Syarat Sah Perjanjian Kredit

SUDUT HUKUM | Perjanjian sah dan mengikat adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Syarat-syarat tersebut berlaku untuk seluruh perjanjian, termasuk perjanjian kredit sebagai perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, namun tetap mengikuti syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu:
a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya
Maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang dibuat. Kesepakatan dianggap tidak ada apabila sepakat itu diberikan karena kekeliruan/kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
b. Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan
Maksudnya cakap adalah orang yang sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu orang-orang yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu.
c. Suatu Hal Tertentu
KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata yang menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok perjanjian berupa suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan jenisnya” menekankan pada perjanjian untuk memberikan atau menyerahan sesuatu. Namun, rumusan tersebut menegaskan bahwa apapun jenis perjanjiannya, baik itu perjanjian untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, semua jenis perjanjian tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu.[1]
d. Suatu Sebab yang Halal
Artinya suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal atau yang diperbolehkan oleh undang-undang. Pasal 1335 KUH Perdata menentukan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah bukan tanpa sebab, bukan sebab yang palsu, dan bukan sebab yang terlarang.[2] Kriteria atau ukuran sebab yang halal adalah perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Syarat sepakat dan cakap dinamakan syarat subjektif, karena mengenai subjek yang mengadakan perjanjian. Syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal dinamakan syarat-syarat objektif, karena mengenai objek yang diperjanjikan dalam perjanjian. Kalau syarat-syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap, atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Selama tidak dibatalkan, perjanjian tersebut tetap mengikat. Kalau syarat-syarat objektif yang tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum yang artinya dari semula dianggap tidak pernah ada sehingga tiada dasar untuk saling menuntut di muka hakim (pengadilan).[3]


Rujukan

[1] Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 155.
[2] Ibid., hlm. 161.
[3] Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2007, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Jakarta: YLBHI, hlm. 134.