Keberadaan Konstitusi

SUDUT HUKUM | Konstitusi dalam konteks hukum tata negara merupakan hukum yang tertinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi merupakan sumber legitimasi terhadap otoritas suatu pemerintahan untuk menjalankan fungsinya. Keberlakuan kostitusi terletak pada kesepakatan umum atau persetujuan di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.


Konstitusi terkait dengan keberadaannya sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan pada kedaulatan yang dianut oleh suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat maka sumber legitimasinya itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Keberlakuan tersebut sering disebut sebagai constituent power yang merupakan kewenangan di luar dan sekaligus di atas system yang diaturnya.


Menurut C.F Strong Constitusion is a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted”. Artinya, konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan:

  • Kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas),
  • Hak-hak dari yang diperintah,
  • Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di dalamnya masalah hak asasi manusia).

Indonesia mengatur penyelenggaraan dan hubungan yang dimaksud oleh C.F Strong dalam UUD 1945. UUD 1945 secara umum mengatur kekuasaan dan fungsi lembaga-lembaga negara, hubungan di antara mereka, dasar negara, hak asasi manusia, dan kewajiban warga negara. Menurut Jimly Asshidiqie, UUD 1945 di samping sebagai konstitusi politik, juga merupakan konstitusi ekonomi karena memuat ketentuan yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Selain itu, Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan RI juga menetapkan bahwa UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan RI.


Memang tidak dapat dipungkiri bahwa adanya konfigurasi politik, yang dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan para pelaku politik, juga berpengaruh terhadap produk hukum suatu negara. Bahkan Mahfud dalam studinya menyatakan bahwa jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik atau sebaliknya, maka paling tidak ada tiga macam jawaban dapat menjelaskannya, sebagai berikut:

Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk kepada hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.”


Dalam studinya tersebut, Mahfud mengambil perspektif yang kedua. Dalam hubungan tolak tarik antara politik dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum. Hukum dalam proses pembuatannya lebih terpengaruh kepada kepentingan politiknya sehingga dikatakan konsentrasi energi politik lebih besar daripada hukum.


Namun demikian, harus diakui pula bahwa dalam melaksanakan kehidupan bernegara sehari-hari, setiap orang baik para pelaku politik dalam negara hukum, akan terikat dengan sistem yang telah diatur dalam konstitusi. Karena konsep negara hukum atau yang dikenal dengan konsep rule of law dinegara-negara yang berlaku sistem Anglo Saxon dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan penguasa negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas rakyatnya (abuse of power, abuse de droit).


Dalam negara hukum, sistem bernegara yang terdiri dari sistem pembagian kekuasaan, perlindungan hak-hak asasi manusia, dan hal-hal lain yang mengenai pengambilan keputusan publik dan interaksi antara keseluruhan institusi-institusi politik yang ada, diatur dalam suatu konstitusi. Penyelenggara negara mendasarkan tugasnya berdasarkan konstitusi. Bahkan karena hak untuk menyatakan pendapat dan berserikat sebagai bagian dari HAM juga diatur dalam konstitusi, maka institusi yang tumbuh dalam masyarakat yang memiliki peranan politik seperti pers dan pressure groups/interest groups juga akan ditentukan keberadaan dan peranannya dalam konstitusi.


Berkaitan dengan hal ini, Miriam Budiardjo20 menyatakan bahwa dalam gagasan konstitusionalisme, undangundang dasar dianggap sebagai suatu lembaga yang mempunyai fungsi khusus, yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintah di satu pihak dan menjamin hak-hak asasi warga negaranya di lain pihak. Konstitusi dianggap sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil “Government by laws, not by men”.


Lebih lanjut lagi, E.C.S Wade juga menyatakan bahwa konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Dengan demikian, perilaku politik yang terjadi dalam suatu negara akan sangat dipengaruhi oleh konstitusi. Berdasarkan argumentasi yang telah dikemukakan, konstitusi merupakan hal yang terpenting dalam negara hukum, sehingga pelaksanaan pemerintahan negara dilandasi atau sangat dipengaruhi oleh ketentuan dalam UUD 1945.


Konstitusi sendiri dalam perkembangannya dibagi dalam dua bentuk, yaitu konstitusi yang fleksibel dan kosnstitusi kaku. Konstitusi kaku dapat dilihat dari proses perubahannya yang tidak memerlukan prosedur khusus atau syarat yang ketat untuk melakukan perubahan. Sedangkan konstitusi kaku merupakan konstitusi yang perubahannya memerlukan proses khusus untuk merubahnya yang dimuat dalam konstitusi itu sendiri.


Inggris yang konstitusinya dikatakan fleksebel, dapat dilihat dari peroses untuk mengubah konstitusi berada di tangan parlemen. Kekuasan parlemen yang tidak terbatas memberi ruang gerak kepada parlemen sehingga tidak ada kekuasaan dalam negara yang membatasinya. Parlemenlah yang memutuskan konstitusi diubah atau dibatalkan begitu juga dengan penafsiran hakim dapat dikatakan salah oleh parlemen. Dengan supremasi parlemen tersebutlah sehingga dapat dilihat konstitusi suatu negara fleksibel atau kaku.


Sedangkan UUD yang kaku biasanya menganut supremasi konstitusi yang dibuat oleh suatu konstituante sehingga kekuasan parlemen berada dibawah kekuasaan konstitusi. Untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi diperlukan proses khusus yang diatur secara ketat dalam UUD yang bertujuan agar perubahan konstitusi tidak terlalu sering terjadi. Untuk melakukan perubahan konstitusi sendiri ada beberapa metode utama yang digunakan dalam konstitusi modern, yaitu:

  1. Melalui lembaga legislatif biasa, tetapi di bawah batasan-batasan tertentu;
  2. Melalui rakyat lewat referendum;
  3. Melalui suara mayoritas dari seluruh unit pada negara federal;
  4. Melalui konvensi istimewa.

Pada umumnya hanya ada dua metode yang sering digunakan dari keempat metode diatas. Pertama, dilakukan oleh lembaga legislatif menurut batasanbatasan khusus dan yang kedua yaitu dilakukan oleh rakyat dalam situasi khusus, sedangkan dua metode lainya digunakan pada negara federal. Masing-masing metode tersebut dapat dilihat dari bentuk negara dimana konstitusi tersebut berlaku.


Rujukan:

Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konpress, Jakarta,
Dahlan Thaib, 2008, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta,
Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, 2009, Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Implementasi, Rajawali Pers, Jakarta,
C.F. Strong, 2010, Konstitusi-Konstitusi Politik Moderen Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk (diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie), Nusa Media, Jakarta,
Munir Fuadi, 2009, Teori Negara Hukum Moderen, Refika Aditama, Jakarta,
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, PT Gramedia, Jakarta,
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum Di Indonesia Edisi Revisi, Rajawali Pers,

Jakarta,