Komisi Yudisial di Belanda

SUDUT HUKUM | Sebagai sebuah negara monarki, Belanda tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara mutlak. Independensi dalam peradilannya juga tidak absolut. Jaminan konstitusional terhadap hakim sebenarnya bersifat tidak langsung karena dalam memutus perkara, hakim tidak bebas dan terikat pada hukum yang berlaku. Inti dari independensi peradilan di Belanda adalah hakim-hakim tunduk pada hukum dalam memutus perkara dan tidak dapat dipengaruhi (secara fungsional) oleh kekuasaan lainnya
seperti legislatif atau eksekutid. Dalam batas tertentu lembaga peradilan bergantung pada kekuasaan negara lainnya.
KY di Belanda dikenal dengan nama Raad Voor de Rechtspraak atau Netherland Council for Juficiary (NCJ). Nama tersebut diatur dalam Netherland Judicial Act 1827, section 83a repealed on 1/1/2002, Part 6. Lembaga ini dibentuk dengan tujuan sebagai lembaga independen yang mengatasi beberapa masalah yang dihadapi peradilan Belanda, termasuk
di antaranya persoalan anggaran.Tugas dan wewenang NCJ secara garis besar dibagi menjadi dua bagian, yakni tugas wajib dan tugas lainnya.
  • Tugas Wajib (Statutory tasks),

  1. Persiapan anggaran peradilan.
  2. Alokasi dana kepada peradilan.
  3. Dukungan operasional.
  4. Dukungan untuk rekrutmen dan prosedur seleksi.
  5. Peningkatan kualitas dan kesatuan hukum.
  6. Tugas pembunaan secara umum untuk peraturan baru.

  • Tugas lainya (Non-Statutory Tasks),

  1. Juru bicara lembaga peradilan.
  2. Kerjasama internasional.

Secara umum tugas dan fungsi KY Belanda dapat dirinci ke dalam empat kelompok. Kelompok pertama meliputi urusan eksternal, pelayanan kepada publik, kerjasama yudisial, manajemen personalia, kebijakan pemilihan hakim, kebijakan penelitian, pemberian nasihat kepada Departemen Kehakiman, dan kebijakan kualitas. Kelompok kedua meliputi akomodasi dan keamanan, otomatisasi, administrasi organisasi, dan penyediaan informasi administratif. Kelompok ketiga, meliputi kebijakan anggaran, tata cara pendistribusian anggaran, dan justifikasi pembelanjaan anggaran. Kelompok keempat meliputi wewenang korektif atas pendisiplinan, wewenang pengajuan calon dalam proses pengangkatan hakim, dan kenaikan pangkat serta penempatan hakim.
Di indonesia, pengawasan hakim dalam bagian tertentu memiliki kesamaan dengan model Perancis, tidak lagi terdapat keterlibatan departemen kehakiman (eksekutif) ataupun inpektorat jenderal serta parlemen. Tertapi secara internal, terdapat pengawasan berjenjang dari dari pengadilan terendah, banding dan bermuara ke MA, serta terdapat badan khusus yang didesain untuk melakukan pengawasan, yaitu Badan Pengawas Hakim. Bersejajaran dengan pengawasan internal, terdapat pengawasan eksternal, oleh KY dan KON.
Dengan demikian prinsip-prinsip KY yang diperbandingkan tidaklahberbeda dengan kecenderungan yang berkembang di beberapa negara pada umumnya. KY yang berkembang di beberapa negara seperti yang dibahas di atas ditambah Indonesia dengan berbagai variannya, menurut penulis telah berada pada track yang benar, berupaya untuk

mewujudkan peradilan yang independen, bersih, dan akuntabel.