Metode Istishlahi

SUDUT HUKUM | Dapat dikataka bahwa metode ini perpanjangan dari metode ta’lili, karena sama-sama didasarkan kepada anggapan bahwa Allah S.W.T. menurunkan aturan dan ketentuannya adalah untuk kemaslahatan umatnya di dunia dan akhirat. Bahwa ketentuan yang tidak adil dan tidak membawa kemaslahatan atau malah hanya sekedar mendatangkan kesulitan dan kesukaran bagi manusia, bukan berasal dari Allah dan Rasulullah walaupun mungkin ada ditemukan di dalamnya fiqh.[1]


Dimaksudkan dengan istihslahi atau mashalih mursalah adalah penetapan suatu ketentuan berdasarkan asas kemaslahatan yang diperoleh dari dalil-dalil umum, karena untuk masalah tersebut tidak ditemukan dalil-dalil khusus. Jadi biasanya, metode ini baru digunakan bila metode bayani dan ta’lili tidak dapat dilakukan. Dari keempat imam mazhab, kiranya hanya Imam Malik yang dengan tegas menyebutkan dan menggunakan istihslah sebagai metode penalarannya. Tetapi ini tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak menggunakannya. Ulama-ulama sesudah mereka dan peneliti-peneliti zaman modern ini, kebanyakannya berpendapat bahwa semua imam mazhab menggunakan metode istishlah ini walaupun tidak pernah menggunakan istilah tersebut secara langsung.

Metode Istishlahi



Dalam menggunakan metode ini ada dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu: kategori pertama, sasaran-sasaran (maqashid) yang ingin dicapai dan dipertahankan oleh syari’at melalui aturan-aturan yang dibebankan kepada manusia. Dalam hal ini ada tiga kategori, yaitu dharuriyah, hajiyyah dan tahsiniyah.[2]

Dharuriyah yakni hal-hal yang menjadi sendi eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka. Artinya, bila sendi-sendi ini tidak ada, kehidupan mereka menjadi kacau balau, kemaslahatan tidak tercapai dan kebahagiaan ukhrawi tidak bakal dapat dinikmati. Persoalan dharuriyah ini ada lima macam, yakni urusan agama, urusan jiwa, urusan akal, urusan keturunan dan urusan harta milik. Hajjiyah yakni hal-hal yang sangat dihajatkan dalam kehidupan manusia untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan. Artinya, bila sekiranya hal-hal tersebut tidak ada, maka tidak sampai membawa tata aturan hidup manusia berantakan dan kacau, melainkan hanya sekedar membuat kesulian dan kesukaran saja. Misalnya, untuk urusan ibadah syari’at memberikan rukhsah (kemurahan) dan takhfif (keringanan) bila dalam menjalankan beban kewajiban tersebut mengalami kesulitan seperti boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan ketika sedang sakit, dll.

Tahsiniyah, yaitu tindakan dan sifat yang harus dijauhi oleh akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan dihajati oleh kepribadian yang kuat. Itu semua termasuk bagian akhlak karimah, sopan santun dan adab untuk menuju ke arah kesempurnaan. Artinya, bila masalah tahsiniyah ini tidak dapat dipenuhi maka kehidupan manusia tidaklah sekacau dalam dharuriyah tidak diwujudkan dan tidak membawa kesusahan dan kesulitan seperti tidak dipenuhinya masalah tahsiniyah manusia, tapi hanya dianggap kurang harmonis oleh pertimbangan nalar sehat dan suara hati nurani. Sehingga keberadaan pengsyari’atan didasarkan menurut kondisi dan situasi, baik yang berhubungan dengan mukallaf sebagai subjek hukum ataupun situasi di mana hukum itu diterapkan.[3]

Kategori kedua, persyaratan penggunaan metode istishlahi. Seperti telah disebutkan, bahwa metode ini digunakan ketika suatu dalil khusus tidak ditemukan. Masalah yang ingin diketahui kedudukan hukumnya, dikembalikan kepada dalil-dalil umum yang biasanya merupakan gabungan makna dari beberapa ayat al-Qur’an, hadits atau kedua-duanya. Menurut jumhur ulama, dilalah gabungan dalil-dalil tersebut adalah dhanny karena hanya merupakan kesimpulan dari seorang mujtahid. Tetapi al-Syatibi menganggapnya qathi karena ayat-ayat atau hadits-hadits tersebut akan saling kuat-menguatkan, sehingga makna yang disimpulkan itu hampir mencapai tingak kepastian mutlak dan karenanya bernilai qath’y.[4]



Ulama ushul fiqh sepakat bahwa kemaslahatan yang mempunyai nilai untuk diperhatikan adalah kemaslahatan hakiki yang menyangkut hajjat dan kepentingan orang banyak. Kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan penilaian dan keinginan pribadi ataupuan kepentingan kelompok atau hanya bersifat semu adan sementara, tidak boleh menjadi dasar pertimbangan dalam metode istishlahi ini. Sehingga secara jelas sebagai kesimpulan yang dapat diambil adalah tidak boleh secara tegas bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits mutawatir. Dalam praktek sering terjadi perbedaan pendapat di antara ulama, dalam menentukan kemaslahatan yang paling baik dan dalam menentukan apakah kesimpulan yang diambil berdasarkan istihslahi itu bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits mutawatir atau tidak. Begitu pula, karena keumumam dasarnya serta keluasan jangkauan meteto ini, maka ia mudah terselewengkan dan relatif paling sukar mengujinya. Karena itu ada ulama yang meyarannkan agar metode ini tidak digunakan secara pribadional tetapi hanya digunakan oleh sekelompok ulama secara bersama-sama.


[1] Ibn Qayyim, op.cit., Jilid III, hlm. 1.

[2] Abdul Wahab Khallaf, op.cit., hlm. 313

[3] Ibid.

[4] Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syar’i, Jilid I, Beirut Libanon: Daar al-Ma’arifah, t.th., hlm. 37.