Macam-macam sanksi Ta’zir yang Berupa Harta

SUDUT HUKUM | Ibn Taimiyah membagi sanksi ta’zir berupa harta menjadi tiga bagian, yaitu menghancurkannya, mengubahnya dan memilikinya. Contohnya, Umar menumpahkan harta dagangan yakni susu yang dicampur dengan air untuk menipu pembeli.

Ulama berpendapat bahwa itlaf al-mal itu bukan dengan cara menghancurkan, melainkan diberikan kepada fakir miskin bila harta tersebut halal dimakan.

Contoh sanksi ta’zir yang berupa mengubah milik penjahat antara lain mengubah patung yang disembah oleh muslim dengan cara menghilangkan kepalanya.

Contoh sanksi ta’zir berupa pemilikan harta penjahat adalah keputusan Rasulullah melipatgandakan harta buah-buahan yang dicuri oleh seorang pencuri sebagai denda.

Dengan demikian, maka di kalangan ahli hukum Islam dikenal adanya sanksi denda dalam ta’zir ini dan kadang-kadang ia sebagai hukuman pokok dan kadang-kadang sebagai hukuman tambahan. Namun, para ulama tidak menentukan batas tertinggi dan terendah dalam sanksi ta’zir berupa harta. Dari contoh diatas bahwa sanksi ta’zir yang berupa harta diancamkan kepada jarimah-jarimah yang berkaitan dengan harta atau yang bernilai harta. Tetapi, ada juga yang berpendapat bahwa jarimah yang berkaitan dengan harta dapat dijatuhi hukuman penjara.

Macam-macam sanksi Ta’zir yang Berupa Harta



Setelah mengetahui yang dikemukakan Ibn Taimiyah tentang pembagian sanksi ta’zir berkaitan dengan harta, maka salah satu bentuk pemilikan harta itu adalah denda. Sanksi denda ini bisa merupakan hukuman pokok yang dapat digabungkan dengan sanksi lainnya. Hanya saja syari’at tidak menentukan batas tertinggi dan terendah bagi hukuman denda inidan hal ini diserahkan kepada hakim sesuai dengan keadilan dan tujuan pemberian hukuman denda dengan mempertimbangkan jarimah-jarimah pelaku dan kondisi-kondisinya. Penerapan sanksi denda ini tampaknya dikenakan dalam jarimah-jarimah yang berkaitan dengan ketamakan seseorang terhadap harta orang lain.

Selain denda, sanksi ta’zir berupa pemilikan harta juga dengan jalan perampasan, meskipun dalam hal ini ada ulama yang tidak membolehkannya bila harta tersebut adalah harta yang halal dimiliki oleh muslimin. Akan tetapi jumhur ulama pada umumnya membolehkan dengan alasan karena harta itu sendiri bila kita menggunakan teori ta’asuf dalam pemilikan harta, maka menurut ulama, kita tidak boleh mengganggu hak milik orang lain dengan cara:

  • Harta itu dihasilakan dengan jalan halal
  • Harta itu digunakan sesuai dengan fungsi
  • Penggunaan harta tersebut tidak menggangu hak orang lain.


Jika persyaratan itu tidak terpenuhi, maka dapat diterapkan sanksi ta’zir dengan merampas harta tersebut oleh Ulil Amri sebagai hukuman terhadap perbuatannya.