Pengujian Undang-undang

SUDUT HUKUM | Definisi dari suatu istilah sangat tergantung dari sistem hukum yan dianut oleh negara yang bersangkutan. Definisi Judicial Review pada negara yang menganut common law system adalah sebagai berikut:[1]

  • Dalam Black’s Law, judicial review diartikan sebagai “power of courts to review decisions of another departement or level of goverment.”
  • Erict Barent mengemukakan pengertian judicial review sebagai berikut. “Judicial Review yaitu “Judicial Review is a feature of most modern liberal constitutions. It refers to the power of the courts to control the compatibility of legislation and executive acts of the term of the constitutions.
  • Dalam The Encyclopedia Americana, judicial review didefinisikan sebagai berikut. “Judicial Review is the power of the courts of the contry to determine if the acts of the legislature and executive are constitutional. Acts that the courts declare to be contrary to the constitution are considered nul and void and therefore unenforceable.
Berdasarkan beberapa definisi Judicial Review , dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Judicial Review merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam kasus konkret di pengadilan.
  2. Judicial Review merupakan kewenangan hakim untuk menilai apakah legislative acts, executive acts, dan administrative action bertentangan atau tidak dengan undang-undang dasar (tidak hanya menilai peraturan perundang-undangan).

Sedangkan bagi negara yang menganut civil law system Jimly Asshiddiqie, mengemukakan Judicial Review merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislative, eksekutif, ataupun judikatif dalam rangka penerapan prinsip checks and balances berdasarkan sistem pemisahahan kekuasaan negara (Iseparation of power).


Selain itu, pada negara dengan common law system tidak dikenal adanya peradilan khusus yang mengadili pegawai administrasi negara sebagaimana dalam civil law system. Oleh karena itu, terhadap tindakan administrasi negara yang menganut common law system hakim berwenang menilai tidak hanya peraturan perundang-undangan, tetapi juga tindakan administrasi negara terhadap undang-undang dasar. Pelaksanaan Judicial Review pada beberapa negara yang menganut common law system dilakukan oleh hakim memalui kasus konkret yang dihadapinya dalam pengadilan. Hal tersebut merupakan sistem desentralisasi[2]

Macam-Macam Pengujian

a. Pengujian Norma

Dalam Praktek, dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau biasa disebut sebagai norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum, yaitu: (i) keputusan normatif yang berisi dan berisfat pengaturan(regeling), (ii) keputusan normatif yanh berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking), dan (iii) keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis (Belanda: vonnis).


Ketiga bentuk norma hukum tersebut di atas sama-sama dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme peradilan (justisial) ataupun mekanisme non-justisial. Jika pengujian itu dilakukan oleh lembag judisial atau pengadilan. Akan tetapi, jika pengujian itu dilakukan bukan oleh lembaga peradilan, maka hal itu tidak dapat disebut sebagai judicial review.

Sebutannya yang tepat tergantung kepada lembaga kewenangan untuk menguji atau toetsingsrecht itu diberikan. Toetsingsrecht atau hak untuk menguji itu, jika diberikan kepada lembaga parlemen sebagai legislator, maka proses pengujian demikian itu lebih tepat disebut sebagai legislative review, bukan judicial review. Demikian pula jika hak menguji (toetsingsrecht) itu diberikan kepada pemerintah, maka pengujian semacam itu disebut sebagai executive review, bukan judicial review ataupun legislative review.


Ketiga bentuk norma hukum tersebut di atas, ada yang merupakan individual and concrete norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonnis dan beschikking selalu bersifat individual and concrete, sedangkan regeling selalu bersifat general and abstract. Dalam bahasa Inggris Amerika Serikat, upaya hukum untuk menggugat atau menguji ketiga bentuk norma hukum itu melalui peradilan sama-sama disebut sebagai judicial review. Misalnya, pengujian yang dilakukan oleh hakim tingkat banding untuk menilai kembali vonis pengadilan tingkat pertama, dalam sistem pertama, dalam sistem peradilan Amerika Serikat juga disebut judicial review, demikian pula pengujian kasasi oleh Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan dibawahnya disebut pula judicial review.


