Tujuan Golput

SUDUT HUKUM | Bagi pendukung golput, perilaku tidak memilih bagian dari tindakan yang memiliki pesan. Karenanya golput bukan tanpa tujuan, golput menjadi alat protes politik yang tidak sempat tersuarakan, akumulasi kekecewaan dan ketidak percayaan terhadap realitas politik yang dilihat kemudian disalurkan melalui sikap apatis terhadap pemilu. Sebab itu, melihat golput harus dapat mengkontekstualisasikan dengan keadaan dan realitas yang berkembang. Interpretasi perilaku politik tidak dapat diserahkan pada penjelasan teoritis semata. Namun juga harus diletakkan pada logika pendukung golput itu sendiri untuk menangkap makna dan subtansi: pesan apa yang hendak disampaikan kepada publik atas pilihan politiknya untuk tidak memilih.

Tujuan Golput



Sebagian pemilih tidak menggunakan haknya hanya untuk menunjukkan sekedar rasa malasnya. Malas berdasarkan kesadarannya bahwa politik tidak dapat menjamin perbaikan hidupnya. Hidup dan mati mereka tidak bisa ditentukan oleh hasil pemilu. Terlebih pemilu dan politik cendrung diwarnai oleh pertikaian kepentingan sesaat. Sebagian yang lain tidak menggunakan hak pilihnya untuk menunjukkan ketidak sukaannya dengan sistem politik yang dibangun, pemerintahan yang sedang berkuasa, tiadanya rasa amanah pemimpin yang sedang berkuasa, carut-marutnya supremasi hukum dan semacamnya. Sebagian lainnya juga melakukan golput untuk mengutarakan kegusarannya atas perilaku elit politik yang tak sesuai dengan janji-janji saat pemilu.

Maka perilaku golput sejujurnya secara umum dimaksudkan sebagai simbol protes atas sistem yang tidak adil, sistem yang hanya menguatkan posisi kelompok minoritas (elit) dan mengabaikan subtansi demokrasi yang bertujuan membangun peradaban masyarakat yang lebih baik. Yang terpenting lagi adalah golput ditujukan pada tiadanya amanah dari elit dan pemimpin bangsa dalam menjalankan roda kekuasaannya. Protes tersebut ditujukan pada pemerintah yang korup dan tidak akuntabel. Maka kondisi demikian menyebabkan ketidak percayaan masyarakat luas.

Sistem politik yang dikembangkan pemerintah sejak orde baru hingga orde reformasi ini dinilai tidak mampu membangun demokrasi yang sehat, baik pada tingkat elit maupun pada wilayah massa. Praktek kongkalikong, kolusi dan nepotisme cermin yang terang akan fakta dan realitas politik yang ada akibat elit politik yang memegang etika dan tanggung jawab atas kekuasaan yang diraihnya. Parlemen yang seharusnya konsisten dengan fungsinya, juga ikut ambil bagian dari cerita buram ini. Inilah bentuk ketidak jelasan sistem yang dijalankan dan melahirkan anak ideologis yang disebut golongan putih (golput).

Pendukung golput tidak hanya berasal dari satu garis partai, melainkan seluruh partai dan organ-organ sosial. Semuanya melihat dengan jelas betapa massif retorika politik yang dibangun untuk mengelabui rakyat. Karenanya parlemen dan pemerintah dinilai penyebab lahirnya diskriminasi sosial, politik, ekonomi, hukum dan budaya di negara ini.

Golput pada pemilu 2004 dan 2009 juga ditujukan sebagai reaksi pada sistem pemilu yang amburadul, mulai dari pendataan hak pilih, ketentuan partai politik sebagai peserta, dan mekanisme penentuan caleg, yang semuanya dinilai masih tidak mencerminkan kemauan rakyat. Terlebih pemilu 2004 juga tidak bisa menjanjikan perubahan, lebih ironis lagi sistem pemilu 2004 dinilai mengalami kemunduran dari pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Gerakan golput yang sempat menurun pada pemilu 1999, mulai meninggi lagi pada 2004, berbagai kejanggalan pembuatan UU pemilu di DPR turun menyuburkan golput. Sebab itu, golput hadir bukan tanpa dasar. Pertama, perumusan UU pemilu lebih mencari titik temu antar kepentingan elit dari pada subtansi kualitas pemilu dan demokrasi. Kedua, sistem pemilu proporsional diyakini tak akan menjanjikan apapun. Ketiga, tidak tegasnya ketentuan 30 persen kuota politisi perempuan, dan keempat, amburadulnya DPT nasional yang terbongkar pada pilgub Jatim lalu juga menjadi alasan mereka untuk kecewa dan tak percaya dengan pemilu. Maka tak ayal gerakan golput tak dapat dibendung.