Sanksi Hukum Kekerasan Seksual Yang Dilakukan Suami Terhadap Istri

SUDUT HUKUM | Sanksi pidana pada kekerasan terhadap istri berdasarkan hukum pidana Indonesia adalah berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Berkaitan dengan hal itu, ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa: “Setiap orang dilakukan melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, yaitu:

  • Kekerasan fisik
  • Kekerasan psikis
  • Kekerasan seksual
  • Penelantaran rumah tangga

Ketentuan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa:

kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat”.Ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa: “kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan penderitaan psikis berat”.


Ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa: kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:

  • Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
  • Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.
Sanksi Hukum Kekerasan Seksual Yang Dilakukan Suami Terhadap Istri

Ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa:

  1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
  2. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.


Berdasarkan beberapa ketentuan Pasal diatas, mengenai sanksi pidana lebih ditegaskan dalamPasal 44 sampai Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sebagai berikut:
Ketentuan dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa:

  1. Setiap orang yang melakukan perbuatan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
  2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
  3. Dalam Hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh juta rupiah).
  4. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5000.000,00 (lima juta rupiah).

Ketentuan dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa:

  • Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada pasal 5 huruf b dipidana dengan penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9000.000,00 (sembilan juta rupiah)
  • Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dipidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3000.000,00 (tiga juta rupiah).

Ketentuan dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa:

Pasal 46 yang berbunyi: Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.27

Ketentuan dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa:

Pasal 47 yang berbunyi: Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.


Ketentuan dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa:

Pasal 48 yang berbunyi: Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan dendapaling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.



Ketentuan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa:
“dipidana dengan penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:

  • Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
  • Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2)”.

Ketentuan pada Pasal 50 Undang-Undang 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa: “Selain dipidana sebagaimana dimaksud bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa”:

  1. Pembahasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjatuhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku
  2. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu”.

Ketentuan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa:

Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan”.


Ketentuan dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa:

Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan”. Ketentuan dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menjelaskan bahwa: “Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap istri sebaliknya merupakan delik aduan”,28delik aduan yang dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53 yaitu proses pidana hanya bisa dilakukan apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana atau kuasanya.


Berdasarkan uraian beberapa ketentuan Pasal 44 sampai Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, kekerasan dalam rumah tangga bukanlah persoalan domestik (private) yang tidak boleh diketahui orang lain. Hal ini merupakan hak asasi manusia dan kejahatan terhadao martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Undang-Undang tersebut merupakan jaminan yang diberikan negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, baik dari kekerasan fisik, psikologis maupun kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri.

Menurut Mr. Drs. E Utrecht, dalam delik aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Pencabutan pengaduan ini dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 juga tidak bertujuan untuk mendorong perceraian, sebagaimana sering dituduhkan orang. Undang-Undang tersebut justru bertujuan untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang benar-benar harmonis dan sejahtera dengan mencegah segala bentuk kekerasan sekaligus melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga.