Sejarah Penyusunan Qanun NAD tentang Pelaksanaan Syari’at Islam

SUDUT HUKUM | Propinsi Daerah Istimewa Aceh merupakan bagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sejak awal sudah didiami secara turuntemurun oleh suku Aceh, suku Gayo, suku Alas, suku Aneuk Jameie, suku Tamiang, suku Kluet, suku-suku di berbagai kepulauan, dan suku lain, yang dalam perkembangan selanjutnya dihuni oleh para pendatang.
Penduduk Nangroe Aceh Darussalam adalah masyarakat yang menjunjung tinggi ajaran agama Islam, teguh dalam aqidah dan taat dalam menjalankan syari’at Islam, sebagaimana dapat disimpulkan dalam makna suatu ungkapan “Adat bak Po Teumeureuhom; hukom bak Syiah Kuala’’(Hukum Adat di tangan Pemerintahan ,Hukum Syari’at ada di Tangan Ulama) sebuah ungkapan yang mencerminkan perwujudan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sultan Aceh Darussalam yang bertukar silih berganti semuanya taat menjalankan fatwa ulama dalam melaksanakan syari’at Islam, dengan datangnya penjajahan Belanda pada tahun 1873 yang menaklukan kesultanan Aceh berikut dengan hukum syari’atnya.

Sejarah Penyusunan Qanun NAD tentang Pelaksanaan Syari’at Islam

Setelah Indonesia merdeka, rakyat Aceh yang diwakili oleh para ulama’nya memperjuangkan agar Pemerintah Republik Indonesia dapat mengundangkan berlakunya syari’at Islam secara kaffah bagi rakyat Aceh, usaha tersebut membuahkan hasil meskipun dalam kewenangan yang terbatas dalam bidang hukum kekeluargaan saja yaitu dengan diundangkan peraturan pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 tentang Peradilan Agama atau Mahkamah Syari’ah yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, maka penyebutan nama yang berbeda-beda atas lembaga peradilan ini seperti tersebut di atas diseragamkan dan disederhanakan dengan sebutan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dengan tanpa merubah kewenangannya.
Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada masa lalu yang menitikberatkan pada sistem yang terpusat dipandang sebagai sumber bagi munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangasa dan bernegara, kondisi yang demikian ini menimbulkan pergolakan dimasyarakat Aceh, hal ini kemudian direspon oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan suatu perubahan kebijakan penyelenggaraan pemerintah daerah bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagaimana ditetapkan dalam:
  • Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1999 telah mengamanatkan dalam ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999, antara lain memberikan otonomi khusus kepada Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
  • Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000 telah dilakukan perubahan kedua terhadap undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara lain dalam pasal 18B ayat (1) mengakui dan menghormati satuan–satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang, dan
  • Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 telah merekomendasikan agar undang-undang tentang otonomi khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dapat dikeluarkan selambat-lambatnya bulan Mei 2001.

Akibat kasus Aceh yang berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia, maka pemerintah bersikap tegas dalam menyelesaikan kasus Aceh ini.

Desain awal Pemerintah yang dipakai dalam menyelesaikan kasus Nangroe Aceh Darusalam adalah membawa wilayah paling Barat Indonesia ini menjadi Nangroe Aceh Darusalam sebagai Propinsi yang memiliki otonomi khusus.
Yang membedakan kebijakan otonomi khusus dari kebijakankebijakan yang lain adalah bahwa Nangroe Aceh Darusalam diberi Keleluasaan mengatur sendiri “kultur dan agamanya.” Kongkritnya di Nangroe Aceh Darussalam syari’at Islam boleh diberlakukan.
Karena hukum Islam merupakan satu diantara kewajiban yang harus ditegakan oleh setiap muslim yang tidak terikat oleh batas negara, maka hukum Islam merupakan Hukum Internasional bukan Regional, oleh karena itu diberlakukan syari’at Islam di Nangroe Aceh Darussalam adalah sebagai akibat dari dikeluarkannya undang-undang tentang penyelenggaraan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh 4 Oktober 1999 yang lalu, Aceh diberi predikat Istimewa dalam hal kehidupan beragama dengan harapan penerapan syari’at Islam menjadi salah satu obat untuk menyembuhkan luka Aceh yang telah lama akibat ekploitasi kekayaaan Aceh ke Jakarta.

