Dasar Hukum Perlindungan Varietas Tanaman

SUDUT HUKUM | Perlindungan varietas tanaman merupakan suatu ketentuan dalam HAKI yang masih relatif baru dalam sejarah perlindungannya sebagai hak kebendaan immaterial yang diberikan kepada individu oleh negara. Di negara lain, seperti Amerika, meskipun tidak disebut secara khusus dalam peraturan negaranya, telah dikenal adanya peraturan mengenai perlindungan terhadap varietas tanaman. Peraturan tersebut berlaku tahun 1930 bersamaan dengan terbitnya The United States Patent Act 1930. Dan di Eropa, Undang-Undang yang berkaitan dengan perlindungan terhadap varietas tanaman dan hasilnya telah dikenal sejak abad ke-16.

Pada tahun 1961,beberapa negara di dunia telah menyepakati suatu konvensi internasional tentang perlindungan varietas tanaman, kesepakatan internasional termuat dalam International Convention for the Protection of New Varieties of Plants, yang lebih dikenal dengan istilah UPOV. UPOV merupakan akronim dari Union International pour la protection des obtentions vegetale. Di Indonesi, perlindungan terhadap varietas tanaman sudah mulai diatur sejak tahun 1989 yaitu dalam peraturan HAKI di bidang hak paten.

Pada Undang-Undang Paten Tahun 1989 disebutkan bahwa perlindungan paten tidak dapat diberikan terhadap makanan, minuman, dan varietas tanaman, khususnya bagi komoditi tanaman padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Pada tahun 1997, Undang-Undang Paten tersebut mengalami amandemen yaitu berupa pencabutan atau penghapusan terhadap ketentuan pelarangan pemberian perlindungan terhadap makanan, minuman dan varietas tanaman. Sehingga pada Undang-Undang Paten 1997, makanan, minuman dan varietas tanaman dapat memperoleh perlindungan berupa hak paten.

Amandemen terhadap Undang-Undang Paten terjadi sebagai akibat keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi ketentuan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights), dimana dalam ketentuan TRIPs pada Pasal 27 ayat (3) huruf b diatur bahwa : However, member shall provide for the protection of plants varieties either by patens or by an effective sui generis system or by any combination thereof.

Berdasasrkan ketentuan TRIPs, disebutkan bahwa TRIPs mewajibkan seluruh negara-negara yang menjadi anggotanya untuk memberikan perlindungan terhadap varietas tanaman, baik melalui perlindungan paten, sistem sui generis yang efektif (misalnya melalui pemberian hak pemulia), ataupun dengan kombinasi antara sistem perlindungan paten dan sistem sui generis. Meskipun Undang-Undang Paten Tahun 1997 telah mengizinkan pemberian perlindungan paten terhadap tanaman, namun Undang-Undang Paten 1997 tidak dapat memberikan perlindungan menyeluruh terhadap aspek-aspek yang terdapat pada varietas baru.

Perlindungan terhadap varietastanaman dengan menggunakan hak paten tidak dapat terus dilakukan, dengan alasan:

  • Pemegang paten akan memiliki kewenangan secara prinsip untuk melarang penggunaan kembali benih yang telah ditanam oleh petani, dengan konsekuensi akan muncul biaya tinggi bagi petani dan dominasi perusahaan benih besar akan semakin kuat.
  • Pemuliaan yang berdasarkan pada perlindungan varietas tanaman akan tersingkir, yakni ketika perlindungan paten tidak mendukung jenis invensi yang dihasilkan oleh petani tradisional tidak dimintakan paten dan digunakan secara bebas diantara kelompok petani tersebut.
  • Pemberian paten memiliki sifat akan adanya hak monopoli pada benih dan/atau tanaman yang menjadi objek produksi serta perdagangan benuh yang penting.
  • Pemberian paten akan mendukung standarisasi yang lebih tinggi serta memperkuat kecenderungan ke arah budidaya tunggal sehingga akan mengikis keanekaragaman hayati.
  • Pemberian paten juga mendukung bertambahnya kecenderungan monopoli pada pemilikan tanah dan industri benih, yang memungkinkan petani kecil dan pemulis tradisional merasakan dampak terburuk.

Selain perlindungan dengan hak paten, pengaturan secara khusus mengenai perlindungan terhadap varietas tanaman dilakukan sejak tahun 1990 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kemudian pada tahun 1992, diterbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang mendorong kegiatan pemuliaan tanaman, dimana dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 dinyatakan bahwa:

  1. Kepada penemu teknologi tepat serta penemu teori dan metode ilmiah baru di bidang budidaya tanaman dapat diberikan penghargaan oleh pemerintah
  2. Kepada penemu jenis baru dan/atau varietas unggul dapat diberikan penghargaan oleh pemerintah serta mempunyai hak memberi nama pada temuannya.
  3. Setiap orang atau badan hukumyang tanamannya memiliki keunggulan tertentu dapat diberikan penghargaan oleh pemerintah.
  4. Ketentuan mengenai pemberian penghargaan sebagai maksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut oleh pemerintah.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun1992 tidak mengatur adanya perlindungan terhadap hak-hak yang dimiliki pihak pemulia tanaman, sehingga para pemulia tanaman tidak mengetahui keuntungan/manfaat yang diperoleh apabila varietas temuannya diperbanyak atau dijual, dan apa sanksi bagi pihak yang menjual atau menggunakan varietas temuanya tanpa persetujuan dari pihak pemulia untuk tujuan komersial. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992, pihak pemulia hanya memperoleh penghargaan dari pemerintah, sebagai balas jasa dari hasil penemuan varietas baru.

Ketentuan lain yang mengatur tentang pemberian penghargaan terhadap penemuan varietas unggul terdapat dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 1995 tentang Pembenihan Tanaman yang menyatakan bahwa Menteri memberikan penghargaan kepada penemu varietas unggul dan/atau teknologi di bidang perbenihan. Pada tanggal 20 Desember 2000, diterbitkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000, dimana Undang-Undang tersebut mengatur secara terperinci mengenai perlindungan terhadap varietas tanaman.

Latar belakang lahirnya Undang-Undang varietas tanaman yang mengatur secara khusus mengenai perlindungan terhadap varietas tanaman di Indonesia tidak terlepas dari tuntutan sekaligus konsekuensi Indonesia atas keikutsertaannya menandatangani kesekapatan GATT/WTO 1994, dimana salah satu ketentuannya memuat mengenai kesepakatan TRIPs (Trade Aspects if Intellectual Property Rgihts). Keikutsertaan Indonesia meratifikasi kesepakatan TRIPs, mengakibatkan Indonesia harus menyelaraskan peraturan perundang-undangan khususnya di bidang HAKI dengan persetujuan TRIPs yang di dalamnya terdapat ketentuan mengenai perlindungan terhadap varietas tanaman.


Selain itu adanya pengaturan secara khusus mengenai perlindungan terhadap varietas tanaman ini akan meningkatkan minat dan peran serta serta baik secara perorangan maupun badan hukum untuk melakukan kegiatan pemuliaan tanaman dalam rangka menghasilkan varietas tanaman baru yang unggul, karena para pemulia atau pemegang hak perlindungan terhadap varietas tanaman akan memiliki hal tertentu yang memiliki perlindungan hukum secara memadai.