Dalam mengadili gugatan-gugatan perkara tata usaha negara terhadap keputusan-keputusan administrasi negara, para hakim Amerika Serikat juga menggunakan istilah-istilah juducial review. Dalam hal ini, dalam sistem yang berlaku di Inggris istilah pengujian terhadap keputusan-keputusan administrasi negara yang bersifat individual and concrete (beschikking) ini juga disebut judicial review. Hanya saja, di Inggris tidak dikenal adanya mekanisme judicial review iterhadap undang-undang (legislative acts) yang ditetapkan oleh parlemen. Sebaliknya, justru bangsa Amerika serikatlah yang pertama mengembangkan mengembangkan mekanisme judicial review atas undang-undang buatan Kongres, dimulai dengan putusan atas kasus Marbury versus Madison tahun 1803.[3]


b. Review dan Preview

Dalam konsep pengujian undang-undang, khususnya berkaitan dengan pengujian oleh kekuasaan kehakiman, perlu dibedakan pula antara istilah judicial review dan judicial Preview. Review berarti memandang, menilai, atau menguji kembali, yang berasal dari kata re dan veiw. Sedangkan pre dan view atau preview adalah kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan objek yang dipandang itu.


Dalam hubungannya dengan objek undang-undang, dapat dikatakan bahwa saat ketika undang-undang belum resmi atau sempurna sebagai undang-undang yang mengikat untuk umum, dan saat ketika undang-undang itu sudah resmi menjadi undang-undang, adalah dua keadaan yang berbeda. Jika undang-undang itu sudah sah sebagai undang-undang, maka pengujian atasnya dapat disebut sebagai juducial review. Akan tetapi, jika statusnya masih sebagai rancangan undang-undang dan belum diundangkan secara resmi sebagai undang-undang, maka pengujiannya atasnya tidak dapat disebut sebagai judicial review, melainkan judicial preview.


Dalam sistem Perancis, yang berlaku adalah judicial preview, karena yang diuji adalah rancangan undang-undang yang sudah disahkan oleh parlemen, tetapi belum disahkan dan diundangkan sebagaimana mestinya oleh presiden. Jika parlemen sudah memutuskan dan mengesahkan suatu rancangan undang-undang untuk menjadi undang-undang, tetapi kelompok minoritas menganggap rancangan yang telah disahkan itu sebenarnya bertentangan dengan konstitusi, maka mereka dapat mengajukan rancangan undang-undang itu untuk diuji konstitusionalnya di la Conseil Constitusionnel atau Dewan Konstitusi. Dewan inilah yang akan memutuskan apakah rancangan undang-undang bertentangan atau tidak dengan undang-undang dasar.


Jika rancangan undang-undang ini dinyatakan sah dan konstitusional oleh Conseil Constitusionnel, barulah rancangan undang-undang itu dapat disahkan dan diundangkan sebagaimana mestinya oleh presiden. Jika rancangan undang-undang tersebut dinyatakan bertentangan dengan undang-undang dasar, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat disahkan, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagi undang-undang.[4]


3. Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang

Pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang itu, baik dari segi formil ataupun materil. Karena itu, pada tingkat pertama, pengujian konstitusionalitas itu haruslah dibedakan dari pengujian legalitas. Mahkamah Konstitusi mengajukan pengujian konstitusionalitas, sedangkan Mahkamah Agung melakukan mengujian legalitas, bukan pengujian konstitusionalitas.


Dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 jelas ditentukan:

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan…”
Dalam rangka pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, alat pengukur untuk menilai atau dalam menjalankan kegiatan pengujian itu adalah undang-undang, bukan undang-undang dasar, seperti di Mahkamah konstitusi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pengujian legalitas berdasarkan undang-undang, bukan pengujian konstitusionalitas menurut undang-undang, bukan pengujian konstitusionalitas menurut UUD NRI 1945.


Objek yang diuji pun jelas berbeda. Mahkamah Agung menguji peraturan dibawah undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi hanya menguji undang-undang saja, bukan peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah undang-undang. Karena itu, tepat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menguji the constitusionality of legislative law or legislation, sedangkan Mahkamah Agung menjadi the legality of regulation.