Maka pada tanggal 1 Muharam 1424 Hijriyah ini, bertepatan dengan 4 Maret 2003, telah diumumkan berlakunya syari’at Islam di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (PNAD) sesuai dengan UU Nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nangroe Aceh Darussalam.
Dengan berlandaskan kepada dasar hukum dan nilai sejarah di atas, maka untuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dipandang perlu untuk mendapatkan kesempatan menyelenggarakan pemerintahan daerah dalam bentuk otonomi khusus bagi Propinsi Nangroe Aceh Darussalam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, undang-undang ini kemudian disebut “undang-undang tentang otonomi khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nangroe Aceh Darussalam ”. Undang-undang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan pemerintahan daerah, selain sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Hal mendasar dari undang-undang ini adalah pemberian kesempatan yang lebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya Alam dan sumber daya Manusia, menumbuhkembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Nagroe Aceh Darussalam dalam memajukan penyelenggaraan Pemerintahan di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam dan mengaplikasikan syari’at Islam dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk melaksanakan berbagai kewenangan dalam rangka kekhususan, pemerintah membuka peluang untuk meningkatkan penerimaan Pemerintah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam termasuk kemungkinan tambahan penerimaan selain yang telah di atur dalam undang-undang. Undang-undang ini menitikberatkan pada otonomi khusus pada Propinsi Nagroe Aceh Darussalam yang pelaksanaanya diletakkan pada daerah kabupaten dan kota atau nama lain secara Proposional. Kekhususan ini merupakan peluang yang berharga untuk melakukan penyesuaian struktur, susunan, pembentukan dan penamaan pemerintahan di tingkat lebih bawah yang sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai-nilai luhur masyarakat Aceh, diatur dalam peraturan daerah yang disebut dengan Qanun.
Qanun Propinsi Nagroe Aceh Darussalam adalah peraturan daerah Propinsi Nagroe Aceh Darussalam, yang dapat menyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis dan Mahkamah Agung yang berwenang melakukan uji materiil terhadap Qanun.
Pemberlakuan syari’at Islam yang terkumpul dalam qanun ini adalah melalui Mahkamah Syari’ah (MS) yang berwenang memeriksa perkara-perkara umat Islam di propinsi tersebut berdasarkan hukum Islam yang berlaku di Indonesia dalam kontek hukum nasional, peraturan perundangundang ini disusun dalam bentuk qanun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (DPRD PNAD) dan pemerintah Daerah PNAD sebagaimana yang di tetapkan dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Propinsi Daerah Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, serta peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan syari’at Islam, undang-undang tersebut merupakan pelaksanaan dari undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nagroe Aceh Darussalam.
Dari qanun-qanun ini mahkamah Syari’ah akan mempunyai wewenang dalam hukum perdata di luar dari yang sudah menjadi wewenang perdata khusus ditambah dengan kewenangan dalam bidang pidana yaitu perkara-perkara perdata dan pidana seperti yang diatur dalam qanun-qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam untuk warga negara yang beragama Islam. Sedangkan perkara-perkara perdata dan pidana yang tidak atau belum diatur qanun-qanun akan tetap menjadi wewenang peradilan umum.

Rujukan:
  • Kacung Marijan (ed) dalam Opini “Grand Design Aceh Pasca Perang” Jawa Pos, Rabu 13 Agustus 2003,
  • Ok Mirza, (eds), Menghidupkan Islam di Banda Aceh, Rubrik Khusus Suara Hidayatullah, 08/xii/ Desember 1999
  • Rifyat Ka’bah, Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh, dalam Suara Uldilag, Jakarta, Pokja Perdata Agama, MA-RI, 2003.