Hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW

SUDUT HUKUM | Maulid harus diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan umat. Yakni, sebagai semangat baru untuk membangun nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat madani (Civil Society) yang merupakan bagian dari demokrasi seperti toleransi, transparansi, anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan, pluralisme, keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme.

Dalam tatanan sejarah sosio antropologis Islam, Muhammad dapat dilihat dan dipahami dalam dua dimensi sosial yang berbeda dan saling melengkapi.

Pertama, dalam perspektif teologis-religius, Muhammad dilihat dan dipahami sebagai sosok nabi sekaligus rasul terakhir dalam tatanan konsep keislaman. Hal ini memposisikan Muhammad sebagai sosok manusia sakral yang merupakan wakil Tuhan di dunia yang bertugas membawa, menyampaikan, serta mengaplikasikan segala bentuk pesan “suci” Tuhan kepada umat manusia secara universal.

Hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW



Kedua, dalam perspektif sosial-politik, Muhammad dilihat dan dipahami sebagai sosok politikus andal. Sosok individu Muhammad yang identik dengan sosok pemimpin yang adil, egaliter, toleran, humanis, serta non-diskriminatif dan hegemonik, yang kemudian mampu membawa tatanan masyarakat sosial Arab kala itu menuju suatu tatanan masyarakat sosial yang sejahtera dan tentram.

Tentu, sudah saatnya bagi kita untuk mulai memahami dan memperingati Maulid secara lebih mendalam dan fundamental, sehingga kita tidak hanya memahami dan memperingatinya sebatas sebagai hari kelahiran sosok nabi dan rasul terakhir yang sarat dengan serangkaian ritual-ritual sakralistik-simbolik keislaman semata, namun menjadikannya sebagai kelahiran sosok pemimpin.
Karena bukan menjadi rahasia lagi bila kita sedang membutuhkan sosok pemimpin bangsa yang mampu merekonstruksikan suatu citra kepemimpinan dan masyarakat sosial yang ideal, egaliter, toleran, humanis dan nondiskriminatif, sebagaimana dilakukan Muhammad untuk seluruh umat manusia.

Kontekstualisasi peringatan Maulid tidak lagi dipahami dari perspektif keislaman saja, melainkan harus dipahami dari berbagai perspektif yang menyangkut segala persoalan. Misal, politik, budaya, ekonomi, maupun agama.

Memperingati kelahiran nabi sudah menjadi keharusan bagi kita sebagai rasa tasyakkurkepada jasanya yang tiada tara. Dan mencintai Nabi sepenuh hati adalah suatu hal yang niscaya. Perjuangan tulus serta kesabaran beliau dalam mengangkat harkat dan martabat manusia dan rengkuh jahiliyah menjadi perasasti suci yang tidak boleh kita lupakan. Beliau adalah sosok yang sakral dari dosa, sang pujaan, kekasih dan embun yang diutus ditengah gersangnya kehidupan dan ditenggah carut marut terporak porandanya poralitas manusia.

Maulid nabi muhammad SAW atau molodan sudah menjadi tradisi yang dirayakan oleh umat islam dengan penuh gegap gempita. Dan simbolisasi yang paling melekat dimasyarakat lazim dipenuhi dengan aneka buah-buahan sebagai pengejahantahan rasa syukur atas kehadiran beliau ketengah-ketengah umat manusia dalam menyelamatkan mereka dari peradaban jahiliyah menuju peradaban ilmiyah dan dengan suasana penuh kedamaian, persamaan dan persaudaraan dengan pancaran agama islam.

Idealnya, rasulullah telah mampu mengembalikan kesejatian hidup pada realitas yang sesungguhnya dengan menjadikan umat manusia berakhlak mulia, hal ini sesuai dengan sabdanya, sesunguhnya aku diutus tiada lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia ( H.R. Muslim )

sebenarnya dibalik perayaan itu menyimpan pesan teologis sebagai berkah dan hidayahtoh walaupun perayaan tersebut bersifat cerimonial. Sebab disadari atau tidak persoalan kemiskinan tindak anarkis penguasa dan carut marut moralitas manusia akan lenyap dengan sendirinya jika lantunan shalawatun nabi menjadi pijakan dasar dan tidak sekedar dibaca di Langgar, Musolla dan di Masjid akan tetapi dengan bacaan diba’an diharapkan mampu membaca ulang sejarah perjuangan dan kehidupan beliau dalam menjalani kehidupan yang senantiasa berjuang demi kemaslahatan umat.

Sekali lagi memuliakan kelahiran nabi tidak cukup dengan memperbanyak puji-pujian seperti apa yang terjadi dimasyarakat sekarang namun yang sangat urgen juga kita harus bisa menjadikan bulan maulid nabi ini sebagai moment strategis untuk introspeksi diri dan hijrah dari yang tidak baik menuju hal-hal yang diridhai-Nya tentunya dengan meneladani segala sifatnya, shiddiq, amanah, tabligh, fathanah demikian juga sabar dan ikhlas dalam beramal. Karena kesuksesan nabi dalam memperjuangkan agama Allah bukan karena ketampanan dan kekayaan yang beliau miliki kecuali karena sifat itu selalu menjadi pijakan dalam hidupnya.

Makna Maulid Nabi yang dalam dunia kita terus diperingati setiap tanggal kelahiran beliau bukan lagi sebuah kesemarakan seremonial, tapi sebuah momen spiritual untuk mentahbiskan beliau sebagai figur tunggal yang mengisi pikiran, hati dan pandangan hidup kita.

Dalam maulid kita tidak sedang membikin sebuah upacara, tapi perenungan dan pengisian batin agar tokoh sejarah tidak menjadi fiktif dalam diri kita, tapi betul-betul secara kongkrit tertanam, mengakar, menggerakkan detak-detak jantung dan aliran darah ini.

Maka seperti al-Ayyubi yang menghadirkan Nabi Muhammad di medan perang kita mesti menghadirkan beliau dalam ruang hidup yang lain. Tidak hanya dalam bentuk cerita-cerita yang mengagumkan, tapi juga semangat keteladanan dalam menjalani realitas hidup ini.(*)