Kedudukan Hukum Pelaku Transeksual dalam Kewarisan Islam

SUDUT HUKUM | Kedudukan hukum pelaku transeksual sangat ditentukan oleh hukum transeksual. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa hukum transeksual-bagi operasi alat kelamin yang jelas dan normal- dalam Islam adalah haram, maka hasil transeksual (operasi kelamin) tidak diakui. Pelaku transeksual wanita merubah kelamin menjadi pria, dalam Islam kedudukan hukum sebagai pria tidak diakui. Dalam hal ini yang bersangkutan tetap diakui sesuai dengan kelamin sebelum melakukan transeksual. Demikian pula sebaliknya pria yang melakukan transeksual menjadi wanita, kedudukan hukumnya tetap diakui sebagai pria.

Kedudukan Hukum Pelaku Transeksual dalam Kewarisan Islam


Kedudukan hukum pelaku transeksual tetap sesuai dengan jenis kelaminnya sebelum melakukan transeksual, sebagaimana dinyatakan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 1 Juni 1980, keputusan nomor 2, “Orang yang kelaminnya diganti kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum dirubah.”14 Demikian pula hal ini dipertegas melalui musyawarah nasional MUI tanggal 27 Juli 2010 di Jakarta, sebagaimana disampaikan oleh sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh: “Karena keabsahannya tidak boleh ditetapkan, maka kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi kelamin tetap dengan jenis kelamin semula seperti sebelum operasi. Tanpa kecuali bagi mereka yang sudah mendapat penetapan pengadilan,”.
Memperhatikan kedudukan hukum pelaku transeksual tetap diakui sesuai dengan jenis kelamin semula sebelum operasi kelamin, maka bagi transgender pria yang merubah kelaminnya menjadi wanita, dalam kewarisan Islam kedudukan hukumnya tetap diakui sebagai ahli waris pria. Demikian pula sebaliknya, transgender wanita yang melakukan operasi kelamin menjadi pria, dalam kewarisan Islam kedudukan hukumnya tetap diakui sebagai ahli waris wanita.
Demikian pula dinyatakan dalam buku Kajian Fiqh Kontemporer: Apabila sifat dan tujuan operasi kelaminnya itu tabdil/taghyiril khilqah (merubah ciptaan Allah) dengan jalan operasi penggantian jenis kelamin dari pria menjadi wanita atau sebaliknya, maka status jenis kelaminnya tetap, tidak berubah, sehingga kedudukannya sebagai ahli waris tetap berstatus dengan jenis kelaminnya yang asli pada waktu lahirnya. Karena itu, seorang wanita yang melakukan operasi ganti kelamin menjadi pria, tidak berhak menuntut bagian warisannya sama dengan bagian pria, sebab ia menurut hukum tetap berstatus sebagai wanita.
Sedangkan bagi pelaku operasi kelamin dalam rangka untuk tahsin/takmil, hanya untuk memperbaiki atau menyempurnakan jenis kelaminnya saja, maka kedudukan hukumnya dalam kewarisan Islam sesuai dengan jenis kelaminnya setelah operasi. Pengakuan kedudukan hukum jenis kelamin sesuai dengan hasil operasi kelamin, mengingat operasi kelamin yang dilakukan dalam rangka perbaikan atau penyempurnaan jenis kelamin. Hal ini juga ditegaskan dalam fatwa MUI tahun 1980, diktum nomor 3 menyatakan: “Seorang khuntsa (banci) yang kelaki-lakiannya lebih jelas boleh disempurnakan kelaki-lakiannya. Demikian pula sebaliknya dan hukumnya menjadi positif (laki-laki).