Disamping itu, persoalan kedua yang penting dicatat sehubungan dengan konsep pengujian konstitusionalitas ini adalah persoalan cakupan pengertian konstitusionalitas ini adalah persoalan cakupan pengertian konstitusionalitas itu sendiri. Konstitusi jelas tidak identik dengan naskah undang-undang dasar. Kerajaan Inggris adalah contoh paling mudah untuk disebut mengenai negara yang tidak mempunyai naskah konstitusi dalam arti yang tertulis secara terkodifikasi seperti umumnya negara lain di dunia. Akan tetapi, semua ahli sepakat menyebut kerajaan Inggris (United Kingdom) sebagai salah satu contoh negara berkonstitusi atau constitusional state atau monarki konstitusional (constitusional monarchy).


Artinya, konstitusionalitas itu tidak hanya terbatas pada apa yang tertulis dalam naskah Undang-Undang Dasar. Karena itu, dalam penjelasan UUD NRI 1945 yang asli, terdapat uraian yang menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar itu hanya sebagian dari konstitusi yang tertulis. Di samping konstitusi yang tertulis itu, masih ada konstitusi yang tidak tertulis, yaitu yang terdapat dalam nilai-nilai yang hidup dalam praktek-praktek ketatanegaraan.


Oleh karena itu, untuk menilai atau menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, kita dapat mempergunakan beberapa alat pengukur atau penilai, yaitu:
  • naskah undang-undang dasar yang resmi tertulis; beserta
  • dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah undang-undang dasar itu, seperti risalah-risalah, keputusan dan ketetapan MPR, undang-undang tertentu, peraturan tata tertib, dan lain-lain; serta
  • nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktek ketatanegaraan yang telah dianggap sebagai bagian yang tidak terpsahkan dari keharusan dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara; dan
  • nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik hukum dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan ideal dalam perikehidupan berbangs dan bernegara.

Dengan demikian, pengertian konstitusionalitas itu bukanlah konsep yang sempit yang hanya terpaku kepada apa yang tertulis dalam naskah UUD 1945 saja. Keempat hal tersebut adalah termasuk ke dalam pengertian sumber dalam keseluruhan tatanan hukum tata negara atau constitutional law yang dapat dijadikan alat pengukur atau penilai dalam rangka pengujian konstitusionalitas undang-undang.[5]


Dalam hukum tata negara, konstitusionalitas tidaknya suatu norma hukum dapat dinilai dengan menggunakan beraneka sumber rujukan atau refrensi. Dalam literatur hukum sumber-sumber demikian itulah yang biasa disebut sumber hukum tata negara (sourrces of constitusional law). Dalam hal ini, sumber hukum dapat dibedakan antar yang bersifat formal dan sumber hukum dalam arti material. Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum yang dikenali dalam bentuk formalnya. Dengan mengutamakan bentuk formalnya itu, maka sumber norma hukum itu haruslah mempunyai bentuk hukum tertentu yang bersifat mengikat secara hukum. Karena itu, sumber hukum haruslah mempunyai salah bentuk sebagai berikut:
  • bentuk produk legilasi ataupun produk regulasi tertentu;
  • bentuk perjanjian atau perikatan tertentu yang mengikat antar para pihak;
  • bentuk vonnis atau putusan hakim tertentu; atau
  • bentuk kepeutusan tertentu dari pemegang kewenangan administrasi negara.
Sumber-sumber hukum tata negara yang dapat dipakai untuk menilai persoalan konstitusionalitas sesuai norma yang diuji, tidaklah hanya terbatas kepada apa yang tertulis dalam naskah undang-undang dasar atau konstitusi dalam arti sempit sebagai salah satu sumber hukum tata negara, tetapi juga norma-norma yang terkandung dalam sumber-sumber lainnya.[6]


Rujukan

[1] Fatmawati, Hak Menguji (toetsingsrecht) yang Dimiliki Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.8

[2] Ibid, hlm.9

[3] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2005), hlm.1-3.

[4] Ibid, hlm.4

[5] Ibid, hlm.5-8.

[6] Ibid, hlm.9