebut sangat berbeda dengan konsep yang dipakai dalam hukum perdata. Anak yang dilahirkan di luar nikah selain anak zina dan anak sumbang dapat diakui sebagai anak sah apabila anak tersebut mendapat pengakuan. Pengakuan tersebut tentu melahirkan status baru bagi anak tersebut karena dengan adanya pengakuan oleh kedua orang tua biologisnya maka muncullah status dan hak anak di hadapan hukum. Anak yang sebelumnya tidak memiliki hak apapun terhadap ayah dan ibunya menjadi memiliki hak waris dan hak keperdataan lainnya.

KUH Perdata membagi anak luar kawin menjadi tiga bagian, yaitu anak zina, anak sumbang dan anak luar kawin yang dapat diakui. Seorang anak mendapat status sebagai anak zina adalah apabila ia dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan perempuan yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan dengan orang lain. Sedangkan anak sumbang adalah anak yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara lakilaki dan perempuan yang terlarang untuk melakukan pernikahan.

Dalam KUH Perdata disebutkan bahwa anak zina maupun anak sumbang itu tidak dapat diakui oleh kedua orang tua biologisnya. Anak zina dan anak sumbang dianggap tidak mempunyai orang tua secara yuridis, sehingga menjadikan mereka tidak mempunyai hak keperdataan apapun kepada orang tua biologisnya, baik ayah maupun ibu kandungnya. Mereka tidak mendapatkan bagian warisan apabila orang tuanya meninggal. Bahkan mereka hanya berhak untuk mendapatkan hak nafkah hidup seperlunya berdasarkan kemampuan ayah dan ibu serta ahli waris yang sah menurut undang-undang.

Sementara anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan di luar ikatan perkawinan yang sah selain anak zina dan anak sumbang. Anak dalam kategori ini dapat dianggap sebagai anak sah apabila dilakukan pengakuan terhadapnya. Karena dianggap sebagai anak sah, maka ia memiliki hubungan keperdataan dengan bapak dan ibu biologisnya setelah adanya pengakuan dari keduanya. Pengakuan anak yang telah dilakukan oleh orang tua biologis tidak hanya berakibat pada munculnya hak waris bagi anak terhadap ayah atau ibunya, namun juga dapat menimbulkan hak waris bagi ayah atau ibu terhadap anak tersebut apabila anak tersebut meninggal terlebih dahulu.

Anak sah dan anak luar kawin yang diakui sama-sama memiliki hak terhadap harta peninggalan orang tua, hak saissane, hak heredetatis petition dan hak untuk menuntut pemecahan warisan. Akan tetapi diantara keduanya terdapat perbedaan yaitu anak luar kawin meskipun telah diakui, namun kedudukan mereka hanya dibawah perwalian orang tua mereka, hak bagian warisan mereka berbeda dengan bagian anak sah dan mereka tidak memiliki hubungan apa-apa selain dengan orang tua yang mengakuinya saja.