Pembaruan Hukum Islam

SUDUT HUKUM | Materi hukum yang diterapkan di Pengadilan Agama bersumber pada kitab fikih madzhab Syafi‘i yang terhimpun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).

KHI disusun atas prakarsa penguasa negara, dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama (melalui Surat Keputusan Bersama) dan mendapat pengakuan ulama dari berbagai unsur. Oleh karena itu, secara resmi KHI merupakan hasil konsensus (al-ijma’) ulama dari berbagai ―golongan‖ melalui media lokakarya yang mendapat legalitas dari kekuasaan negara.

Sekurang-kurangnya terdapat tiga hal yang layak dikemukakan dalam kaitannya dengan tatanan hukum nasional. Pertama, kesesuaian KHI dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dijadikan rujukannya. Kedua, kelayakan KHI untuk dijadikan pedoman oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang membutuhkannya dalam menyelesaikan masalah dan perkara perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Ketiga, kelayakan pelaksanaan KHI bagi umat Islam dalam kehidupan masyarakat bangsa yang majemuk. Kitab fikih madzhab Syafi‘i adalah yang paling dominan diadopsi dalam KHI, karena mayoritas muslim di Indonesia melaksanakan hukum Islam bersumberkan dari kitab-kitab fikih bermadzhab Syafi‘i.

Pembaruan Hukum Islam



Sekalipun demikian, dalam kenyataannya, KHI tidak sepenuhnya mengadopsi fikih Syafi‟iyyah, karena ada beberapa kasus mengalami pembaharuan hukum di dalamnya dengan pertimbangan maslahat. Kaidah Tasharruf al-imam „ala arra‟iyyah manuth-un bi al-mashlahah (kebijakan pemerintah atas rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan) menjadi salah satu pertimbangannya.

Materi hukum dalam KHI yang mengalami pembaharuan dari fikih Syafi‟iyyah sebagai rujukan utama antara lain sebagai berikut:

  • Cerai hanya di depan pengadilan.
Pasal 115.

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak

  • Harta gono-gini.
Pasal 85.

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Pasal 87 (1). Harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

  • Kawin Hamil.
Pasal 53 (1).

Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2). Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Pasal 99. Anak yang sah adalah : a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;

  • Ahli waris pengganti.
Pasal 185 (1). Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. (2). Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

  • Warisan lahan kurang dari 2 ha.
Pasal 189

(1). Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan. (2). Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.

  • Izin poligami.
Pasal 71.

Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;

  • Dispensasi kawin.
Pasal 15 (1).

Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun (2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.

  • Maksimal hibah 1/3 harta.
Pasal 210

(1). Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.

  • Hibah diperhitungkan sebagai warisan.
Pasal 211.

Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.